Vredeburg - PenaSella.com

Welcome To PenaSella.com

Selamat datang di PenaSella.com, Mari Membangun Literasi dan Memperkuat Nasionalisme bersama PenasSella.com

Rabu, 10 Juli 2024

Vredeburg

 Oleh : Dedeo Farelsya



Suatu hari terjadi perselisihan antara putra dan cucu dari Amangkurat IV, Raden Mas Prabasuyasa alias Pangeran Pakubuwana II, Raden Mas Sujana alias Pangeran Mangkubumi dan juga putra dari Arya Mangkunagara yaitu Raden Mas Said alias Pangeran Sambernyawa. Perselisihan di antara mereka disebabkan oleh perebutan pewaris takhta Kerajaan Mataram. Sebenarnya, pewaris yang diharuskan meneruskan takhta adalah Arya Mangkunagara.Tetapi ia malah diasingkan ke Sri Lanka dan akhirnya ia mengutus anaknya, yaitu Raden Mas Said untuk memperjuangkan warisan itu. 


Mereka bertiga diundang untuk datang ke Kasunanan Kartasura. Di saat mereka telah sampai di halaman Kasunanan Kartasura, mereka melihat ada beberapa orang berkulit putih di bagian dalam bangunan, yang tak lain adalah pihak VOC Belanda. Mereka segera turun dari kereta kencana masing-masing dan berjalan masuk menuju singgasana sang raja Amangkurat IV. Benar saja dugaan mereka, di dalam keraton terdapat sekiranya beberapa orang dari pihak Belanda yang turut menghadiri tempat tersebut. 


Pangeran Mangkubumi menyimpan kecurigaan terhadap pihak Belanda. Ia berpikiran dengan keyakinan yang kokoh, pihak Belanda pasti akan ikut campur dalam urusan pewarisan takhta ini. “Saya tidak akan sudi untuk siapa pun nanti yang berhasil menjadi pewaris takhta Kerajaan Mataram!” ucapnya dalam hati. “Itu semua pasti akal-akalan Belanda! Saya amat tidak menyetujuinya!”


Hingga yang ditunggu-tunggu telah tiba. Pihak Belanda memilih Pangeran Pakubuwana II sebagai penerus takhta Kerajaan Mataram. “Sesuai dengan tujuan saya di sini, saya memutuskan untuk memilih Pangeran Pakubuwana II sebagai penerus takhta Kerajaan Mataram,” ucap salah satu dari pihak Belanda.


Mendengar itu, terciptalah raut wajah senang dari Pangeran Pakubuwana II. Ia segera berlari menuju ibunya dan memeluknya. Berbanding terbalik dengan Pengeran Mangkubumi dan Pengeran Sambernyawa, muka mereka tertekuk dan nampaknya mereka tidak terima dengan keputusan itu. Mereka merasa bahwa itu bukanlah keputusan dari sang Raja Amangkurat IV, melainkan akal-akalan dari VOC saja. Hati Pangeran Sambernyawa semakin panas, ia pun melontarkan protes, “Mana bisa begitu?! Bukankah seharusnya saya yang menjadi pewaris takhta? Ayahanda saya saja sudah diasingkan oleh kalian bukan? Kalian ingin menghancurkan kerajaan ini ya?” Pangeran Sambernyawa menggertakkan giginya dengan napas yang memburu.


“Bukan begitu, Pangeran Sambernyawa. Kami telah memutuskan Pangeran Pakubuwana II sebagai pewaris takhta itu berdasarkan keputusan bersama dengan Raja Amangkurat IV dan Kesultanan Mataram,” bela salah seorang dari pihak VOC dengan mukanya yang pucat. Ia menyadari jika saja Pangeran Sambernyawa mengamuk, bisa-bisa tempat ini menjadi tempat pertumpahan darah dan semua strategi yang telah mereka susun akan hancur berantakan. Maka dari itu, VOC memilih tenang dan menjawabnya tanpa kekerasan.


Tanpa mengeluarkan kata-kata lagi, Pangeran Sambernyawa berjalan keluar meninggalkan Kasunanan Kartasura. Disusul dengan Pangeran Mangkubumi yang diselimuti amarah yang bergejolak di hatinya. Bisa saja ia juga melayangkan protes seperti keponakannya itu, tetapi ia memilih untuk diam dan segera meninggalkan tempat tersebut. 


Setelah terjadi perselisihan antara tiga orang yang terjadi di Kasunanan Kartasura, akhirnya VOC dapat merayu Pangeran Mangkubumi. VOC mengundang Pangeran Mangkubumi untuk berunding setelah pecah kongsi dengan kubu Pangeran Sambernyawa. VOC menjanjikan, bahwa akan dibagikan sebagian kekuasaan yang dipegang oleh Pangeran Pakubuwana II. Dari pihak VOC didatangkanlah seorang Gubernur VOC bagian Jawa Utara, Nicolas Hartingh. Dia berangkat menuju Semarang untuk menemui Pangeran Mangkubumi. Ada pula beberapa pihak yang hadir, yaitu Pangeran Notokusumo dan Tumenggung Rangga. Sementara, dari pihak VOC, Nicolas Hartingh didampingi oleh Breton, Kapten Donkel, dan Fockens. 


Perundingan pertama digelar oleh VOC dengan mengundang Pangeran Pakubuwono II dan Pangeran Mangkubumi dalam satu perundingan. Perundingan itu membahas pembagian wilayah, gelar yang akan digunakan, hingga terkait kerja sama dengan VOC. Perundingan pun mencapai kata sepakat dengan ditanda-tanganinya Perjanjian Giyanti. Perjanjian ini ditanda-tangani oleh N. Hartingh, W. H. Van Ossenberch, J. J. Steenmulder, C. Donkel, dan W. Fockens. 


Akibat dari perjanjian ini membuat peradaban Kebudayaan Jawa terpecah menjadi dua dengan terpusat di Surakarta dan Yogyakarta. Perjanjian Giyanti membagi wilayah kedua kerajaan tersebut dengan dibatasi oleh Kali Opak. Sebelah timur Kali Opak menjadi wilayah kekuasaan Surakarta, sementara sebelah barat Kali Opak merupakan wilayah Yogyakarta. Kasunanan Surakarta tetap dipimpin oleh Pakubuwono II, sedangkan Kesultanan Yogyakarta dipimpin oleh Pangeran Mangkubumi dengan gelar Sri Sultan Hamengkubuwono I. 


Belanda melihat kemajuan yang sangat pesat akan kesultanan yang didirikan oleh Sultan Hamengkubuwono I. Pihak Belanda mengusulkan kepada sultan supaya diizinkan membangun sebuah benteng. Pembangunan tersebut dengan dalih supaya Belanda dapat menjaga keamanan, akan tetapi dibalik dalih tersebut maksud Belanda yang sesungguhnya adalah untuk memudahkan mengontrol segala perkembangan yang terjadi. Dapat disebutkan bahwa berdirinya benteng tersebut dimaksudkan kepada bersiap-siap apabila sewaktu-waktu sultan memalingkan muka memusuhi Belanda. 


Datanglah perwakilan dari pihak VOC menghadap Sultan Hamengkubuwono I. Ia datang dan menyembah seraya berkata, “Paduka, saya perwakilan dari Belanda diutus untuk menyampaikan sebuah pesan.” perwakilan VOC itu pun menyerahkan gulungan kertas dari saku celananya kepada Sultan Hamengkubuwono I. 


Sultan Hamengkubuwono I pun membuka gulungan kertas itu dan membacanya dengan teliti. Setelah selesai membaca, ia menggulung kembali kertas tersebut dan mengembalikannya pada perwakilan yang diutus oleh VOC tersebut sambil tersenyum. Ia pun berkata, “Saya akan memberi balasannya, tunggu sebentar.” Sultan pun memanggil pembantunya untuk mengambilkan selembar kertas dan tali serabut dengan tujuan yaitu ingin membalas pesan tersebut. 


Sultan menulis di atas kertas tersebut dengan hati-hati. Setelah selesai, ia menggulungnya dan memberikan pada perwakilan VOC tersebut seraya berkata, “Kembalilah ke tempat asalmu dan sampaikan pesanku ini!”

“Baik, terima kasih, Paduka.” Perwakilan VOC itu pun segera meninggalkan halaman Kesultanan Yogyakarta. 


Sultan Hamengkubuwono I pun sudah menjalankan perintah Belanda, yaitu membangun sebuah benteng. Benteng yang ia bangun adalah benteng yang sangat sederhana berpotongan bujur sungkar. Di keempat sudutnya dibuat tempat penjagaan yang dikata seleka atau bastion. Namun, karena pembangunannya yang seperti itu, pihak Belanda yaitu Nicolas Hartingh bertutur, “Benteng itu sangat sederhana. Saya mengusulkan agar benteng tersebut diperkuat dan dibuat menjadi permanen.”


Atas tuturan dari Nicolas Hartingh, Sultan Hamengkubuwono I pun melanjutkan pembangunan benteng tersebut. Akan tetapi, tetap saja masih mendapat usulan yang menginginkan benteng itu agar disempurnakan. Pengganti Nicolas Hartingh, yaitu W. H. Van Ossenberg, ia berkata, “Di benteng ini, harus didirikan benteng tambahan dan disempurnakan.” Pada masa pemerintahan W. H. Van Ossenberg, benteng ini diberi nama Rustemburg yang berarti benteng peristirahatan. 


Karena terlalu mengikuti kemauan Belanda, akhirnya benteng itu diambil alih oleh pihak Belanda. Status tanah tetap milik kesultanan, tetapi penggunaan benteng secara de facto menjadi milik Pemerintah Belanda di bawah Gubernur Van Den Burg. Namun, tak selang lama benteng diambil alih pengelolaannya oleh Kerajaan Belanda di bawah Gubernur Herman Willem Daendels. Kemudian datanglah tentara Inggris, saat itu Inggris berhasil berkuasa. Karena hal itu, benteng dikuasai oleh Inggris di bawah Letnan Gubernur Thomas Stamford Raffles. Namun dalam waktu singkat Belanda dapat mengambil alih kembali. 


Kemudian Benteng Rustemburg mengalami kerusakan yang diakibatkan oleh gempa bumi yang menimpa Yogyakarta. Karena kondisinya yang berantakan, dilakukanlah renovasi besar-besaran terhadap benteng tersebut namun tetap menjaga bentuk aslinya. Setelah renovasi dan penyempurnaan selesai, Benteng Rustemburg diganti namanya menjadi Benteng Vredeburg yang berarti benteng perdamaian. 




Tidak ada komentar:

Posting Komentar