Oleh : Rafellino Ferdinant
Tanggal 17 Agustus 1945. Hari di mana menjadi klimaks dan titik kulminasi dari perjuangan bangsa kami yang bisa dibilang tidaklah sebentar. Saat itulah kemerdekaan bangsaku, bangsa Indonesia yang telah dijajah oleh bangsa lain selama beratus – ratus tahun diproklamasikan. Aku masih ingat betul saat itu. Melalui Radio Hoso Kyoku, peristiwa bersejarah itu disiarkan kepada masyarakat luas. Aku menjadi salah satu pendengarnya yang setia. Walaupun saat itu aku tidak bisa menyaksikan langsung peristiwa tersebut, tapi aku turut merasakan euforia yang entah mengapa tak dapat kujelaskan dengan kata – kata. Tangis haru sudah tak bisa kubendung lagi. Akhirnya, tibalah saat yang selama ini kami nanti.
Waktu pun terus berjalan. Sudah satu bulan sejak proklamasi kemerdekaan. Saat itu, aku sedang bertugas di sebuah rumah sakit di Jakarta. Ya, aku memutuskan untuk melanjutkan studi dan bekerja di Jakarta, meninggalkan tempat kelahiranku, Surakarta.
Aku sedang disibukkan dengan menata berbagai obat – obatan dan peralatan kesehatan. Telingaku menangkap suara beberapa langkah kaki yang mencoba mendekatiku.
“Suster Arni, ikut kita, yuk!” ucap orang itu yang ternyata adalah Dyah, seorang mahasiswa kedokteran sambil memeluk lenganku.
Mendengar ajakannya, aku yang baru saja selesai menata obat – obatan pun bertanya balik, “Ke mana? Kalau tidak penting, aku tidak mau.”
“Tenang saja, Suster. Gak bakal aneh – aneh, kok. Pekerjaan Suster juga sudah selesai semuanya, kan?” ujar teman Dyah yang juga mahasiswa kedokteran, Basuki.
“Tapi-,“ belum sempat ucapanku terselesaikan, aku yang masih mencoba untuk mencerna apa yang sedang terjadi pun dibawa keduanya menuju ke sebuah mobil.
Aku pun akhirnya pasrah. Tidak tahu menahu hendak di bawa ke mana dan akan melakukan apa. Akan tetapi, satu hal yang pasti adalah mereka tidak akan berbuat yang tidak – tidak. Aku tahu betul sifat mereka. Hal ini lantaran mereka sempat belajar di rumah sakit tempatku bekerja, sehingga aku bisa tahu sifat keduanya.
Ternyata, di dalam mobil itu terdapat seseorang yang kuyakini adalah teman mereka berdua yang juga mahasiswa kedokteran. Sayangnya, aku tak mengenalinya. Memasuki mobil, aku mendudukkan diriku di samping bangku sopir. Mobil itu pun melaju meninggalkan halaman rumah sakit yang luas. Di sepanjang perjalanan, hanya ada suara siaran berita dari radio mobil. Tidak ada sepatah kata pun yang keluar dariku maupun mereka.
Setelah menempuh perjalanan selama 25 menit, mobil yang kami kendarai akhirnya memasuki halaman sebuah hotel. Hotel Du Pavilyon, itulah nama hotelnya. Ketika memasukinya, lobi hotel ini nampak dipenuhi oleh mahasiswa – mahasiswa kedokteran dan dokter juga perawat. Jika aku tak salah dengar, mereka sepertinya sedang bercakap – cakap mengenai rapat. Oh? Asumsiku mengatakan jika di sini akan diadakan rapat. Netraku seketika menatap pelaku yang membawaku kemari. Dasar Dyah dan Basuki, bilang saja untuk menghadiri rapat sejak awal „kan bisa, batinku. Aku sudah terbiasa diajak oleh para mahasiswa kedokteran sebagai perwakilan dari rumah sakit tempat mereka melanjutkan studi untuk menghadiri rapat seperti ini. Namun, pertemuan rapat kali ini sepertinya akan lain dari biasanya. Rapat kali ini terasa begitu formal dan protokoler. Kami dipersilakan untuk duduk sesuai dengan tempat yang telah disediakan. Akan tetapi, aku dan ketiga orang itu harus duduk secara berjauhan lantaran mahasiswa dan tenaga kesehatan diberi tempat yang terpisah. Aku berkata pada mereka bahwa akan menunggu di mobil saat sudah selesai. Ucapanku lantas dibalas anggukan oleh ketiganya. Aku lekas menempatkan diri karena sepertinya rapat akan segera dimulai. Dari tempatku duduk, aku dapat melihat meja tempat para pimpinan sidang berada. Di meja itu, terdapat dokter dan tokoh terkemuka bangsa ini, sebut saja Dokter Mochtar, Dokter Satrio, Dokter Bahder Djohan, Suster Annie, Tuan Maramis, dan Tuan Palengkahu. Pandanganku menelisik sekitar. Ternyata, peserta rapat tidak hanya yang berasal dari tenaga kesehatan dan mahasiswa kedokteraan saja. Terdapat juga tamu – tamu dari tempat dan instansi lain, seperti PETA dan pemuda – pemuda dari Menteng Raya 31 yang tentu saja tidak kukenal.
Tak berselang lama, rapat pun dimulai. Para pemimpin sidang mengemukakan bahwa tujuan dan maksud dari rapat ini adalah untuk membentuk suatu organisasi yang disebut Palang Merah Indonesia atau yang disingkat PMI. Aku menelusuri ingatanku. Jika diingat – ingat, memang benar jika kami belum memiliki Palang Merah. Salah seorang pimpinan rapat berdiri. Ternyata beliau adalah Dokter Mochtar. Apakah beliau hendak berpidato? Otakku menerka – nerka. Dipegangnya mikrofon itu, beliau lantas mengucapkan kata – kata yang berasal dari lubuk hatinya.
“Para hadirin yang saya hormati. Sekarang ini kita sudah merdeka. Negara yang berdaulat sudah kita miliki. Belenggu penjajah yang telah berpuluh – puluh bahkan berabad – abad menjerat kita, kita telah terbebas darinya. Oleh karenanya, kita harus membela dan mempertahankan mati - matian kemerdekaan yang kita peroleh dengan mengorbankan jiwa dan raga ini. Kita mengemban kewajiban untuk mengisi kemerdekaan ini dengan profesi kita, yakni profesi kemanusiaan. Profesi untuk menolong sesama umat manusia yang membutuhkan pertolongan sebagai dokter dan perawat,” ucap Dokter
Mochtar memberi jeda sejenak sebelum berpidato kembali, “kita bersama – sama berkumpul pada hari ini untuk membicarakan wadah kita, membicarakan organisasi kita. Kita berada di ruangan ini sebagai orang – orang yang mempunyai profesi dalam rangka pengabdian kepada bangsa dan tanah air tercinta. Hampir semua negara yang merdeka di muka bumi ini memiliki apa yang dinamakan Red-Cross atau Palang Merah yang merupakan suatu organisasi kemanusiaan. Untuk itu pula, sebagai negara yang telah merdeka, kita juga harus mempunyai Red-Cross atau Palang Merah. Kita semua akan membentuknya saat ini juga pada hari ini. Kita semua akan melahirkan suatu organisasi sebagai wadah pengabdian kita kepada bangsa dan tanah air, yaitu Palang Merah Indonesia!”
Begitu pidato dari Dokter Mochtar berakhir, semua orang bertepuk tangan dengan meriahnya, tak terkecuali diriku. Suara tepuk tangan yang diselingi teriakan – teriakan Merdeka! menggema riuh memenuhi ruangan. Aku bisa melihat Dyah, Basuki dan temannya yang turut meramaikan suasana rapat ini. Tubuhku merinding dan hatiku berdesir. Aku merasa takjub dengan semangat perjuangan mereka yang membara. Ruangan rapat itu serasa ingin meledak karena semangat yang menggebu – gebu.
Rapat bersejarah itu diakhiri dengan penandatanganan naskah pendirian oleh para pemimpin rapat. Dengan penandatanganan naskah tersebut, kini bangsa ini memiliki Palang Merah seperti negara – negara lain yang merdeka. Untuk sementara waktu, Hotel Du Pavilyon akan menjadi markas besar PMI. Dengan adanya organisasi ini, aku menjadi semakin sibuk lantaran diminta untuk membantu kegiatan – kegiatan PMI yang baru lahir. Walaupun demikian, tentu saja aku akan membantu dengan senang hati karena ini adalah bentuk pengabdianku pada negeri.
***
Setelah bertahun – tahun berada di Jakarta, aku memutuskan untuk kembali ke Surakarta, tempat di mana hidupku berawal. Aku merindukan Surakarta. Perasaanku itu membawaku pada keputusan untuk mengajukan surat pindah tugas ke sini. Betapa beruntungnya aku, surat itu disetujui. Di sinilah aku sekarang, bekerja di salah satu rumah sakit di Surakarta sebagai perawat. Tidak ada perbedaan yang jauh jika dibandingkan dengan pekerjaanku saat masih berada di Jakarta. Memantau kondisi pasien, memberikan obat, melakukan pemeriksaan fisik, dan berbagai tugas perawat lainnya. Semua itu adalah rutinitasku sehari – hari dan aku menjalaninya dengan ikhlas juga senang.
Saat itu bulan November tahun 1945. Waktu menunjukkan pukul sembilan malam, saatnya pergantian shift kerja. Aku pun memutuskan untuk mengemasi barang - barangku dan memasukkannya ke dalam tas. Ketika hendak melangkahkan kaki dari ruangan, sesorang menghampiriku. Ternyata itu Sari, orang yang menggantikan shift-ku.
“Malam, Suster Arni. Bagaimana dengan kondisi hari ini?” tanyanya kepadaku.
Mendengar pertanyaannya itu, aku menjawabnya, “Aman terkendali, Sar. Tidak ada kendala. Oh iya, untuk data – data pasien hari ini aku letakkan di loker nomor 9, ya!”
“Baik, Suster Arni. Selamat malam dan selamat beristirahat,” kata Sari sambil menampilkan raut senyum di wajahnya.
“Aku pamit dulu, ya!” ucapku pada Sari yang dibalas anggukan olehnya.
Aku pun melangkahkan kaki dari rumah sakit dan menuju ke asrama perawat. Asrama perawat tempatku tinggal berada tak jauh dari rumah sakit sehingga dapat ditempuh hanya dengan jalan kaki. Sesampainya di sana, kuketuk pintu kamar asramaku. Terdengar teriakan Sebentar! dari dalam sana. Tak perlu waktu lama, pintu pun terbuka. Ternyata yang membukakan pintu untukku saat itu adalah Wati, teman sekamarku. Aku masuk ke dalam kamar dan meletakkan tasku di lemari.
“Oh iya, Ti. Astri dan Endah ke mana?” tanyaku pada Wati sambil memilih pakaian untuk diriku berganti.
Omong – omong, Astri dan Endah adalah teman satu kamar kami. Di asrama perawat, kami tidak diperbolehkan tinggal sendiri. Setiap kamar di asrama perawat berisi maksimal enam orang. Di sini, kami tidur dengan menggunakan kasur bertingkat agar cukup.
“Mereka keluar sebentar buat beli makanan, aku sudah menitipkan makanan untukmu pada mereka,” ucap Wati yang sedang menggelar tikar.
Perkataan Wati kubalas dengan anggukan dan aku pun pergi untuk membersihkan diri. Setelah selesai, aku keluar dari kamar mandi dan mendapati Astri serta Endah yang sudah kembali. Mereka bertiga sedang duduk sambil bercakap – cakap di tikar dengan sekantong plastik yang ada di tengah. Aku lantas menghampiri mereka dan mendudukkan diriku di antara Wati dan Endah.
“Nah, berhubung Arni udah selesai, mari makan!” ucap Endah kegirangan.
Mendengar hal itu, kami pun ikut makan bersamanya. setelah menyelesaikan makan malam, kami pun membersihkanya dan dilanjutkan dengan berbincang – bincang mengenai segala hal. Aku tak bisa menahan tawaku saat Endah mengatakan hal yang sangat menggelitik perut. Aku juga tak bisa senang saat mengetahui bahwa adik sepupu Astri gugur di medan perang. Kami bercerita banyak sekali hingga tengah malam.
Tok tok tok
Tiba – tiba terdengar suara pintu kamar kami diketuk. Kami saling melayangkan pandangan satu sama lain. Siapa yang bertamu tengah malam begini? otakku menebak – nebak. Berhubung aku yang paling dekat dengan pintu, aku yang berakhir membukakan pintu untuk tamu tersebut. Ternyata tamu itu adalah Dokter Munandar. Beliau adalah salah satu dokter di tempat kami bekerja.
“Maaf mengganggu malam – malam begini, ada hal penting yang ingin saya sampaikan,” ucapnya, merasa tidak enak hati dengan kami.
Menggelengkan kepala, aku berkata kepada beliau, “Tidak apa – apa, Dok. Silahkan masuk dahulu.”
Aku lantas mempersilakan beliau duduk bersama di tikar. Mengetahui jika ada tamu, Wati segera membuatkan secangkir teh hangat di dapur dan menghidangkannya untuk beliau.
“Apa yang bisa kami bantu untu Anda, Dokter?” tanya Astri tanpa basa – basi lagi.
“Jadi, begini. PMI berencana untuk mengumpulkan sukarelawan guna membantu perang di Surabaya. Kalian mengetahui kejadian di Surabaya, bukan?” ucap Dokter Munandar yang kami balas dengan anggukan, “aku berharap dari rumah sakit kita ada yang ikut jadi sukarelawan. Jadi.... siapa yang mau ikut perang ke Surabaya?”
Setelah mengatakan itu, seketika kamar diselimuti dengan keheningan. Entah apa yang merasukiku, aku memiliki keinginan untuk pegi ke sana.
“Saya bersedia, Dok.” Ucapku bersamaan dengan Endah. Kami saling bertukar pandang dan mengangguk yakin.
“Kalian tidak ikut?” tanya Endah kepada Wati dan Astri yang dibalas gelengan lemah oleh keduanya.
Wati berkata dengan pelan, “Aku masih belum siap mati.”
Perkataan Wati dibalas anggukan lesu oleh Astri. Jika memang demikian, aku tidak bisa memaksa mereka. Aku juga tak bisa berbuat banyak. Pasti bayangan perang yang mengerikan menghantui mereka. Tidak apa – apa, Dokter Munandar pasti memahaminya.
“Ya sudah, tidak apa – apa. Persiapkan barang – barang yang kalian perlukan. Secukupnya saja. Saya akan mengirimkan data kalian ke PMI. Besok kalian berkumpul dahulu dengan yang lain di halaman rumah sakit. Kita akan berangkat bersama. Saya sangat berterima kasih atas kesediaan kalian,” ujar Dokter Munandar dengan seutas senyum yang menghiasi wajahnya.
Setelah merasa urusannya selesai, Dokter Munandar pun pamit. Kamar yang awalnya cukup ramai sekarang hanya diisi keheningan. Mengapa suasananya menjadi seperti ini, ya?
“Maaf,” ucap Wati memecah keheningan, ”aku benar – benar tidak bisa.”
Netraku seketika mengarah ke dirinya yang sedang menunduk. Tak hanya Wati, Astri pun juga sama. Mendengar hal itu, aku hanya bisa tersenyum maklum.
“Tidak perlu meminta maaf, Dokter Munandar sudah bilang, bukan? Yang dicari adalah orang yang bersedia. Kaulah yang paling mengerti dirimu. Jika kalian memang belum bersedia, kami tidak akan memaksa,” kataku yang dibalas anggukan oleh keduanya.
Astri yang sebelumnya hanya terdiam mulai berbicara, dia berkata, “Terima kasih, biarkan kami membantu kalian berkemas untuk besok.”
Malam pun berganti pagi. Sang fajar telah menampakkan dirinya di ufuk timur walaupun masih enggan. Sesuai yang dijanjikan, kami akan berangkat. Akan tetapi, kami hendak berpamitan pada Astri dan Wati sebelum itu.
“Ah, aku akan merindukan kalian,” ucap Astri dengan nada yang tersendat – sendat karena menangis.
“Jaga diri kalian baik – baik, ya?” kata Wati saat kami berpelukan, “kami akan menunggu kalian.”
Aku dan Endah menganggukkan kepala. Dengan berisikan pakaian dan keperluan seadanya, aku menenteng tas milikku. Usai berpamitan, kami menuju ke halaman rumah sakit sesuai dengan instruksi Dokter Munandar. Di sana, terdapat lima orang perawat lainnya. Aku juga bisa melihat sosok Dokter Munandar. Kelihatannya kami orang yang terakhir datang, pikirku. Ternyata memang benar.
“Baiklah, berhubung semua orang telah hadir, saya akan menjelaskan kepada
kalian apa yang harus dilakukan,” ucap Dokter Munandar yang dilanjutkan dengan arahan dari beliau.
Kami diminta untuk menaiki kereta api karena itu adalah transportasi tercepat untuk ke sana. Dengan menaiki mobil, kami meninggalkan pelataran rumah sakit untuk pergi ke stasiun. Sesampainya di stasiun, kami pun berpamitan lalu memasuki gerbong kereta. Tak berselang lama, kereta akhirnya berangkat. Aku pun mendudukkan diri di kursi penumpang setelah meletakkan tasku di bagasi. Di sampingku, ada Endah yang sedang menatap pemandangan luar dari balik jendela kaca. Dia pasti sedang melamun, pikirku. Itu adalah kebiasaannya saat di perjalanan. Membiarkan Endah dengan dunianya, aku putuskan untuk membaca buku guna menghilangkan rasa jenuh karena perjalanan.
Setelah menempuh perjalanan selama berjam – jam, kereta pun berhenti.
“Sudah sampai? Kita sampai di mana, Ndah?” tanyaku pada Endah.
Endah yang baru saja membaca papan nama stasiun berkata kepadaku, “Kita sampai di Stasiun Mojokerto, Ni.”
Sudah sampai di pemberhentian kami ternyata. Alasan mengapa kami turun di Mojokerto adalah sangat tidak memungkinkan untuk turun di Stasiun Surabaya karena aksesnya yang terbatas dan dijaga oleh pasukan sekutu. Aku dan Endah lantas mengambil tas kami dari bagasi lalu keluar dari gerbong kereta. Begitu keluar dari gerbong, kami disuguhkan dengan pandangan orang – orang yang memakai baju putih dengan ban lengan Palang Merah. Salah satu dari mereka pun mendekati kami.
“Permisi, apakah kalian termasuk dalam tim sukarelawan dari luar Mojokerto?” tanyanya yang kami balas dengan „ya‟.
Orang tersebut pun melanjutkan perkataannya, “Baiklah, silakan berkumpul dengan yang lainnya di sana, ya!”
Orang itu menunjuk ke tempat yang ramai dengan orang – orang seperti kami. Mengucapkan terima kasih kepadanya, kami segera menuju ke tempat tersebut. Di tempat itu, kami diberi arahan oleh seseorang. Orang – orang yang tergabung dalam sukarelawan dibagi menjadi beberapa kelompok besar agar bisa memberi penanganan di tempat yang berbeda. Aku dan Endah termasuk ke dalam Palang Merah 45 yang diminta untuk mengawal salah satu batalion yang melawan pasukan sekutu di Surabaya. Barisan pun dibubarkan. Dengan menaiki truk, kami menuju ke Surabaya.
Begitu sampai di sana, hanya pemandangan yang menyayat hati sejauh mata memandang. Bangunan rusak, mobil terbakar, dan kepulan asap memenuhi kawasan itu. Terjadi porak – poranda di mana – mana. Di depan sana, terlihat pejuang dari batalion mulai memberikan serangan balasan kepada pasukan sekutu dengan menggunakan senjata yang nyatanya hasil rampasan dari Jepang.
“Ayo kita langsung bekerja!” ucap pemimpin kelompok kami, Dokter Sidakjuar.
Dengan menggunakan peralatan seadanya, kami mulai mendirikan pos kesehatan darurat di tempat yang menurut kami aman dan strategis. Di tengah – tengah proses pendirian pos, mulai berdatangan pejuang yang membopong rekannya yang terluka dengan tergesa – gesa. Korban yang dibawa menuju ke sini tidak bisa dibilang sedikit. Hampir sepuluh lebih. Hatiku semakin pilu. Bagaimana tidak? Mayoritas korbannya adalah warga sipil yang tak bersalah.
“Sebagian merawat orang yang terluka, sisanya melanjutkan pendirian pos!” ujar Dokter Sidakjuar mengarahkan kami.
Menenteng tas yang berisikan peralatan medis seadanya, aku dengan segera mulai mendekati seorang pria tua. Kelihatannya, ia adalah satu dari warga sipil yang menjadi korban. Dengan penuh ketelatenan, kurawat luka – luka yang menghiasi tubuh pria tua itu.
“Tahan sebentar ya, Pak. Mungkin akan sedikit sakit,” ucapku seraya melilitkan perban padanya.
Pria paruh baya itu hanya terkekeh dan berkata, “Luka kaya gini mah, gak ada apa – apanya, Suster.”
Aku hanya bisa tersenyum simpul. Perawatannya pun usai. Pria tua itu pun mengistirahatkan tubuh rentanya setelah mengucapkan terima kasih. Mengemasi peralatanku dan berpamitan, aku beralih ke korban lain yang juga membutuhkan pertolongan medis. Tiba – tiba, terdengar suara seseorang dari pengeras suara yang letaknya tak jauh dari kami. Ternyata pemilik dari suara itu adalah Bung Tomo.
“.......Dan untuk kita, saudara – saudara. Lebih baik kita hancur lebur daripada tidak merdeka. Semboyan kita tetap ‘merdeka atau mati’! Dan kita yakin, saudara – saudara. Pada akhirnya, pastilah kemenangan akan jatuh ke tangan kita, sebab Allah selalu berada di pihak yang benar. Percayalah, saudara – saudara. Tuhan akan melindungi kita sekalian.”
Pidatonya pun berakhir. Tanganku mengepal dengan kuatnya. Merasakan ada semangat mengalir dengan derasnya dalam tubuhku. Aku juga bisa merasakan tekanan di sekitarku yang berasal dari ambisi orang – orang yang sangat mendambakan kemerdekaan. Walaupun masih terbaring dan duduk dengan lemah karena sakit, mereka mengepalkan tangan ke atas dan terucap kata „merdeka‟ dari mulutnya. Kita pasti akan merdeka, batinku.
Tak jauh dari posisiku, aku bisa melihat Endah yang terlihat sedang mencari sesuatu. Tiba – tiba saja netranya mengarah ke padaku setelah mengedarkannya ke sekitar.
“Ni, bagikan kasa sterilmu padaku!” ujarnya dengan nada yang cukup keras.
Aku yang mengetahui hal itu segera mengambil persediaan kasa steril yang ada di dalam tasku dan melemparkannya kepada Endah. Dengan refleknya yang bagus, Endah berhasil menangkap kasa steril itu. Ucapan „terima kasih‟ pun keluar dari bibirnya. Aku lantas kembali fokus menangani korban yang terus berjatuhan. Perasaanku mengatakan jika korban semakin bertambah dari waktu ke waktu. Bahkan dengan adanya tenaga medis tambahan, kami masih sangat kekurangan tenaga. Perang benar – benar sangat mengerikan. Tiba – tiba saja, anggota batalion yang berada di sini untuk menjaga kami mendapatkan pesan dari rekannya melalui telegraf.
Raut tegang terpancarkan dari wajahnya, ia seketika berteriak, “Serangan umum!!!”
Mendengar kabar itu, para pejuang yang masih terluka seketika bangkit dari duduk maupun tidurnya lalu berlari dari sana untuk mencari tempat bersembunyi. Segera setelah menyelesaikan ikatan perban pejuang yang terluka, aku langsung mengemasi peralatan dan berlari menuju ke rekan – rekanku yang sedang bersembunyi.
“Ayo, cepat!!!” teriak Endah ke arahku.
Pikiranku berkecamuk. Kami yang terdesak harus meninggalkan tempat ini secepatnya sebelum pasukan sekutu bisa meraih kami, pikirku. Akhirnya, kami meninggalkan tempat itu dengan bantuan beberapa anggota batalion. Di belakang sana, pasukan sekutu menghujani batalion dengan tembakan juga granat. Terlihat batalion yang mencoba menahan serangan pasukan sekutu walaupun kondisi mereka juga sama terdesaknya. Kali ini, pasukan kami harus mundur.
Selama berhari – hari, kami terus berpindah – pindah tempat dan mendirikan pos darurat di setiap tempat yang kami singgahi dan berakhir meninggalkan pos itu. Bisa dibilang kami turut bergerilya bersama batalion. Hanya dengan perbekalan seadanya dan berjalan kaki, kami harus bertahan selama mungkin. Tak hanya itu, perlawanan dari batalion terus dipukul mundur oleh pasukan sekutu. Kami bahkan terdesak sampai ke luar Surabaya. Jika hal ini terus terjadi, batalion berencana untuk mundur ke Jombang melewati Pegunungan Anjasmoro.
Dan di sinilah kami berada, di kaki Gunung Anjasmoro. Jika tak salah ingat, daerah ini termasuk ke dalam Kabupaten Sidoarjo. Tak kusangka jika mereka akan mengejar kami sampai sejauh ini. Mereka benar – benar gigih, pikirku. Merasa kondisi sudah aman dan tidak ada tanda – tanda dari pasukan sekutu, batalion memutuskan untuk menjeda sejenak gerilyanya di sini.
“Kelihatannya kondisi sudah aman, kita beristirahat dulu di sini,” ucap pemimpin batalion seraya menurunkan senapan miliknya.
Aku akhirnya bisa bernapas dengan lega. Akan tetapi, tidak menutup kemungkinan untuk pasukan sekutu melayangkan serangan secara tak terduga. Oleh karena itu, kami tetap harus waspada. Entah sampai kapan perang ini akan berakhir, pikirku. Palang Merah 45 dengan sigap membuat pos darurat untuk ke sekian kalinya. Pos darurat pun selesai, aku lantas membuka tasku kemudian mengobati pejuang yang sedang terluka.
“Suster, Anda duduk saja,” ucap pejuang itu.
Aku pun melayangkan protes kepadanya, “Bagaimana bi-.”
“Tidak apa – apa, Suster. Anda pasti kelelahan, Anda pasti juga belum terbiasa dengan kondisi seperti ini,” ujarnya sarat akan ketulusan.
Kuakui apa yang dikatakannya memang benar. Menuruti perkataan pejuang itu, aku mendudukan diri. Akhirnya, setelah berjalan puluhan kilometer jauhnya, aku dapat merasakan kakiku kembali. Jujur saja, itu sungguh melelahkan. Setelah selesai mengobati pejuang itu, aku pergi dari pos untuk membiarkan pasien beristirahat. Di samping itu, aku juga hendak membersihkan seragam perawatku yang kotor karena darah di dekat sungai yang tak jauh dari situ. Saat masih berkutat dengan bercak yang sangat sulit hilang itu, tiba – tiba seseorang menepuk pundakku. Seketika aku membalikkan badan untuk mengetahui siapa pelakunya. Ternyata orang itu adalah Dokter Sidakjuar. Di tangannya, terdapat dua potong singkong kukus.
“Persediaan terakhir untuk hari ini. Makanlah,” ucapnya seraya tersenyum.
Dengan senang hati, aku mengambil satu potong singkong kukus dari tangan Dokter Sidakjuar lantas mengucapkan terima kasih pada beliau. Kami pun duduk dengan untuk memakan singkong kukus dengan ditemani suara gemercik air sungai. Otakku mencoba mengingat sesuatu. Kapan terakhir kali aku makan, ya? Apakah kemarin atau kemarinnya lagi? Aku tak dapat mengingatnya dengan baik karena terlalu fokus dengan kenikmatan dari singkong kukus ini. Entah mengapa singkong ini terasa sangat lezat di mulutku. Dalam sekejap, singkong itu sudah terlahap habis.
“Oh iya, Dok. Bagaimana kondisi para pejuang – pejuang yang terluka itu?” tanyaku yang baru saja selesai makan pada Dokter Sidakjuar.
Menggelengkan kepala, beliau yang mendengar pertanyaanku pun menjawab,
“Kondisi mereka semakin memburuk. Mereka butuh penanganan lebih lanjut. Sebentar lagi akan ada mobil bak yang datang untuk mengantarkan mereka ke Rumah Sakit Balongbendo. Butuh waktu satu setengah jam untuk ke sana, padahal itu adalah rumah sakit terdekat dari sini.”
Raut frustasi Dokter Sidakjuar terlihat jelas. Memang seperti ini kenyataannya. Setiap ada pejuang yang membutuhkan operasi, biasanya akan dibawa ke rumah sakit terdekat seperti Rumah Sakit Balangbendo yang masih berada di Sidoarjo. Sedangkan untuk luka berat yang membahayakan nyawa, akan dibawa menuju ke Rumah Sakit Budi Puji yang terletak di Mojokerto. Kedua rumah sakit tersebut memang yang terdekat, akan tetapi nyatanya waktu yang dibutuhkan untuk pergi ke sana tidaklah sebentar.
“Tak hanya itu, kami harus berjalan kaki dahulu agar bisa mencapai mobil karena kondisi jalan yang tidak memungkinkan. Kau melihatnya juga, bukan? Sehingga kita diharuskan untuk membawa pasien dengan menggunakan tandu,” ucap pria paruh baya yang saat ini duduk di sampingku itu panjang lebar, “tapi, mau bagaimanapun juga, sudah menjadi kewajiban kita untuk merawat pasien. Kita juga sudah bersumpah untuk melakukan yang terbaik demi kelangsungan hidup mereka walaupun taruhannya nyawa kita sendiri, walaupun pada akhirnya kita hanya bisa pasrah kepada Tuhan akan nasib mereka.”
Keheningan seketika melanda kami setelah Dokter Sidakjuar mengatakan hal tersebut. Tiba – tiba, terdengar suara langkah kaki yang menuju ke arah kami. Ternyata itu adalah Yanto, rekan palang merahku.
“Dokter, mobilnya sudah ada di sana. Kita bisa menuju ke sana sekarang,” kata salah satu rekanku itu.
“Baiklah,” kata Dokter Sidakjuar seraya bangkit dari duduknya, ”aku akan ikut dengan mereka sekaligus mengambil persediaan obat – obatan dan peralatan medis. Selama aku tidak ada, aku memasrahkan jabatan pemimpin kelompok Palang Merah 45 padamu karena kau adalah perawat paling senior di sini.”
“Baik, Dokter,” ujarku dengan tegas.
Mereka akhirnya berangkat. Sosok Dokter Sidakjuar dan orang – orang yang ikut dengan beliau sudah tidak tampak lagi dari penglihatanku. Aku pun kembali ke pos darurat untuk mengecek kondisi dari para pasien dan mendata mereka. Selang beberapa lama, terdengar suara tembakan. Seseorang dari batalion memasuki pos darurat dengan raut wajah tegang.
“Serangan umum!!! Mereka telah menemukan kita!” ujarnya secara tiba – tiba yang mengagetkan orang – orang di dalam pos.
Para pejuang yang sedang terbaring seketika terbangun. Mereka berlari keluar dan mengambil senapan untuk membalas serangan dari pasukan sekutu bersama rekannya yang lain. Batalion memberi kami waktu untuk menyelamatkan diri. Aku mengarahkan rekan - rekanku untuk mengemasi barang – barang seperlunya dan membantu membopong para pasien yang sedang dirawat.
“Ah! Yang benar saja?! Cepat sekali mereka menemukan kita!” ketus Endah yang saat itu sedikit kesulitan membopong pasien dan aku membantunya dengan segera.
“Ayo kita mencari tempat yang aman dahulu!” ucapku pada rekan – rekan yang lain.
Aji, salah satu anggota batalion saat itu berkata, “Semuanya! Ikuti aku! Aku mengetahui persembunyian yang aman!”
Kemudian kami mengikuti ke mana Aji melangkah. Langkahnya begitu cepat. Kata pemimpin batalion, dia merupakan pejuang termuda dari batalion karena umurnya yang baru menginjak 13 tahun. Setelah beberapa saat, tibalah kami di sebuah gua. Aku ingin memastikan bahwa gua ini benar – benar dapat jadikan sebagai tempat persembunyian. Oleh karenanya, aku meminta tolong kepada Aji untuk mengecek apakah gua ini aman atau malah sebaliknya. Aji mengatakan bahwa gua ini aman, tidak ada jejak atau bekas seseorang maupun hewan. Aku lega setelah mendengar itu. Kami lantas membuat pos darurat di sana. Kami juga terus berkomunikasi dengan batalion dan memberitahukan lokasi di mana kami berada. Aji pun kembali ke medan pertempuran untuk membantu batalion menahan serangan pasukan sekutu.
Menyenderkan pejuang yang kami bopong pada dinding gua, Endah lalu mengecek keadaannya. Untungnya tidak bertambah parah, begitu juga pasien yang lain. Tiba – tiba saja, masuk seseorang yang berasal dari batalion ke dalam pos. Saat kutamatkan lagi, ternyata dia adalah Aji. Mengapa dia kembali lagi? Ternyata, Aji masuk sambil merangkul seseorang yang tubuhnya terdapat luka yang cukup parah.
“Suster, tolong kakakku! Aku menemukannya telah terbaring pingsan dengan luka separah ini!” ucapnya meminta bantuan dengan raut wajah yang hampir menangis.
“Tenanglah, Aji. Sekarang, bantu Suster untuk membaringkannya, ya?” ujarku padanya.
Tubuh dari kakak Aji pun dibaringkan diatas tanah yang beralaskan kain. Setelah mengecek kondisinya, aku ragu untuk memberitahu hasilnya pada yang lain, terutama Aji.
Akan tetapi, aku harus terbuka jika menyangkut hal seperti ini, mau tidak mau.
Menarik napas dalam, aku berkata, “Dia harus dioperasi karena terdapat peluru di bagian dada kirinya. Jika tidak, bisa berakibat fatal.”
“Kalau begitu, operasi saja, Suster!” sahut bocah berumur 13 tahun itu.
“Tidak bisa, kita harus membawanya ke Rumah Sakit Balangbendo untuk bisa dioperasi,” kata salah satu rekanku, Tanti yang dibalas dengan „mengapa‟ oleh bocah itu.
Tanti melanjutkan, “Peralatan dan obat biusnya terbatas. Keadaan tempatnya juga tidak memungkinkan. Jika terpaksa melakukan operasi disini pun harus dilakukan oleh Dokter Sidakjuar. Sayangnya, beliau belum kembali sampai sekarang.”
Tidak ada yang berkata – kata lagi setelahnya. Napas Aji menjadi tidak beraturan seakan memendam emosi. Tiba – tiba saja, ia berlutut di hadapanku sambil mengganggam tanganku. Aku terkejut bukan main dengan tindakannya itu.
“Suster, tolong selamatkan kakakku. Saat ini, hanya dia saja yang aku miliki. Jika ia tiada, aku tak tahu akan jadi apa nantinya,” pintanya dengan nada yang menyayat hati.
Ini pilihan yang sulit. Sejujurnya, apa yang dikatakan oleh Tanti memang benar. Kami tidak bisa dengan sembarangan melakukan operasi di sini, apalagi dengan tidak adanya seorang dokter. Risikonya sangatlah besar. Akan tetapi, perkataan yang keluar dari mulut Aji membuat diriku tidak bisa membiarkan kakaknya begitu saja. Setelah memikirkan keputusan apa yang akan kuambil, aku meyakinkan hatiku.
“Tolong persiapkan peralatan dan obat bius. Siapkan dan sterilkan juga tempatnya. Kita akan melakukan operasi di sini,” ucapku final.
Tanti yang masih tidak percaya dengan perkataanku barusan lalu berkata, “Hei, kau serius?! Bagaimana dengan Dokter Sidakjuar? Kita tidak dapat melakukanya tanpa seizin beliau! Lagipula, siapa yang akan mengoperasinya?”
Menganggukkan kepalaku dengan yakin, aku mengatakan hal yang membuatnya diam seribu bahasa, ”Tentu saja, aku yang akan melakukannya. Tidak bisakah kita kesampingkan dahulu protokol seperti itu?! Nyawa manusia sedang menjadi taruhan saat ini!”
Seketika, Tanti pun sadar lalu berkata, “Kau benar, biarkan aku membantumu. Hei, Endah! Bantu aku!”
Tanti pun berlari sambil menarik tangan Endah menuju ke dalam pos. Endah yang sedang kebingungan pun hanya bisa pasrah. Perhatianku pun beralih pada Aji yang menahan tangis harunya.
“Sekarang, bantu Suster membopong kakakmu ke dalam, ya?” ucapku pada Aji yang dibalas dengan anggukan.
Kami pun membopong tubuh itu menuju ke dalam pos. Di sana, sudah ada Tanti dan Endah dengan pakaian serta peralatan yang lengkap. Dengan penuh hati – hati, aku dan Aji membaringkan tubuh kakaknya di atas ranjang bambu sederhana yang dilapisi oleh kain. Aku mulai memakai pakaian bedah. Saat sudah selesai, aku menatap Tanti dan Endah.
“Kalian sudah siap?” tanyaku pada kedua orang itu untu memastikan yang dibalas anggukan oleh keduanya, “Aji, bisakah kau menunggu di luar? Tenang saja, kami akan melakukannya semaksimal mungkin!”
Aji pun menganggukkan kepalanya lalu meninggalkan kami. Sekarang, kami bisa memulai operasinya.
“Posisikan tubuh agar bagian yang tertembak berada lebih tinggi dari jantung, lalu hentikan pendarahannya,” ucapku pada Tanti dan Endah.
Mereka pun dengan berhati – hati melepaskan baju yang melekat pada tubuh kakak Aji. Aku menatap Endah yang fokus pada bordiran yang ada di baju itu. Merasa ada yang janggal, aku bertanya pada Endah.
“Endah, ada apa?” tanyaku padanya.
“Tunggu dulu, kakaknya Aji termasuk pasukan NICA?” ujar Endah dengan nada tidak percaya, “apakah Aji mengetahui akan hal ini?”
Seketika aku melihat bordiran pada baju itu. NICA. Jadi, kakaknya termasuk pasukan sekutu? Otakku hampir tak memercayainya. Aku juga tak kalah terkejutnya dengan Endah. Tanti yang awalnya mau membantu menyelamatkan nyawa lelaki muda itu, sekarang menjadi ragu.
“Hei, untuk apa repot – repot menyelamatkan nyawa seseorang yang jelas – jelas memerangi kita?” ucapnya pelan seraya menundukkan kepala.
Keheningan seketika memenuhi ruangan itu. Aku yang merasa atmosfer di sini kurang mengenakkan lantas berkata, “Apa yang membuat kalian ragu? Karena dia pasukan sekutu? Hei, kalian tidak melupakan sumpah kita dulu saat diangkat menjadi tenaga kesehatan, kan? Kita telah bersumpah dengan kitab suci di atas kepala, kita telah bersumpah di hadapan Tuhan untuk membantu kemanusiaan tanpa memandang apapun. Termasuk di saat seperti ini. Walaupun dia pasukan sekutu, dia tetaplah manusia yang harus kita tolong jika mengalami kesusahan.”
Endah pun mengangkat suaranya, “Kau benar. Mari kita selamatkan orang ini dan biarkan dia mendapatkan balasan di dunia yang setimpal atas perbuatannya. Ayo kita lanjutkan.”
Keraguan masih menyelimuti Tanti, walaupun pada akhirnya dia tetap membantu. Kami pun melanjutkan pekerjaan yang sempat tertunda. Setelah menghentikan pendarahan, aku mulai menyuntikkan obat bius ke tubuh itu. Beruntung sekali karena darah yang hilang tidaklah banyak. Dengan penuh kehati – hatian, aku menyayat kulit itu dengan pisau bedah yang tajam. Aku lalu mengambil peluru yang bersarang pada dada kakak Aji. Totalnya ada dua peluru. Aku menyingkirkan kedua peluru itu ke dalam wadah. Seusai itu, aku mulai menjahit bagian yang disayat dengan bantuan Endah dan Tanti. Operasi yang memakan waktu dua jam itu akhirnya selesai dengan berjalan yang bisa dibilang lancar. Setelah membersihkan diri dan ruang operasi, aku lantas menghampiri Aji.
Raut cemas terlihat jelas di wajahnya.
“Aji,” kataku bermaksud memanggil Aji.
Aji yang mengetahui jika operasi telah selesai langsung membanjiriku dengan pertanyaan, “Suster, bagaimana operasinya? Apakah berjalan dengan baik? Bagaimana dengan kondisi kakakku? Dia baik – baik saja, kan?
Mengusap rambutnya, aku membalas pertanyaan Aji, “Dia masih terbaring pingsan tapi dia baik – baik saja, ini semua berkat dirimu yang langsung membawanya kemari.”
Raut cemas yang menghiasi wajah Aji seketika tergantikan dengan raut bahagia. Melihat perubahan raut wajahnya itu, membuat hatiku ikut senang. Akan tetapi, ada hal yang mengusik diriku. Ini mengenai kakak Aji yang ternyata pasukan sekutu. Aku ingin sekali menanyakannya kepada Aji tapi aku mengurungkan niat.
“Suster pasti penasaran dengan kakak Aji yang pasukan sekutu, kan?” tanyanya yang membuatku terkejut. Anak ini bisa membaca pikiran atau bagaimana? Otakku menerka – nerka.
Aji melanjutkan, “Kakak sebenarnya tidak ingin bergabung dengan pasukan sekutu. Akan tetapi, pasukan sekutu mengancam akan membunuh semua anggota keluarga termasuk kakak jika kakak tidak mau bergabung dengan mereka. Kakak tidak ingin jika Aji terbunuh begitu saja, jadi kakak terpaksa bergabung dengan mereka.”
Menyedihkan sekali mereka ini. Agar bisa bertahan hidup, mereka rela melakukan segalanya. Demi keluarga yang mereka sayangi, mereka berani mengambil risiko dengan kemungkinan terburuk mati. Aku memeluk tubuh kurus Aji.
“Tidak apa – apa, Aji. Sekarang kau bersama kami. Kami akan melindungimu dengan sekuat tenaga. Kau dan kakakmu tidak perlu menjalani kehidupan yang sulit seperti itu lagi,” ucapku yang masih memeluk Aji.
Membalas pelukanku, Aji berkata, “Terima kasih atas segalanya, Suster.”
***
Aku memang bukan tentara maupun pejuang, yang membawa senapan untuk menghentikan pasukan lawan dengan lantang.
Senjataku juga bukan bambu runcing maupun senapan, yang biasa mereka gunakan untuk memukul mundur pasukan lawan.
Akan tetapi, aku juga tak jauh beda dengan mereka, yang selalu berjuang demi tercapainya negeriku yang merdeka.
TAMAT
Keren cerpennya . Sangat menginspirasi dan nasionalis banget
BalasHapusSuka banget sama artikel2 nyaa...terus berkarya semuanya👌
Hapusmengisi waktu luang dengan baca cerpern itu seruuu bangett
BalasHapussaran saya lebih diperjelas tiap isinya, tpi secara kseluruhan sudah keren👍👍
BalasHapusArtikel nya secara keseluruhan keren & bisa mengisi waktu luang, semoga kedepannya bisa lebih baik lagi
BalasHapus