Ketika Bandung Menjadi Lautan Api - PenaSella.com

Welcome To PenaSella.com

Selamat datang di PenaSella.com, Mari Membangun Literasi dan Memperkuat Nasionalisme bersama PenasSella.com

Rabu, 14 Agustus 2024

Ketika Bandung Menjadi Lautan Api

 Oleh : Aisyahnuraini



Suasana damai di malam hari itu menuntun langkahku setelah melaksanakan kewajibanku sebagai seorang muslim yang beriman. Mataku terpaku pada seseorang yang tidak asing lagi dalam hidupku, tidak tahu apa yang terlintas dipikiranku ketika itu. Dia adalah kakakku, raut wajahnya mengingatkanku akan kehangatan kasih seorang ayah. Dengan tatapannya yang hangat dia tersenyum kepadaku. 

“Sudah sholat belum, Dek? “ tanyanya dengan nada bicaranya yang lembut. 

“Sudah, baru saja. Kalau Kakak udah sholat?“ tanyaku.  

“Kakak sudah sholat, Dek”, jawab kakakku dengan suara lembutnya. 

Aku tinggal bersama kak Roni dan adik kembar laki-laki di rumah sederhana kami, jelas hening dan sunyi tanpa keberadaan orang tua yang sangat kami sayangi. Sejak kami masih kecil, orang tua kami sudah meninggal karena mereka mengalami sakit yang parah diwaktu yang bersamaan. Saat itu, kakakku berjanji pada dirinya sendiri akan menjaga dan melindungiku dan adik kembar kami seperti yang diwasiatkan kedua orang tua kami padanya. 

Meski sepi tanpa keberadaan seorang ibu dan ayah, aku bekerja keras untuk menjadi pengganti ibu yang baik untuk adik-adikku. Saat itu, aku sedang menyapu halaman rumah yang dipenuhi dedaunan yang gugur. Namun, mendadak terdengar suara kak Roni yang memanggilku untuk masuk ke dalam rumah. Beberapa hari ini aku sering terdiam, teringat kejadian masa lalu yang seharusnya sudah kulupakan. 

Malam telah tiba, kami semua berkumpul di meja makan untuk menyantap makanan yang sudah ku masak. Kami menikmati makanan tersebut walaupun seadanya. Di tengah keheningan, aku memulai pembicaraan, “Kak, tadi sore kakak manggil aku kenapa? Sepertinya ada hal penting yang ingin kakak sampaikan padaku.” Kak Roni menunjukkan sebuah surat padaku sambil berkata, “Kakak dapat surat pemberitahuan untuk merebut senjata dari pihak Jepang.“  

Perasaanku gelisah dan risau mendengar perkataan kak Roni. Air mataku bercucuran tiada henti. Aku takut. Aku merasa kebingungan. Hatiku gundah gulana Angin terasa berhenti berhembus, mulutku terkunci rapat tak tahu harus berkata apa selain menangis. Entah mengapa aku menangis, apa yang salah dengan perkataan Kak Roni, dia adalah seorang pejuang. Tapi, hatiku berkata agar Kak Roni tidak pergi jauh dariku. 

“Sari, dek, kamu nggak papa kan kakak pergi untuk kepentingan itu? ”, tanya kakakku 

“Kita meninggalkan kota Bandung saja daripada kakak pergi bertempur meninggalkan kami.” kataku kepada Kak Roni. “kenapa dek, nggak biasanya kamu seperti ini” tanya kakakku lagi. Dia seakan-akan tidak percaya denga napa yang kukatakan padanya. Memang, baru kali ini aku melarang kakakku, biasanya apapun yang dikatakannya aku selalu mendukungnya dari belakang. 

 

Dengan garis wajah yang cemas aku menjawab “aku takut kakak tidak kembali lagi ke rumah kita ini. Sudah cukup aku kehilangan ibu dan ayah saja kak, aku tak ingin kehilangan kakak.“ Suasana hening kian mencekam. Kak Roni lama terdiam memikirkan perkataanku tadi.  

Setelah lama terdiam dalam kata, Kak Roni mulai bicara dan berkata “Dek, kakak tahu kamu cemas, tapi ini adalah tugas yang diamanahkan untuk kakak dan kakak harus melaksanakan tugas ini demi negara kita, Indonesia dan demi kota Bandung kita ini“, jawab kak Roni dengan nada bicara yang tegas. Keputusan kakakku sudah tidak bisa diganggu gugat lagi. Aku tak bisa mengatakan sepatah kata lagi selain terdiam dan menerima kenyataan. Hanya saja air mataku terus keluar membasahi pipiku. Aku hanya bisa mendoakannya dan berharap kakakku dapat kembali dengan selamat serta berhasil melaksanakan tugasnya dengan penuh tanggung jawab. 

17 Oktober 1945, di siang hari yang terik, pasukan sekutu mendarat di kota Bandung. Kakakku sudah berangkat sejak subuh. Satu bulan berlalu sejak kakakku pergi untuk melaksanakan tugasnya. Sudah sebulan pula sejak sekutu menginjakkan kaki di kota Bandung ini. 

21 November 1945, kak Roni pulang ke rumah. Dan pada hari itu juga sekutu mengeluarkan ultimatum yang berisi penduduk harus meninggalkan kota Bandung. 

Ketika mendengar itu aku bertanya “bang Roni, apa kita akan meninggalkan kota Bandung?” tanyaku. “Tidak Sari, kakak bersama pejuang lainnya sepakat untuk tidak akan meninggalkan kota Bandung, kami akan berperang.” Jawab kak Roni dengan berani. “Kalau memang itu keputusan kakak, tidak apa- apa. Aku akan selalu mendukung kakak. Aku hanya ingin kakak kembali ke rumah dengan selamat”, pintaku pada Kak Roni. 

Pihak sekutu geram karena ultimatumnya tidak dipedulikan. Pertempuran pun tak dihindari antara sekutu dan para pejuang Bandung. Perang berlangsung selama beberapa bulan. Aku masih menunggu kepulangan kakakku dengan rasa khawatir. Jika dari awal aku tahu akan seperti ini, sudah pasti aku akan melarang keras kakakku untuk ikut dalam pertempuran ini. Tapi apa daya, aku hanya bisa menangis dan menangis tanpa tahu harus berbuat apa. 

24 Maret 1946, pertempuran terus terjadi. Pertempuran semakin memanas begitu Sekutu mengeluarkan kembali ultimatumnya, dan pada saat itu, di pagi harinya sebelum kakakku pergi, dia berkata kepadaku, “dek, hari ini kita akan memusnahkan kota Bandung, kamu dan adik-adik harus pergi sebelum itu terjadi. Jangan lupa adik-adik harus dijaga ya Sari,“ pintanya kepadaku sambil memelukku erat. “Kakak gimana?” tanyaku sambil memeluk Kak Roni seerat mungkin. Seperti biasa dengan nada bicaranya yang lembut dia menjawab, “kamu dan adik-adik harus pergi lebih dulu ya, kakak nggak bisa ikut sama kalian”. Aku tidak terlalu memikirkan perkataan kakakku dan langsung menjawab, “baiklah, tapi nanti kakak harus menyusul kita ya, harus!”, pintaku. “ iya adikku sayang“, jawabnya sambil tersenyum kepadaku. 

 

Setelah berpelukan, dia pergi dengan mengucapkan kata selamat tinggal pada kami. Aku dan adik-adikku sudah bersiap- siap untuk pergi, kami meninggalkan semua kenangan kami bersama ayah dan ibu di rumah itu. Setelah membakar rumah kami, aku dan adik-adikku langsung pergi meninggalkan kota Bandung. Baru beberapa langkah kakiku berjalan, hatiku terasa tidak tenang meninggalkan kota ini, terasa ada sesuatu yang menjanggal dipikiranku. Tapi aku tidak menghiraukan hal tersebut, aku tetap melangkah ke depan dan pergi meninggalkan kota Bandung yang indah ini. 

Aku tidak menyangka, kakakku dan temannya Dayat adalah orang yang rela mengorbankan nyawanya untuk memusnahkan kota Bandung. Kakakku gugur dlam pertempuran yang mengenaskan itu. Aku mendengar kabar itu beberapa jam setelah kota Bandung remuk-redam. Seketika itu juga, hatiku hancur lebur berkeping-keping, pikiranku kacau balau, aku panik, hatiku serasa ditusuk ribuan jarum. Aku tidak bisa menahan air mataku, aku berteriak memanggil nama kakakku. Kurangkul kedua adikku dengan erat, kami tak henti-hentinya menangis. Masih tidak percaya akan kabar tersebut terjadi dalam keluarga kami. 

Aku tidak menyangka bahwa hari ini adalah pertemuan terakhirku dengan kakakku. Tapi apa, aku tidak bisa menyangkal akan apa yang sudah terjadi. Satu hal yang dapat kumengerti adalah kakakku rela mempertaruhkan nyawanya untuk kota dan negara yang dicintainya. Aku bangga karena apa yang diinginkannya tercapai. Kini hanya tersisa aku dan kedua adikku, kami bertiga tinggal di pegunungan yang indah di daerah selatan kota Bandung. Peristiwa ini akan selalu kukenang sampai akhir hayatku. Peristiwa pada bulan Maret 1946, dimana saat itu terukir sejarah yang memilukan untukku, adik-adikku, kota Bandung, dan negara Indonesia tercinta ini. 

 



Tidak ada komentar:

Posting Komentar