Oleh : Ahmad Hariyadi
Mati, mati, mati kau, londo bajing*n,” satu buah kepala sinyo lagi-lagi terendam dalam genangan merah segar yang menandai masa kelam dalam republik ini belum berakhir.
Hampir berlalu, Jepang yang terus menghunus Hindia-Belanda konon sebentar lagi akan terperangkap layu di tangan Sekutu. Namun, tetap saja, kalimat banal semacam itu jamak lalu lalang dalam telinga cacatku yang sedikit terganggu karena ak u pernah tak sengaja —meski aku masih tak percaya akan hal itu— tertembak oleh satu peluru yang dilontarkan oleh Meusser C96 milik bawahan Koninklijke Nederlandsch-Indische Leger yang salah mengiraku sebagai satu aktor penting yang mendalangi pemberontakan melawan batalion kecil J.J Pesman di sekitaran kota Cimahi. Kejadian yang telah berlalu beberapa belas tahun lalu, dimana namaku masih berpacu dalam serbu kolonial akibat aku yang terlampau dalam terendam pada ide proletariat semu sebab membaca salah satu buku ciptaan Maring yang ternyata adalah salah satu komplotan Komintern yang hidup sekadar menjadi penjilat Lenin. Sekarang, aku jauh dari diriku yang lampau, seorang jurnalis —sejatinya lebih condong pada alat propaganda— yang benar-benar membuang waktu pada ide-ide sayap kiri dan bahkan hampir menjadi seorang simpatisan rendahan ISDV. Sebenarnya, bukan sebab terkena propanganda masif mereka, aku saat itu hanyalah buta pada sirkum pergerakan pemikiran yang berkembang di Belanda. Lagipula, rakyat kecil mana yang tidak tergiur pada penghilangan kelas sosial dan kesenjangan antara aku yang kecil dan para sinyo yang hidup berlimpahkan harta.
Aku telah meninggalkan Bandoeng, pula tak pernah lagi melakukan “kunjungan kerja” palsu menuju Batavia sejak beberapa tahun lalu. Tubuhku yang telah melewati masa sehatnya ini memilih untuk rehat pada satu kota yang tidak terlalu gaduh di ujung selatan Banten, Lebak. Lebak mungkin tak terlampau sepi jika dibandingkan dengan daerah lain di pesisir yang memang terisolir dari Batavia. Sebenarnya, ada sedikit alasan bodoh mengapa aku memilih Lebak sebagai tempat “pensiun” diriku. Aku hanya ingin merasakan sedikit keabsahan dari “Max Havelaar” yang sekali kubaca saat aku dititipkan abahku pada seorang Indo bernama mr. Ernest di Bandoeng. Tetapi pada akhirnya, kukira hanya Lebak tempat yang cocok untuk diri ini tetap bisa hidup sebab aku sama sekali tak mampu mengolah ladang maupun menjadi pengrajin. Meski, abahku adalah seorang buruh tani yang juga menggantungkan sedikit hidup keluargannya dari parang dan bambu, keterampilan tanganku sama sekali berbeda dengan abah. Aku pula tak pernah hidup dekat dengan abah sepanjang masa remajaku. Sedikit besarnya sebab abah tak mau aku menjadi seorang pesakitan kaum jelata yang untuk memberi makan anaknya pun perlu mengemis upahnya dulu pada seorang juragan kulit putih.
Banten, hawanya sedikit berbeda dari metropolitan yang pernah kurasakan pada kehidupanku yang lampau. Batavia telah penuh sesak dengan rupa bermuka dua dan kemunafikan yang berceceran di jalanan. Bandoeng yang dingin mulai dipenuhi pula dengan intrik politik dan berbagai macam pergerakan pemuda yang berdasar pada ego berkuasa, bukan harapan untuk merdeka. Lebak, agaknya berbeda dengan mereka saat aku pertama kali menginjakan kakiku padanya. Meski pergerakan pemuda bawah tanah Banten pun telah dirumorkan ada semenjak sebelum Jepang masuk ke Hindia-Belanda, mereka agaknya belum terlalu mengenal arti dari kekuasaan dan politik yang keruh kala Jepang datang pada awal tahun empat puluh-an. Pula, mereka terbentuk bukan dari satu kelompok pemuda eksklusif yang bersekolah tinggi pada sekolah negeri bentukan Hindia-Belanda, hanya satu dua dari mereka yang pernah mengenyam pendidikan swasta seadanya dari TPA kecil yang sebenarnya adalah akar pergerakan kaum proletariat di Banten.
Aku di Lebak tak se-terkenal diriku yang sempat menjadi incaran Heiho di Bandoeng. Hidupku telah lepas dari pena, kertas dan mesin tik tua yang sedari aku dititpkan Abah pada mr. Ernest menjadi satu-satunya temanku kala aku hidup dalam lingkungan penuh segregasi dimana menjadi Inlander adalah sebuah dosa besar. Di Lebak, aku bukanlah seorang jurnalis lepas yang tak bisa lari dari intel pemerintah kolonial Hindia-Belanda. Aku hanyalah seorang supir panggilan yang melayani para Vreemde Oosterlingen dan juga para Nyai. Uang dari pekerjaanku lebih dari cukup untuk menghidupi keluarga kecil milikku yang juga telah nyaman hidup di Lebak. Meski, orang-orang Lebak kerap bergumam dan berkata buruk tentang diriku sebab rupaku yang memang tak pernah cocok menjadi pelayan dengan raut wajah ramah. Pula, masih banyak rumor yang mengatakan bahwa aku adalah seorang politisi yang dibuang dari Batavia, entah darimana mereka mendapatkan berita-berita bohong semacam itu.
Aku memang menikmati menjadi seorang supir lepas sebab ia penuh kebebasan dan tak pernah punya batasan. Aku bisa mengambil penumpang sesuai dengan suasana hatiku saat itu juga. Kala aku sedang bermimpi mengenai masa lalu kelam milikku, dalam sehari itu, aku memilih untuk menikmati secangkir bubuk biji kopi asli Lebak yang telah istriku buatkan untukku. Namun, bulan Juli memang tak pernah berkawan baik denganku, pemasukanku benar-benar menghilang sebab banyak sekali orang Indo dan Europeaen yang memilih untuk keluar rumah sebab situasi yang amat sensitif di Eropa dan ketakutan mereka pada Heiho yang amat sering bertindak kejam kala menemui manusia berkulit putih yang punya keturunan Nederlands. Para tionghoa juga sibuk menyelamatkan bisnis dan anak-anaknya karena bau-baunya, revolusi semakin dekat pada tubuh Hindia-Belanda.
“Johar, lama tidak berjumpa denganmu,” satu suara berat penuh kharisma memecah hening kala aku sedang menikmati satu batang cerutu dan kopi saat masa sulitku ini, “Hahaha, tak pernah aku menyangka, Johar yang selalu berdikari pada anti kemapanannya akhirnya menyerahkan diri pada pragmatisme dunia yang jauh dari idealismenya,”
Aku amat terkejut mendengar seorang memekik panggilanku di masa lampau yang sekarang tak pernah lagi kudengar. Aku memutar kepalaku hampir seratus delapan puluh derajat, hanya untuk memastikan apakah telinga cacatku ini berhalusinasi pada pagi yang sangat dingin ini. Sialnya, aku tidak berhalusinasi, mungkin satu nasib buruk saja menemukan orang yang mengenalku pada sebuah kubangan oase kecil ini. Aku sedikit mengrenyitkan kedua buah bola mataku yang sejatinya butuh kacamata demi mengingat siapa dirinya. Seorang lelaki muda —agaknya sedikit tua— berkulit coklat sawo matang, berambut lurus, memakai jas tanpa dasi pula dengan sebuah kaca mata bundar berwarna abu-abu. Aish, aku sedikit sulit mengingat, sejak kapan aku punya teman Jawa yang punya rumah dekat Banten. Terakhir kali aku menemui seorang Jawa hanyalah Soeman, kawanku menikmati teater kala di Bandoeng dahulu. Namun, tak mungkin Soeman masih terlihat semuda ini, terakhir kali kulihat, ia hanyalah seorang pakdhe-pakdhe pemabuk yang menghabiskan hidupnya di rumah bordil milik seorang Tionghoa di sekitaran Dago.
“Bung, sebelumnya maafkan jika saya terlampau lancang,” ujarku perlahan sembari berdoa agar aku tak lagi terjebak dalam lingkaran hidup berbahaya milikku yang lampau, “Mungkin, bung ini salah orang, saya bukanlah Johar yang anda cari.”
“Johar, Johar, haruskah kupinjamkan lagi kacamata tuaku ini pada dirimu agar memori mengerikan kita kembali lagi dalam akalmu?” suara kharismatik itu kembali lagi menggetarkan telinga cacat kepunyaanku ini.
Sialan, aku makin bertanya-tanya dalam hatiku perihal siapa dirinya sebenarnya. Aku benar-benar tak memiliki banyak petunjuk atas segala yang dia ujarkan kepada diriku. Satu memori mengerikan, aku bahkan hampir tak mengingat memori mengerikanku di masa aku menjadi jurnalis lepas dahulu. Momen mengerikan yang benar-benar kuingat hanyalah kala aku tertembak Meuser C96 milik pasukan KNIL yang telah aku ceritakan tadi. Selain itu, sialan, aku benar-benar tak mengingat kenanganku kala aku menjadi Johar yang kata dirinya amat anti kemapanan itu.
“Hey, hey, hey, apakah seorang Johar muda yang membara milik kita telah hilang ditelan keadaan untuk menyelamatkan nyonya dan tuan mudanya.”
“Jaga mulut anda, bung,” aku sedikit tersinggung atas ucapannya yang merendahkan istri dan buah hati kecil kepunyaanku, “Saya tak pernah ingin membuat musuh di hidup baru saya, namun jika itu kemauan anda, saya tak akan menghindar.”
Dengan sedikit gentar dan tersenyum getir akhirnya lelaki muda yang belum aku ketahui siapa namanya itu mengakhiri segala basa-basi dan candaannya, “Tidak Johar, maafkan atas candaanku yang buruk, aku benar-benar tak tahu dirimu sedang dalam suasana hati yang buruk.”
“Sejauh yang kuingat, kawanku, Johar adalah seorang anak muda yang punya sedikit banyak humor-humor aneh,” ia mengatakannya dengan sedikit tawa satir, “Namun, zaman pun telah berganti, Jepang pula akhirnya menghantam Semenanjung Cina, masuk juga pada Hindia, dan seorang anak kecil lugu milik kita tentulah berubah.”
“Sudahlah bung, hentikanlah basa-basi kepunyaan anda, tentu anda paham saya sedang dalam situasi yang cukup buruk akhir-akhir ini,” aku lagi-lagi berkata sedikit keras untuk menekan dirinya, “Siapa nama anda bung, dan ada keperluan apa dengan saya?”
“Jadi, sebab saya tak ingin membuat tuan Johar semakin terlarut dalam amarahnya, akan saya kenalkan nama saya, jadi tuan Johar bisa memanggil saya Sawirjo, teman masa kecil anda kala anda tak punya teman di Bandoeng.”
Seorang Jawa bernama Sawirjo, teman masa kecilku kala aku sama sekali tak punya teman di Bandoeng. Siapa Sawirjo, apakah manusia ini membodohiku lagi dengan ucap-ucap sampah miliknya? Pernahkah aku mengenal seseorang dengan nama Sawirjo pada masa lampauku. Aku hanya pernah punya satu kawan dengan mulut semenjijikan dia, dan tak mungkin orang itu sampai datang ke kota ini.
“Sawirjo, Sawirjo, Sawirjo…” tak sengaja aku menggumam kecil hingga terdengar oleh dirinya yang mengaku punya nama Sawirjo itu.
“Astaga, kawanku Johar, masih tak mengingat namaku? Aku Kenthus, Kenthus tetanggamu sialan, hingga kau tak mengenal diriku, sumpah aku akan menarikmu ke jalan raya samping sana, Har.”
“Bajing*n kau Kenthus, bagaimana kamu bisa sampai pada kota kecil ini, bukankah dirimu telah mapan meneruskan usaha yang amat diberkati tuhan milik bapakmu itu?” celotehku dengan penuh candaan pada Kenthus, teman guyon pertamaku pada masa aku tak punya teman kala aku baru saja tiba di rumah mr. Ernest.
“Sampai kapan dirimu akan mencemooh usaha judi milik bapakku, lagipula kau sering juga ikut bermain di rumah judi ayahku, dengan asyiknya minum khamr pula,” si sialan itu kembali membahas aib masa remajaku yang telah kupendam dalam-dalam sekarang, “Lagipula, usaha bapakku sekarang telah gulung tikar, hahaha.”
Tak bisa kusangkal, ketika bertemu dengan Kenthus, aku seakan kembali menjadi Johar masa remaja yang amat suka berceloteh panjang lebar tanpa tujuan dan poin tertentu. Candaan-candaan menyinggung dan penuh kata-kata menyaitkan yang hampir beberapa tahun ini tak bisa diriku tuangkan pada kota kecil yang sebenar-benarnya asing untukku ini akhirnya bisa aku “hadiahkan” lagi pada kondisi reuni bersama kawan remaja inlander miliku. Basa-basi mengenai masa remaja kami berlanjut hingga Kenthus mulai tiba-tiba menjauh dari tempat kita duduk tadi. Aku benar-benar tak berani mendekat padanya sekarang sebab muka Kenthus yang terlalu serius jika dibandingkan kala aku dan dirinya membahas masa remaja kami. Terlihat ia menungu seseorang datang untuk memberikan entah apa yang Kenthus nantikan —sial, mungkin aku akan menyebutnya Sawirjo mulai dari sekarang, sebab rasanya tak pantas menyebut seorang Inlander yang berpakaian rapi seperti seorang sinyo Indo dengan nama “Kenthus”.
Seorang remaja dengan kumis tipis menghampiri Sawirjo, ia membisikan sedikit sesuatu pada kawan remajaku itu. Lagi-lagi aku punya firasat bahwa kehidupan tenang di kota asing ini akan segera berakhir digantikan oleh perasaan was-was yang dahulu pernah aku rasakan. Jujur saja, aku sebenarnya tak terlalu menikmati kehidupan datar seperti kebanyakan Europeanen dan Indo yang hidup sebagai seorang administratur maupun aparatur sipil —bahkan mereka pun terkena dampak zaman kalang-kabut pula disebut para kawan jurnalis intelekku zaman malesie pada tahun tiga puluh-an. Sawirjo menerima satu surat kusam yang telah sedikit koyak dengan penuh gerakan mencurigakan. Entah bagaimana, aku sedikit tertawa kecil sebab posturnya hampir mirip dengan Kenthus masa remaja yang gemar sekali menyelundupkan vodka-vodka berkualitas tinggi yang ia dapat dari seorang dengan perawakan khas etnik Slavia Timur. Sawirjo, selepas menerima surat yang dari sepenglihatanku tanpa diberi tempelan perangko —yang berarti itu bukanlah surat perintah dari pemerintahan untuk menangkap diriku yang malang ini— mengeluarkan beberapa sen dan juga sebuah roti dari dalam jas hitamnya. Remaja berkumis tipis yang berbekal satu tas kumuh yang sobek dan juga sepeda tua yang kurasa bukanlah miliknya itu pergi sekali lagi dengan raut cukup bahagia, dan Sawirjo akhirnya menghampiriku dengan wajah setengah tersenyum.
“Aih, apa lagi tuhan yang akan terjadi pada hidup saya,” aku menggumam sebab aku merasakan satu perasaan yang entah bagaimana mengarahkanku pada mimpi buruk milik diriku sebelumnya. Aku entah mengapa berburuk sangka pada Sawirjo yang mengadukan diriku pada mr. Ernest dan surat itu berasal dari orang Indo aneh itu yang hendak meminta diriku pulang ke Bandoeng untuk membantu pekerjaan-pekerjaan berbahaya yang akan melibatkanku lagi dengan situasi perang yang makin dekat ini.
“Maaf jika membuat kawan hebatku ini menunggu, Johar,” dengan cemas yang penuh doa-doa pada gusti, aku menunggu apa yang akan Sawirjo ucapkan selanjutnya, “Jadi, ada satu surat yang sepertinya ditujukan untuk Johar kita yang baru.”
Brengsek satu ini, sebenarnya aku hampir muak dengan sikap Kenthus satu ini yang sedari dulu amat manipulatif. Entah bagaimana, tiap suara yang keluar dari mulut busuknya sudah tentu diiringi dengan kata-kata mutiara yang penuh dengan ambiguitas. Bagaimana bisa pula, basa-basi bau tengiknya mampu mengulur situasi yang sebenarnya cukup genting. Tak heran pula, bagaimana cara ia bisa mendapatkan koneksi yang cukup luas pada orang-orang besar dari sayap manapun jika tidak menggunakan lidah ajaib miliknya. Bukankah jarang sekali, seorang mampu berteman dengan seorang sosialis agamis sekaligus bermitra dengan seorang kulit putih yang di tiap jengkal otaknya hanya dipenuhi gulden, gulden, dan gulden lagi.
“Bukankah engkau penasaran dengan apa kata yang ada di dalamnya, wahai Johar yang baru? Apakah itu akan berisi permintaan seorang perwira PETA yang memintamu membantu program propaganda busuk mereka? Atau, mungkin surat dari abahmu yang sekarang entah berada dimana sebab anaknya tak pernah peduli padanya lagi?
“Jika kau datang jauh-jauh kemari hanya untuk bergurau dan memutuskan hubungan kita yang telah terjalin amat baik, bukankah itu amat sia-sia wahai tuan Sawirjo yang amat pelayan ini hormati?”
“Yah, yah, yah, sifat sensitifmu muncul lagi, bagaimana dirimu bisa dapat penumpang jika raut dan ucapmu masih tajam seperti Johar yang ku kenal dahulu?”
Ini bukan kali pertama terbesit dalam pikiranku untuk membunuh Kenthus satu ini sebab tingkahnya yang sangat membuat akalku dongkol. Abahku yang memang tak lagi pernah aku tengok pun tak luput dari ciprat ludahnya. Aish, sebenarnya dia ini tumbuh pada lingkungan seperti apa hingga bac*tnya mungkin bisa menandingi manipulasi dagang yang dilakukan para elit-elit serikat “monopoli” Belanda zaman terdahulu. Bukannya, ia tumbuh dalam lingkungan yang hampir sama denganku, kapan dirinya berpisah denganku, bukannya tiap hari aku dan dirinya bersama-sama? Namun, sialnya aku hampir selalu terkesima sekaligus gondok dengan kemampuannya bicaranya yang amat baik hingga mampu menggiring siapapun masuk ke dalam sangkar milik seorang Sawirjo.
Sawirjo mengulurkan surat yang ia terima tadi bersamaan dengan tangan kecilnya pada diriku, “Bacalah sendiri, mungkin sedari sekarang pembicaraan kita akan sedikit serius sebab aku pun tak mau dirimu salah paham pada apa yang diriku bawa padamu.”
Aku menerima surat itu perlahan dan mencoba untuk tak merusak apa yang ada di dalamnya. Sialan, sepertinya seseorang yang menorehkan tinta pada kertas kusam ini amat berhati-hati dalam mengemas segala yang ia tuangkan disini. Kecamuk akalku makin menjadi, batinku sendiri mengharapkan bahwa jangan sampai ini adalah sebuah berita buruk bagi istri dan laki-laki tercintaku. Aku hanya tak meninginkan istriku mengeluhkan dirinya tak bisa terlelap dalam tidur sebab namaku selalu menjadi gunjingan para Inlander kolot yang mengganggap pemerintah Hindia-Belanda tak bersalah pada bangsa Hindia hanya sebab mereka mendapat keringanan hidup dengan ayah seorang pegawai sipil. Sekarang, satu kertas yang dilipat beberapa kali telah ada pada tanganku yang terus gemetar, persis kala aku kalah besar dalam berjudi di rumah Kenthus.
“Buka saja segera, tak ada yang terlalu berbahaya dari surat itu,” Sawirjo terus menggodaku sebab aku amat terlihat tak punya nyali untuk membuka surat itu. Setelah berbagai pertimbangan dan kecamuk dalam diriku, aku memberanikan diri untuk membuka surat itu. Jujur saja, terlintas keinginan untuk mengoyak segala yang ada di dalam sana. Namun, kukira Johar bukanlah seorang pecundang menjijikan yang selalu lari dari apa yang ia hadapi. Namun, amatlah sial, mengapa bait tiap kata dalam surat Sawirjo ini amatlah panjang. Mungkin, aku perlu berhenti sejenak agar dapat jenak membaca mutiara atau malah dinamit yang telah terbungkus rapi ini.
Kepada,
Tuan Johar Komarrudin yang semoga selalu diberkati oleh jiwa-jiwa revolusi,
Untuk sementara, saya tak ingin mengenalkan siapa diri saya sebab tak ada gunanya pula mengenalkan diri saya yang kecil pada seorang pemikir muda menakjubkan seperti anda, Tuan. Sedikit pengantar, kata yang ada dalam surat ini saya tulis dengan penuh rasa hormat dan bukan dengan keterpaksaan untuk menuliskan surat ini. Jadi, saya adalah satu perwakilan pemuda Bajah, negeri kecil di pesisir selatan Banten, tentulah Tuan Johar tahu akan hal tersebut.
“Sialan, pergerakan pemuda lagi dan lagi, kukira masaku berhadapan dengannya telah habis…” aku menggumam lirih dengan mata yang masih terfokus pada seratus atau lebih kata yang ada di surat itu.
Tak banyak yang ingin saya utarakan pada Tuan Johar. Namun, perlu diingat bahwa saya menulis bukan mewakili saya, sedangkan, segala jiwa-jiwa muda yang ada di negeri kecil tempat saya terlelap ini. Mungkin, cukup sudah basa-basi dari saya sebab kami pula masih punya banyak tanggung jawab yang belum saya selesaikan waktu ini.
Tuan Johar yang amat kami hormati,
Sebab situasi yang cukup tidak kondusif pada akhir ini dalam diri Hindia, salah banyak pemuda Bajah ingin mencoba mengutarakan rasa para jiwa muda Bajah pada segala pemangku kepentingan di atas sana, wabil khusus, mereka yang satu rasa dengan kami. Kami telah mencoba menghubungi segala yang ada dari Merak hingga Rangkasbitung, dan tak ada jawaban sama sekali. Saya tahu bahwa Bajah bukanlah pusat pergerakan pemuda semacam kota-kota metro lain. Jadi hanyalah Tuan Johar satu-satunya jalan yang kami amat andalkan sekarang. Tuan Sawirjo Prawironegoro telah mengatakannya pada kami pribadi, bahwa Tuan adalah satu dari sedikit jiwa muda yang menyerah pada impian remaja Tuan.
“Apa yang dirimu katakan pada para muda Bajah, Sawirjo?” tanyaku dengan tatapan tajam pada Sawirjo yang sedari tadi masih saja sibuk dengan cerutu Kuba kepunyaanya.
“Hahaha, jadi kau memanggilku Sawirjo sekarang? Perihal yang kukatakan pada orang-orang tentang dirimu, sebenarnya dikau tak perlu banyak tahu tentang itu, sebab seorang kawan takan pernah mengutarakan suatu yang buruk mengenai kawannya sendiri,” Sawirjo memulai lagi ucapnya pada berbagai retorika yang membuat semua orang yang menjadi lawan bicara Kenthus satu ini akan menjadi amat dongkol. Namun, aku telah tak peduli lagi pada apa yang ia katakan, sebab aku lebih tertarik dengan selebaran dari Bajah ini.
Batavia adalah tujuan kami selanjutnya. Dalam kongres pemuda Bajah yang telah diadakan kecil-kecilan pada beberapa tempo yang lalu, diputuskan bahwa pemuda Bajah akan tampil dalam sirkum pemikiran pergerakan nasional kedepannya. Kami tak mengincar panggung untuk berpolitik sejatinya, kami hanya ingin berperan dari belakang dan menjadi satu bagian dari pendirian sebuah Republik yang akan menggantikan Hindia Belanda.
Sial, aku amatlah yakin para pemuda Bajah ini sedang menemukan momentum yang amat tepat sehingga berani bertindak sejauh ini. Apa yang sebenarnya mereka inginkan pada ide-ide tak konkrit mereka. Pendirian sebuah republik, kurasa satu lagi Tan Malaka palsu bersarang pada tambang di Bajah. Siapa orang selain Tan yang punya fantasi begitu besarnya pada pendirian republik. Namun, kurasa sekarang Tan telah hidup dengan baik bersama dengan kawan-kawannya di Komintern, atau malah sedang berkelana ke Amerika Latin dan Karibia untuk mengunjungi kawan-kawan satu perjuangannya dalam meneruskan ide-ide progresif yang tak realis milik Marx. Tak mungkin Tan Malaka yang agung hidup di Bayan bersama dengan para pekerja tambang yang kotor.
Tuan Johar yang selamanya diberkati oleh semangat juang jiwa muda,
Kami memohon tanpa mengurangi sepeserpun rasa hormat kepada satu pejuang yang sekarang telah menjadi veteran dalam perjuangan menuju kemerdekaan. Kami tahu bahwa Tuan takan mau mendampingi secara politis, para-para kami dari Bajah menuju Batavia untuk menawar segala sesuatu yang telah menjadi diskusi”
Tuan Johar yang dikatakan magis oleh beberapa orang,
Kami meminta tolong mengenai satu pula dua hal pada Tuan. Yang pertama, kami meminta Tuan Johar untuk kembali lagi pada Batavia untuk membantu kami dari Bajah dalam menemukan beberapa orang penting. Yang kedua, kami ingin menyewa Tuan Johar sebagai juru kemudi kami dalam perjalanan menuju Batavia. Perjanjian dan kontrak tertulis mengenai sewa jasa Tuan mungkin akan sampai tempo hari melalui remaja yang sama lagi.
Jika tuan menghendaki, silahkan datang pada alamat dan hari yang nanti akan kami cantumkan pada kontrak perihal Tuan yang menjadi supir pribadi kami. Kami sebagai penerus perjuangan Tuan tentu tahu diri, takan membuat anda memutar jauh ke Bajah, kami menawarkan satu tempat bertemu yang cukup dekat dengan tempat anda tinggal sekarang.
Bajah, 12 Juli 1945,
Tertanda,
Kumpulan Jiwa-Jiwa Revolusi Bajah
“Apa yang baru saja kubaca ini? Mengapa mereka tahu dengan begitu detil kehidupanku yang sekarang, bukankah itu darimu, tuan Sawirjo?” ujar diriku sembari memberi sedikit gestur satir dengan berbagai pertanyaan retoris pada Sawirjo yang terlihat amat mencurigakan semenjak ia datang pada kota kecil ini, “Apa yang coba kamu rencanakan untuk diriku? Kau ingin membawaku kembali terlarut dalam hiruk pikuk pergerakan pemuda lagi atau bagaimana, ha?”
“Dirimu terlalu banyak berprasangka buruk padaku wahai kawanku, pertama, aku tak sampai hati membocorkan segala informasi penting kepunyaan kawan dekatku, kedua, aku bahkan baru saja tahu bahwa ragamu hinggap pada kota kecil ini sedari aku diberi tahu seorang yang menulis surat ini.”
Aku kembali merengkuh kopiku kembali untuk memulai percakapan yang nyaman mengenai surat ini bersama Sawirjo yang sepertinya menyembunyikan banyak hal pada diriku mengenai kedatangannya kemari, “Sebenarnya, siapa gerangan manusia Bajah yang mampu menulis surat dengan kata magis seperti ini, aku merasa ia bukanlah pemuda Bajah biasa.”
“Aku pula tak tahu siapa dirinya, aku hanya berkabar dengannya lewat remaja tadi, Johar,” ia berkata begitu lepas sehingga kata-katanya yang ini seakan adalah hal yang benar bagiku, “Tak ada yang kusembunyikan lagi padamu, bagaimana mereka mampu sampai kepadaku, aku pun tidak terlalu tahu, pradugaku mereka punya sesuatu yang lebih besar dari yang kita kira.”
Percakapan mengenai siapa pemuda Bajah yang mampu menuliskan surat se-matang ini masih berlanjut. Aku merasa, hanya aku yang ditipu oleh pemuda Bajah sebab rasa rendah diri mereka, sebaliknya, mengarahkan diriku menuju rasa rendah yang lebih lagi. Namun, Sawirjo yang selama ini sukar dimanipulasi oleh seorang, bahkan jika itu adalah seorang politisi besar, pun akhirnya tunduk pada “bocah” satu itu. Lingkungan apa yang diciptakan distrik kecil di pesisir selatan ini. Sejauh yang aku tahu, mereka hanya berasal dari kawasan tambang dan lebih sering mogok kerja sebab tak diberikan upah dibanding ikut campur pergerakan politik nasional. Jelas, ada yang terlewat dari mataku semenjak aku tak mengikuti pergerakan kaum-kaum muda di sekitaran sini.
Sawirjo yang telah tak punya urusan lagi memutuskan untuk pulang menuju salah satu rumah bapaknya yang ada di sekitaran Rangkasbitoeng. Sejauh yang aku tahu dirinya hanya ingin aku bertemu dengan para muda Bajah yang membuatnya tercengang pula. Aku masih tak bisa berhenti berburuk sangka mengenai dirinya, jujur saja. Namun, aku tak mengira seorang Kenthus yang amat loyal di masa terdahulu bisa membuatku jatuh dalam bencana besar, kurasa tidak.
***
S
ehari telah berselang, tidurku sama sekali tak nyenyak. Pula, pagi ini, aku masih termenung dalam teras rumahku, memirkan akankah aku mengambil pekerjaan yang ditawarkan oleh mereka —para pemuda Bajah. Juga, istri dan anakku belum sama sekali aku berikan penjelasan dan pengertian mengenai apa kejutan yang aku dapatkan kemarin. Sebenarnya, hari ini banyak sekali Sinyo yang meminta diriku mengantar mereka menuju Tangerang, pula beberapa menuju Merak. Namun, aku benar-benar tidak dalam suasana hati yang baik hari ini. Tak peduli berapa Gulden yang akan aku sia-siakan, aku masih memikirkan kejadian kemarin.
“Lamunanmu sepertinya sebentar lagi akan membuat nyonya dan tuan mudamu geram hari ini,” indah suara perempuan meraih telinga cacatku pada siang hari ini. Tentu itu ialah istriku, mana mungkin pula aku menyimpan germo di dalam pekarangan rumahku.
“Apa yang dirimu larutkan dalam kopi yang kubuatkan pagi ini, hingga dirimu masih saja duduk khusyu’ di tengah ketidakpastian yang kerap membayangi hari-harimu dalam bulan Juli ini?”
“Maaf, sayang, akalku hanya sedikit tak jernih pagi ini, ada sesuatu yang amat mengganggu pikirku sedari kemarin,” aku mengatakan hal itu dengan nada memelas, “Bukannya aku tak ingin menghidupi keluarga kita, hanya saja, aku benar-benar sedang dalam kebimbangan yang mungkin saja bisa menghancurkan hidupku.”
Istriku duduk dan sedikit mengusap pipi pula bibirku dengan tangan mungilnya yang amat halus sembari berucap lembut, “Komar manisku, egomu masih saja tinggi meski dirimu sudah meinggalkan Bandoeng hampir dua tahun, mungkin bukan pilihan tepat jika dirimu melepas citra Johar yang lama kamu bangun di metropolitan dingin itu.”
“Sudahlah Komarku sayang, masihkah kamu merasa istri kesayangan yang kamu kejar bertahun-tahun kala di Bandoeng ini adalah orang asing bagimu. Aku disini bukan sebagai perempuan yang kamu hidupi, aku adalah sahabatmu, tempatmu melempar segala resah dan gelisah yang mengganggu hidupmu,” istriku melanjutkan kata-kata manisnya dengan masih membelai wajahku untuk menenangkan diriku yang mungkin terlihat amat malang di matanya.
“Anne, bukannya tak mau berbagi kisah dengan dirimu, sayangku,” ucapku pada Anne —ya itulah nama nyonyaku, “Aku hanya tak menginginkan seorang wanita cantik sepertimu, Anne, punya banyak beban pada keseharian-keseharianmu.”
Anne menyetil dahiku karena mungkin hampir geram dengan sikap dan ucapanku, “Singirkan ego tinggimu itu, jangan merasa dirimu bisa menahan segala pedih dan perih dari segala yang kau hadapi, dirimu perlu teman, akulah orangnya, Komar, jadikan aku temanmu dalam berbagi sesal.”
Istriku dan aku memanglah punya hubungan yang cukup aneh. Anne, adalah seorang Indo yang bekerja sebagai seorang editor dalam satu surat kabar yang acap membahas perihal wanita dan segala tetek bengeknya. Hubunganku dengannya di awal mungkin tak seindah yang kalian bayangkan pada pikiran kalian. Pertemuan pertama kami muncul dalam sebuah ruang diskusi antar surat kabar, jurnalis lepas dan banyak peneliti mengenai perjuangan kaum puan yang menghasilkan perdebatan panjang antara aku dan dirinya. Kami sempat benar-benar punya hubungan buruk hingga kala aku ingin memasukan tulisanku pada surat kabar Anne, naskahku langsung dikoyaknya —aku mendengar cerita ini dari kawanku dan ketika kutanyakan pada Anne ia hanya tertawa kecil. Hubungan kami sedikit membaik kala aku tahu bahwa mr. Ernest dan Anne punya hubungan darah dan kami sempat bertemu dalam kunjungan Anne ke rumahku.
Anne, memang sedari awal aku terkesima dengan kulit putih bersih lembut, mata coklat dan juga rambut lurus hitam miliknya. Juga entah bagaimana, wewangian yang ia gunakan amatlah membuat diriku nyaman hingga aku selalu ingin berada dalam jarak yang dekat dengannya. Hubunganku dengannya sebagai pasangan berjalan amat datar, entah sebab ia tak punya pilihan lain atau bagaimana, Anne menerima ajakanku untuk menikah. Pernikahan kami telah berjalan selama lima tahun, seingatku. Dalam waktu sepanjang itu, tentulah kami bertingkah seperti seorang pasutri yang sewajarnya ada di Hindia Belanda. Namun, kami belumlah mampu terbuka satu sama lain mengenai batin ataupun masalah-masalah yang meibatkan nurani masing-masing.
“Untuk kali ini, aku menyerah pada kecantikanmu Anne, hatiku yang kacau takan aku tularkan kepadamu lewat perdebatan-perdebatan kecil yang tak berguna ini, aku akan mengalah padamu mungkin hanya untuk siang ini.”
“Aku mendengarkanmu tiap saat, manisku, mulailah bercerita apa yang engkau alami pada masa kemarin,” Anne menatapku sangat tajam, namun hangat sehingga aku sedikit tersipu malu kala itu.
Aku menceritakan segala yang aku alami pada hari kemarin, mulai dari pertemuanku dengan Kenthus hingga surat kusam yang berisi permintaan pemuda Bajan padaku. Anne tak banyak bereaksi, ia hanya terus memandangi wajahku sembari sesekali mengangguk tanda bahwa ia masih memahami suara yang keluar dari mulutku. Wajah Anne yang entah mengapa terasa amat cantik pagi ini selalu menunjukan senyum dan kadang menahan tawanya —kurasa ia hanya sedang ingin mengejek diriku— saat mendengarkan ceritaku pada hari yang lalu.
“Komar, tak buruk menjadi seorang Johar untuk kedua kalinya, pula aku ingin memanggilmu dengan nama Johar lagi,” ucap Anne dengan setengah bercanda kepada diriku, “Jangan pedulikan keselamatanku, sayang, dirimu sendiri tahu bahwa aku amatlah bisa melarikan diri menuju Nederlands ketika situasi keluarga kita mulai berbahaya.”
“Lantas, bagaimana dengan Dipa, anak kita yang bahkan belum genap berumur dua tahun, aku benar-benar tak mau Dipa terkena akibat dari tindakanku yang serampangan seperti kala aku di Bandoeng dahulu.”
Anne yang menatapku penuh dengan keseriusan tiba-tiba memecah suasana hening dengan mengolok diriku, “Dasar bodoh, Dipa bisa dengan mudah ikut denganku, maka hanya akan menyisakan dirimu yang tentu membusuk sendirian pada angan-anganmu mengenai sosialisme.”
“Anne, bisakah jangan terlalu banyak bercanda dahulu dalam jangka waktu dekat ini? Meski suasana hati milik diriku telah membaik sebab dirimu. Namun, aku masih dalam keadaan mental yang cukup buruk sekarang.”
“Sudahlah, maafkan tingkahku yang tadi, sayang. Untuk segala yang ingin dirimu lakukan, aku tentu akan menyetujuinya sebab kukira kamu sudah menahan egomu cukup lama dan mungkin tubuhmu perlu disuapi aksi-aksi berbahaya sekali lagi,” ucap Anne sembari tersenyum dengan mata sedikit sayu.
Aku hanya mengangguk pelan pada kalimat yang diucapkan Anne. Aku tak mampu mengelak dan mendebat segala yang diucapkan Anne sesaat tadi sebab tak ada yang salah dengan apa yang ia utarakan. Namun, bukan berarti kala aku telah mendapat restu Anne, diriku langsung beralih menerima tawaran dari para kawula muda Bajah kemarin. Masih ada banyak hal yang perlu kupertimbangkan pada siang ini, sebelum utusan dari Bajah itu datang kemari.
“MAMAA, TEMANI AKUU…” terdengar satu rengek lelaki yang amat cempreng dari dalam rumah, dan tak lain, ia adalah anak semata wayangku bersama dengan Anne, Dipa. Ia memang tak pernah betah kala Anne pergi sebentar dari pandangannya, entah bagaimana nasibnya besar nanti. Namun, kuharap ia tak menjadi seseorang seburuk aku.
“Tuan mudamu telah memanggil nyonya ini masuk, jadi aku undur terlebih dahulu, suamiku tercinta,” ucap Anne dengan tawa kecil pada diriku yang masih juga memandangi langit mendung siang ini. Anne masuk menuju dalam rumah, tentu untuk menghampiri Dipa dan bermain bersama dirinya. Tak lama setelahnya, aku menyusul Anne masuk sebab sepertinya hujan akan datang mengguyur Lebak sebentar lagi.
***
“
TUAN JOHAR, TUAN JOHAR, PERMISI, SAYA DARI BAJAH,” lantang teriakan datang diirngi hujan yang memecah gendang telinga cacatku. Sial, apakah ia utusan dari Bajah itu, mengapa ia sudah datang hari ini, dan mengapa pula ia bersuara layaknya remaja berusia belasan tahun yang belum aqil baligh.
Aku membuka pintu dan menemukan seorang remaja basah kuyup yang membawa sepeda tua serta tas krem —atau terlihat layaknya coklat tua setelah terguyur hujan— yang hampir putus tali cangklongnya. Kuingat sebentar perihal kejadian kemarin, dan aku punya praduga bahwa ia remaja yang mengantarkan surat pada Sawirjo hari lalu. Kulihat postur dan sepedanya amat identik dengan seorang yang kemarin menemui Sawirjo. Ah, apakah ia akan mengantarkan kertas berisi kontrak yang dikatakan para pemuda Bajah dalam surat kemarin.
“Ada perlu apa dirimu menemuiku, apakah kamu juga yang kemarin mengantarkan surat pada Tuan Sawirjo? Sebelum itu, masuklah dahulu untuk mengeringkan badanmu, tak baik hujan-hujan bagi anak kecil sepertimu”
“Baik Tuan, terima kasih atas segala perhatian Tuan pada saya,” lantas ia masuk pada pintu lebar yang menjadi batas antara keluargaku dan bahaya yang ada pada luaran sana.
Si remaja itu melanjutkan dengan pelan, “Membicarakan yang tadi, iya Tuan, saya adalah remaja yang mengantar surat kemarin, hari ini saya diutus lagi oleh Tuan Hussein untuk mengantarkan satu lembar kertas ini lagi.”
“Siapa Tuan Hussein? Apakah ia utusan dari Bajah yang kemarin menuliskan surat panjang lebar untukku?” aku menembak satu pertanyaan dengan cukup tajam pada remaja lugu yang masih pula basah oleh air hujan.
“Tuan Hussein, d-d-dirinya yang menuliskan surat pada Tuan Johar kemarin, ia adalah seorang utusan pemuda dari Bajah,” ucapnya dengan menunduk seakan telah melakukan satu kesalahan dalam mengantarkan suratnya.
“Sudahlah, tak usah perduli dengan Hussein yang menugaskan dirimu itu, maaf jika membuat dirimu merasa ketakutan pula,” aku berujar sembari menepuk pundaknya yang amat dingin sebab kehujanan pada perjalanan ke sini tadi, “Yang lebih penting, apakah kertas yang dirimu bawa aman dari air hujan yang turun tadi?”
“Aman, Tuan, tak perlu khawatir pada hal itu, saya telah berpengalaman dalam hal-hal semacam ini,” kata remaja itu sambil menunjukan senyum yang menunjukan jelas bahwa ada beberapa giginya yang patah entah sebab apa. Lagipula, apa yang sebenarnya telah dilakukan oleh Nippon beberapa tahun belakangan ini dalam mengurus Hindia hingga anak sekecil dia telah berpengalaman melakukan pekerjaan yang cukup membahayakan. Aku tak habis pikir pada propaganda mereka yang telah berbalik seratus delapan puluh derajat sekarang. Tak ada lagi frasa “Jepang Cahaya Asia”, sebab Jepang hanya menjadi pemantik kegelapan yang lebih hitam dibandingkan apa yang orang-orang Europeanen lakukan pada masa sebelumnya.
“Kerja bagus untuk hari ini,” kataku pada dirinya sembari menerima satu lembar surat kontrak yang masih sangat baik kondisinya meski sedikit terciprat air yang kuduga datang dari tubuh remaja yang dibasahi hujan pula tercampur keringat.
“Ada apa diluar, Komar? Siapakah gerangan yang mengunjungi rumah kita pada masa hujan begini,” tanya Anne sedikit berteriak dari dalam kamar miliknya dan tentu milik diriku pula sebab keingintahuannya pada suara yang mungkin cukup menganggu istirahat sorenya.
“Kemarilah Anne, ini perihal yang telah kita bicarakan pada siang hari tadi, mungkin dirimu bisa membantuku dalam melakukan satu atau dua pertimbangan kecil.”
Anne yang sontak keluar dari kamar dengan rambut lurus yang sedikit berantakan pula dengan muka manisnya yang cukup kumal. Ia meninggalkan Dipa yang tertidur di kamar sendirian sepertinya, sebab tak ada tanda-tanda batang hidung Dipa mengikuti istri kesayanganku dari belakang punggung atau kaki Anne. Anne terlihat memandang satu remaja baru tumbuh itu dengan penuh simpati dan jua kasihan.
“Kemarilah, siapa namamu? Keringkanlah badanmu, tak baik anak seusiamu basah kuyup oleh air hujan pada hari menjelang petang semacam ini,” ujar Anne dengan tatapan penuh kasih pada seorang remaja yang mungkin akan diriku tahu namanya sebentar lagi.
“Baik, Nyonya, terima kasih atas segala perhatian anda. Perihal nama saya, sebenarnya saya tak punya nama pasti, namun banyak dari kawan juga kerabat saya memanggil diri saya Uceng, mungkin Tuan dan Nyonya bisa memanggil saya dengan nama teresebut,” ujar Uceng dengan penuh rasa hormat dan kepala sedikit menunduk pada kami berdua.
Uceng pun masuk pada kamar mandi rumahku dituntun oleh Anne yang tentulah hapal dengan segala penjuru dan sudut rumah ini. Pun, arsitekturnya tak terlampau rumit pula sebab aku hanya mengincar hunian bukanlah karya seni yang berlimpah ruah estetika. Anne kembali padaku selepas ia mengantarkan Uceng menuju pada ruang untuk segala kebutuhan kebersihan satu-satunya dirumahku.
“Apa yang ada didalamnya, betulkah ia adalah lembaran perjanjian yang pernah kau ucapkan tempo jam tadi?” tanya Anne halus pada diriku yang masih bergidik ngeri membuka apa yang dicantumkan dirinya —Uceng menyebutnya Tuan Hussein dari Bajah— pada lembaran ini.
“Dirimu benar manis, tak ada yang salah dari perkataanmu, mungkin hanya nyali dan hatiku yang sedikit berantakan sore ini,” keluhku pada Anne yang makin tajam menatapku dengan kepalanya sedikit miring dan raut wajahnya yang seakan bertanya-tanya ada apa dengan seorang Johar Komaruddin yang ia kenal.
“Mengapa lagi dirimu, sayang? Apakah engkau telah berubah menjadi seorang puan sekarang? Bukankah dirimu adalah seorang maskulin yang amatlah ingin mendominasi wanita di masa dirimu masih bergelut dengan segala tingkah konyolmu dihadapan mesin tik dan belasan surat kabar?” Anne mengucapkan segala pertanyaan dan ucap retorisnya pada diriku hanya untuk sekadar menyindirku agar aku segera kembali menjadi Johar yang memang amatlah teguh pada satu pendirian —meski itu bodoh— pada masa lampau.
Selepas segala yang dilontarkan oleh Anne, mau tak mau, pula dibandingkan malu, aku membuka lembaran itu dan seperti yang aku dan Anne kira, benar bahwa tinta hitam tersebut menjelaskan tentang pekerjaan yang ditawarkan padaku melalui surat Sawirjo kemarin. Tak banyak yang termaktub dalam surat itu, tulisan didalamnya amatlah formal layaknya surat dari satu buah partai maupun organisasi yang memang telah matang strukturalnya. Namun, keempat pasal mengenai penugasan yang diberikan, biaya, pula yang lain-lain dari kacamataku punya banyak sekali titik buram dalam penulisannya. Tak hanya keterangan yang memang tak jelas —mungkin pula sengaja tak diperjelas— juga banyak sekali celah yang bisa dimanfaatkan dari satu lembar ini. Satu lembar yang bisa membawa petaka bagi seluruh umat yang berdikari memperjuangkan ide mereka pada sudut Bajah.
“Coba bacalah sekejap Anne, gunakan keahlian cermat yang pernah dirimu andalkan kala menjadi editor di Poetri Hindia Bandoeng, adakah yang salah dengan lembaran perjanjian ini dari matamu?” ujarku sembari memberikan satu lembar kertas dari Bajah itu pada Anne.
Anne menerima kertas itu dengan tangan kanannya, pula matanya masih memperhatikanku entah mengapa. Perhatian Anne mulai tertuju pada lembaran bersih yang sekarang telah ada pada genggamnya itu, entah bagaimana ia membaca, namun kedua bola mata coklat indah miliknya amatlah tertuju pada tiap diksi pula kata, bahkan tiap ejaan yang mereka gunakan. Aku lebih sibuk memandangi wajah bersih manis Anne yang sepanjang lima tahun aku bersama dirinya tak pernah diriku bosan untuk lihat. Mata dan bibirnya, pula rambutnya yang amatlah cantik tanpa balut rias sama sekali. Aih, beruntung aku mendapat seorang Indo cantik dan penuh kasih seperti Anne.
Anne seakan memperhatikanku dan berkata sembari menggodaku, “Hai, akan sampai kapan matamu hinggap pada wajahku, aku merasa sedikit terganggu dengan hal itu wahai Tuan Komar.”
“Anne, jangan menggoda pasanganmu sendiri, maaf pula bila membuatmu merasa terganggu, aku hanya tak tahan melihat paras indahmu di petang dingin ini,” ujarku sembari tersenyum memegang dahi dan sedikit merapikan rambut kusut indah milik Anne.
“Sudah, sudah, tak baik jika Uceng melihat yang kau lakukan” ujar Anne sembari melepaskan tanganku dari rambutnya dengan sedikit memasang raut wajah malu entah sebab apa, ia pula melanjutkan, “Mengenai selebaran ini, sebenarnya aku tak yakin bahwa mereka yang menuliskan surat dan selebaran perjanjian ini adalah orang yang identik, sebab tulisannya amatlah berbeda, dan yang satu ini amat ceroboh, tak seperti surat yang siang tadi dirimu berikan pada aku.”
Sontak aku berkata dengan cukup lugas, “Persis pada apa yang ada dalam kepalaku, tak lain begitu, aku setuju pada dirimu kali ini, sayang.”
Disamping perihal teknis yang sedari tadi aku dan Anne jadikan inti dari pembicaraan kami. Pasal yang tertulis disini sebenarnya cukuplah bisa aku terima, namun kalimat semacam “Keselamatan Tuan Johar Komaruddin tak akan ditanggung oleh pemuda Bajah” seakan memberikan satu peringatan bahwa situasi yang akan diriku hadapi kedepannya adalah situasi yang cukup membahayakan bagi diriku. Pula, aku belum tahu sepanjang apa para pemuda Bajah ini ingin memberontak melawan mereka yang telah memegang tonggak momentum kemerdekaan diatas sana. Meski aku takan terlibat dalam pertarungan politis mereka, aku hanya takut Anne dan Dipa menjadi incaran mereka selanjutnya, seperti pada masa di Bandoeng dahulu.
“Anne, bagaimana mengenai pasalnya?”
Anne tak langsung menjawab, ia berpikir sebentar dan lalu berkata, “Aku tak mampu berkomentar akan hal itu, namun bayaran seratus limapuluh Gulden rasanya amat besar untuk pekerjaan seremeh ini, aku menjadi sedikit khawatir pada dirimu, pula mengapa para pemuda Bajah menargetkan dirimu menjadi supir mereka, tidakkah mereka punya orang lain dibanding harus meraih koneksi denganmu melalui Kenthus, dan pula menemani menemui para petinggi, permintaan macam apa itu?”
“Sial, aku benar-benar muak memikirkan semua ini Anne, seandainya aku tak pernah terjun pada lingkaran aktivisme di masa aku muda dahulu, aku pasti takan pernah menghadapi fase menyusahkan semacam ini,” sekali lagi aku mengeluh pada kejadian yang aku alami dua hari belakangan ini.
Sontak hingga aku pun terekejut, Anne menyeletuk, “Dan, dirimu takan pernah bertemu denganku, Johar Komaruddin.”
“Maaf Tuan, saya telah usai mengeringkan diri saya? Saya izin pamit pulang dahulu sebab hujan juga hampir reda,” tanpa kami sadari bocah satu itu telah keluar dari kamar mandi, masih dengan bajunya yang memang sudah sedikit kering meski sejatinya masih basah seutuhnya.
“Sebentar, aku masih perlu bantuanmu mengenai jawabanku pada Tuan Hussein yang mempekerjakanmu,” aku sedikit menyela mencegahnya pulang dahulu, “Berbicara perihal pekerjaan, berapa yang ia bayarkan untuk dirimu dalam pekerjaan ini?”
“Lebih dari cukup untuk makanku tuan, kisaran tujupuluh sen lebih sedikt, kadang Tuan Hussein pula memberikan diriku sebuah roti maupun biskuit kala ia memiliki sisa,” ujar Uceng dengan mata penuh binar dan senyum lebar.
Para kawula muda Bajah sejatinya tak salah memberikan upah tujuh puluh sen pada Uceng sebab memang ia lebih dari cukup untuk sebuah upah pengiriman. Namun, bagaimana bisa mereka memberikanku seratus lima puluh Gulden, sedangkan hanya memberikan anak kecil ini tak genap satu Gulden. Sebenar-benarnya aku cukup paham bagaimana mereka hanya memberikan anak ini tak genap satu Gulden sebab aku pula pernah berkutat dalam satu perkumpulan pemuda kala di Bandoeng yang memang tak bisa sama sekali mengatur alur keuangan hingga kami tak mampu merangkak lagi lebih jauh sebab keterbatasan biaya itu.
“Ini upah dariku, nanti malam datanglah kembali untuk menjemput surat yang kutujukan pada Tuan Hussein, jangan dahulu pergi jauh dari rumahku, jikalau dirimu ingin di dalam sini pun tak apa,” ucapku sembari memberikan Uceng upah sebanyak dua Gulden lebih beberapa sen pula tiga potong roti yang sebenarnya kusiapkan untuk sarapan esok hari. Namun, tak apa lah sebab keluargaku masih bisa membeli banyak makan pada pagi hari besok.
“Tidakkah ini terlalu banyak Tuan, apalagi hanya mengantarkan surat yang tak terlalu berbahaya, dan anda memberiku dua lembar uang satu Gulden?” tanya Uceng dengan tangannya yang menggaruk rambutnya sebab ia merasa heran dan juga bertanya-tanya mengapa aku memberikannya upah begitu besar.
“Tak apa, agar dirimu tak perlu bekerja esok hari, istirahatkan badanmu sebab kamu telah kehujanan dari tempat Tuan Hussein hingga sampai pada rumahku, juga aku memintamu menunggu sampai malam hari.”
“Baiklah, Tuan Johar, terimakasih atas segala perhatian dan kebaikn yang anda berikan pada saya, sementara saya akan pergi dahulu padad rumah saudara saya, tak jauh dari sini, masih pula dalam kawasan Rangkasbitung,” ujarnya meminta iin untuk meinggalkan rumahku sbab mungkin ia sungkan dengan diriku dan Anne pula takut mengganggu Dipa, “Mungkin, bada’ isya saya akan kembali lagi pada rumah anda, tak seperti sebelumnya, saya hanya akan mengetuk pintu dengan pelan, Tuan.”
Ia lantas pergi meninggalkan rumahku, aku, Anne dengan pakaian dan tas yang masih basah kuyup. Situasi di luar tidaklah terlalu buruk, hujan sudah reda, namun hari hampir gelap sebab memang petang akan menjelang malam dan mendung masih mengiringi sore hari ini. Kuharap tak ada hujan lagi malam nanti, sebab aku kasihan pada Uceng yang bolak-balik kehujanan hanya demi urusanku dan pemuda Bajah satu itu.
***
“
Assalamualaikum, permisi Johar, atau Anne, biarkan aku masuk,” tak ada satu jam dari kepergian Uceng, satu lagi suara asing datang ke rumahku. Sebenarnya tak terlalu asing sebab aku pernah mendengarkan suara ini entah dimana, pula ia mengenal Anne. Apakah ia yang akhirnya datang mengunjungiku lagi? Atau seseorang entah siapa dari masa lalu milikku kembali lagi. Aih, rasanya beberapa hari ini aku melakukan reuni dengan berbagai kejadian yang identik dengan kenangan masa laluku. Hidup penuh tekanan ini, aku benar-benar tak menikmatinya lagi seperti dahulu. Mungkin sebab umurku yang telah tua juga, aku jadi tak terlalu bisa menikmati kecamuk dan gejolak yang dunia berikan pada diriku.
Aku membuka pintu rumahku sekali lagi, “Ah, Sawirjo, kukira siapa yang datang lagi pada petang ini.”
“Bung, berhentilah memanggilku Sawirjo, aku jadi tak terlalu mengenalmu jika dirimu memanggilku Sawirjo, anggaplah aku Kenthus, Kenthus temanmu dahulu,” ujar Kenthus yang benar-benar tak mau lagi diriku panggil Sawirjo, “Kedatanganku kesini hanya sekadar temu kangen sebelum aku kembali ke Batavia esok hari sebab hari cutiku di Lebak telah habis jika dihitung-hitung.”
Aku menggoda Kenthus mengenai apa yang ia katakan baru saja, “Ah, jadi kawanku ini akan mengakhiri bolos kerja yang lama telah ia lakukan, ada apa, apakah dirimu rindu dengan suasana kerja di Batavia?”
“Jangan bilang aku bolos kerja, dasar Johar brengsek, aku bahkan masih punya surat keterangan cuti milikku, jadi jangan menuduhku dengan tuduhan yang tak berdasar,” Kenthus berujar dengan sedikit keras, mungkin sebab ia sedikit tersinggung akan perkataanku, “Lantas, bagaimana kabarmu dengan utusan dari Bajah itu? Apakah dirimu telah bertemu dengan dirinya?”
“Ah, ternyata inilah alasanmu datang ke rumahku, Tuan Hussein belum sempat bertemu denganku, aku pula tak tahu bagaimana dan dimana ia tinggal dalam kesehariannya, jadi kurasa sulit untuk melacak dirinya,” ucap diriku pada Kenthus, “Satu-satunya yang ia kirimkan hari ini adalah lembaran berisi perjanjian yang memuat beberapa pasal-pasal penuh pertanyaan untuk diriku, pula Anne berpikir demikian.”
“Biarkanlah aku lihat lembar perjanjiannya, dirimu belum mengembalikannya pada Hussein bukan?” tanya Kenthus pada diriku.
“Belum, aku masuk sebentar untuk diriku ambilkan yang kau inginkan, janganlah kembali ke Batavia terlebih dahulu, Thus.”
Aku beranjak dari teras rumahku menuju ruang kerja kepunyaanku, meski sekarang lebih terlihat seperti gudang arsip punyaku dan Anne yang hampir tak lagi terawat. Aku merogoh satu laci di ruang kerjaku yang kuyakini disanalah Anne meletakan lembaran tadi. Tanganku masuk dalam laci itu dan aku menemukan satu lembar kertas tersebut, cukup cepat sebab aku memanglah masih ingat dengan “rasa” tekstur kertas tadi. Aku mengambilnya dan berjalan kembali menuju teras depan.
Anne yang tahu bahwa Kenthus datang bertanya pada diriku, “Butuhkah temanmu dibuatkan satu gelas minum, entah apa yang ia inginkan, teh, kopi atau mungkin hanya butuh air putih hangat saja?”
“Tunggulah sebentar, aku akan menanyakannya pada Kenthus.”
Aku berjalan kedepan membawa lembar kertas itu pula memberikannya pada Kenthus sembari menanyai apa yang ditanyakan Anne pada diriku, “Dirimu mau disuguhi apa, kopi, teh, atau mungkin susu milik Dipa?”
“Bolehkah aku minta Anne, ia terlihat amat lezat kala hari amat dingin seperti ini,” ujarnya amat kurang ajar terhadap diriku sembari tersenyum mesum.
“Bajing*n dirimu, Kenthus, keluar saja dari rumahku, takan kuterima lagi dirimu menjadi temanku, selama-lamanya, tak akan pernah,” ujarku amat keras pada Kenthus yang masih terlihat tertawa terbahak-bahak pada candaannya tadi, “Pulanglah saja ke Batavia untuk menikmati santapan wanita-wanita simpanan milikmu, aku tak sudi punya teman se-brengs*k dirimu.”
“Hahahaha, ayolah kawan, aku hanya bergurau mengenai hal itu, lagipula Anne tak lebih baik dibanding pacarku sekarang,” ujarnya masih dengan tawa kerasnya.
“Candaan itu tak bisa diterima kala dirimu menyinggung nyonya manisku, dan apa yang kau inginkan, kali ini tanpa candaan sama sekali,” aku berujar seakan ingin memutus rantai candaan buruk milik Kenthus, seorang Inlander berpakaian layaknya Indo namun berkelakuan identik dengan seorang simpanse.
“Baiklah, aku ingin kopi buatan istrimu, pula minta ia mengantarkannya ke depan, telah lama diriku tak melihat Anne, apakah ia telah berubah selepas menjadi Ibu, ataukah wajahnya makin indah selepas hidup tentram bersamamu di Lebak?”
“Terserah dirimu, aku masuk untuk mengatakannya pada Anne mengenai candaan burukmu mengenai dirinya.”
“Hei, bung, jangan katakan itu pada dirinya, aku tak mau seorang macan Poetri Hinda menggigitku sekali lagi,” teriak Kenthus dengan cukup lirih kala aku sudah mulai mengambil langkah menuju dalam rumah.
“Kenthus menginginkan kopi, buatkanlah kopi pahit tanpa gula untuknya, dan jangan sekalipun keluar meski dirimu ingin melihat wajah kawan tak tahu diri itu,” ucapku pada Anne dengan muka masih jengkel sebab Kenthus tadi.
“Aku mendengarnya, tenang saja aku akan mengantarkannya dan Kenthus tentu tak akan mendapatkan diriku, sebab aku hanya milikmu seorang, Tuan Johar, meski dirimu perlu berbagi dengan Dipa sekarang,” canda Anne yang sedang mengenakan celemeknya dengan rambut miliknya yang terurai amat indah.
“Baiklah, terserah dirimu,” aku berujar masih dengan raut malas, “Namun, jangan terlalu lama berbincang dengan dirinya, aku hampir muak mendengarkan segala ocehannya, kuharap ia segera mengatakan sesuatu tentang lembar kontrak itu dan tak lagi membahas dirimu, Anne.”
“Baiklah, baiklah, usai sudah waktu untukmu cemburu pada ocehannya yang tak jelas, sekarang kembalilah ke depan menunggu diriku dan temani kawan “sejati” milikmu itu,” perintah Anne sembari mengusirku agar segera menemani Kenthus lagi di depan.
“Telah kusampaikan segala ucapan sampahmu, pula Anne akan datang ke teras untuk menerkam dirimu.”
“Hei bung, sudahlah tak usah kau ungkit lagi hal itu,” ucap Kenthus sembari masih berfokus pada satu lembar yang diberikan Uceng pada diriku tadi.
“Bagaimana yang telah kau baca, apakah dirimu punya satu pendapat atau bagaimana mengenai lembaran kontrak ini?” tanyaku pada Kenthus sedikit serius sebab dirinya terlihat tak mau lagi berucap-ucap candaan ataupun segala hal yang tak ada hubungannya dengan tujuan kedatanganya kemari.
Ia menjawabku sembari masih berfokus pada lembar itu meski sesekali mengalihkan pandang pada diriku, “Sebentar bung, aku perlu waktu sedikit lama untuk membaca hal ini, tunggulah sebentar dan dirimu akan mendapatkan segala yang seorang Johar inginkan.”
Aku menunggu tak sebegitu lama, namun sebab tak ada perihal lain yang diriku lakukan kala itu, aku merasa kosong kala itu. Yang dapat kulakukan hanyalah memandangi langit petang ini dengan lamunan, bukankah ia adalah satu perlakuan pada hidup yang amat membuang waktu. Kurasa pula, dua puluh atau tiga puluh tahun mendatang, semua orang telah sibuk pada pekerjaan mapannya, entah pada Hindia Belanda, pada Manchuria yang lain, atau pada republik yang akupula tak tahu akan diberi nama apa. Esok, pasti tak ada lagi seorang yang amat punya banyak waktu luang untuk memandangi langit senja seperti diriku, hanya melihat angkasa berwarna oranye yang bahkan tak kunjung membiru.
Kenthus mengagetkanku dengan ucapannya, “Aku telah usai, Johar, sudahilah tatapan manjamu pada langit-langit Lebak ini, mengapa dirimu melakukan hal sia-sia semacam itu, terlalu lama dirimu termenung, Anne tentu akan kubawa menuju Batavia meninggalkan dirimu.”
“Apa yang kamu bicarakan, Tuan Sawirjo, akankah dirimu membawaku menuju Bataiva, pada rumah bordil milikmu? Atau akankah aku menjadi pacar keduamu? Tindakanmu amatlah tidak mencerminkan seorang Inlander intelek wahai Tuan, seorang wanita Indo ini amat takut dengan tingkahmu,” ujar Anne yang tiba-tiba datang menuju pada teras depan membawa dau gelas kopi, tentu dengan satu kopi yang tak diberi gula oleh Anne —kuharap Anne tak salah memberikannya pada diriku.
“DIRIMU HANYA SALAH PAHAM, ANNE, MAAFKANLAH DIRIKU, SUMPAH, AKU TAKAN PERNAH MENGULANGINYA LAGI,” teriak Kenthus yang seketika berdiri dan langsung menunduk pada istriku.
“Jadi, dirimu kesini untuk memberikan wejangan untuk suami manisku ini, atau hanya memberikan berbagai olokan untuk diriku,” Anne kembali mengeluarkan berbagai kalimat penuh sindiran miliknya, yang bahkan aku pun tak dapat hadapi —apalagi seorang Kenthus yang tak pernah berhadapan dengan Anne tiap hari. Aku disana sedikit tertawa dalam hati sebab kejadian itu, aku tak berani tertawa lepas sebab situasinya akan cair. Aku tak ingin situasi canggung ini kembali menjadi cair dalam waktu singkat, sebab diriku meninginkan Kenthus malu pada istriku pula pada diriku.
Lagi, Kenthus seakan ingin membenarkan suasana canggung ini membela dirinya, “Maafkan aku, Anne, aku tak pernah bermaksud apapun pada dirimu, lagipula aku menghargai Johar sebagai suamimu, dan candaan itu untuk Johar yang telah menjadi kawanku dan paham dengan candaan kepunyaanku, b-b-bukan untuk dirimu, Anne, benar bukan Johar?”
“Aku tak merasa demikian, bukankah dirimu berkata bahwa semua perkataanmu mengarah pada Anne?” aku berujar retoris demi memojokan Kenthus yang makin tertekan dalam suasana aneh ini.
Kenthus kembali lagi duduk dengan sedikit kesal dan masih merasa canggung, “Ayolah, Bung, dirimu pula Anne, aku menyerah pada situasi ini, aku benar-benar meminta maaf.”
“Baiklah, Tuan Sawirjo, aku menunggu tantanganmu pada hari-hari selanjutnya, semoga dirimu tak pernah kapok datang pada gubuk kecil kami yang tak mampu dibandingkan dengan rumah bordil kelas atas milikmu itu,” ujar Anne mengakhiri segala yang terjadi tadi sembari undur diri kembali ke dalam rumah.
“Sialan, Anne masih pula berbahaya hingga sekarang, dirimu benar-benar beruntung punya nyonya sesempurna dirinya,” Kenthus berkata lirih padaku dengan nafas yang telah agak lega sekarang, “Sudah indah parasnya, akalnya dipenuhi segala hal-hal teoritis berat, ia lulusan AMS pula, kata-kata yang ia ucapkan juga amat membahayakan lawan bicaranya, sial, aku tak tahu kalian akan membesarkan seberbahaya apa pada masa mendatang, seorang ibu seperti Anne dan ayah seperti Johar.
Telah usai Kenthus berkata-kata panjang lebar mengenai keluargaku. Kertas yang masih digenggam Kenthus kulihat sekali lagi, sepertinya ada beberapa coretan yang menghiasi lembaran itu. Sial, apa ia benar-benar serius mengoreksi pasal di dalamnya? Berkembang seberapa jauh brengs*k ini kala aku tak bersamanya lagi, hingga ia menjadi paham dengan segala tetek bengek penulisan sekarang. Coretan yang ia berikan cukup banyak pula, menandakan bahwa memang lembaran ini tak cukup baik untuk diriku tanda tangani. Keputusan tepat, aku tak langsung mengirim balik kiriman dari utusan pemuda Bajah ini.
“Bagaimana, Thus, tentang segala yang dirimu baca dalam lembar itu?” tanyaku mengalihkan topik pembicaraan dari Kenthus yang mulai mirip seperti para aktivis yang akhir-akhir ini kerap sekali menjilat pemerintahan Nippon demi mengemis satu momen kemerdekaan untuk republik yang baru.
“Lembaran ini sangatlah busuk, aku menjadi sedikit kesal dengan diriku sendiri selepas membaca pasal dalam kertas ini,” ujar Kenthus dengan wajah sedikit jengkel pada diriku, “Bagaimana bisa, aku meneruskan pesan dari orang se-tak jelas dirinya pada dirimu, bernasib baik aku sebab diriku tak mendukungnya untuk bertemu denganmu, sebab dirimu pasti akan sedikit tergali oleh pemerintahan Hindia, pula oleh Jepang.”
“Sebenarnya siapa yang menghubungiku selama ini, apakah ia benar-benar seorang pemuda Bajah, atau hanya mengaku sebagai seorang utusan palsu saja?”
“Aku pula tak tahu, dirinya mengaku benar-benar berasal dari Bajah dan kala aku mencoba mencari beberapa kisah mengenai Hussein dari Bajah, yang kutemui hanyalah satu, tak lain adalah Hussein Iljas,” Kenthus menjelaskan pada diriku sangat mendetil hingga aku benar-benar tenggelam dalam penjelasannya, “Latar belakangnya cukup jelas, sebab ia telah bekerja di tambang Bajah semenjak beberapa tahun lalu, sebelum Bajah, banyak yang mengatakan bahwa ia adalah seorang kuli kasar di Batavia, namun, aku sendiri tak pernah melihatnya berkeliaran di pasar, dan kurasa, wajahnya mirip seseorang yang entah siapa.”
“Lantas, sebelum ia datang ke Bajah, apakah para pemuda Bajah telah melakukan banyak pergerakan bawah tanah?”
Kenthus menghela nafas sekali lagi dan melanjutkan penjelasan atas jawabanku, “Aku tak paham sejauh itu, Johar, namun semenjak dirinya datang, pergerakan pemuda Bajah menjadi makin masif dan lebih besar daripada sebelum-sebelumnya, dan menurut beberapa orang yang kerap memberiku berita pada wilayah Banten, pergerakan mereka cukup terorganisir dan penuh perkiraan, tak hanya serampangan layaknya kumppula buruh-buruh kasar lainnya yang mungkin hanya bersekolah di TPA desa mereka.”
“Sial, selama ini aku bukan menghadapi utusan dari Bajah, namun seseorang yang mengutus tiap jiwa di Bajah untuk menjadi lebih visioner dan progresif, betapa berbahayanya Hussein Iljas ini.” ucap diriku pada segala penjelasan yang telah diberikan Kenthus tadi.
“Pada awalnya, aku hanya menginginkan dirimu berkenalan lagi pada kehidupan metropolis agar dirimu tak membusuk bersama keluargamu di Lebak ini, sebab entah bagaimana aku merasa sia-sia bila kalian tinggal pada sudut hampa ini,” jelas Kenthus mengenai mengapa ia di awal mau menjadi penantara antara aku dan Hussein, “Namun, aku pula tak tahu jika yang mereka tawarkan se-berbahaya ini, dan terlihat sekali niat mereka ingin membawamu kembali menjadi bagian dari mereka, kurasa bukan Hussein lah yang menulis lembaran ini, sebab aku dan dirimu, bahkan Anne takan menyadari bahwa dirimu akan menjadi bagian dari mereka jika Hussein yang menulisnya, benar-benar satu kesalahan fatal dari pergerakan dirinya”
Berasal dari mana sebenarnya Hussein ini, mengapa bisa seorang seberbahaya dirinya terjebak dalam kubangan kecil bernama Bajah, bahkan pada pertambangannya. Bagaimana pula bisa, seorang pemuda sepertinya, mampu menggerakan banyak sekali kawula seumurannya yang menderita dan butuh makan untuk membelot dan melakukan banyak aksi aktivisme. Patutlah dia ingin segera kembali menuju Batavia, sebab aku yakin segala akal dan visinya takan pernah maksimal pada daerah se-terpencil Bajah yang bahkan sulit dilewati oleh andong sekalipun. Sial, aku harus berpikir dua kali untuk melangsungkan kontrakku dengan dirinya.
“BWEEHHH… APA INI,” satu teriakan Kenthus mengakhiri segala lamunan dan pikiranku. Sialan itu, apa yang telah ia lakukan hingga berteriak begitu keras. Ah, ternyata ia meminum kopi pahit miliknya, sayang waktunya tak begitu pas hingga aku tak sekalipun tertawa kala itu.
“Sial, selepas tau kopi buatan Anne seburuk ini, aku menjadi tak berharap apaun lagi pada dirinya, sumpah, takan kurebut seorang yang buruk dalam dapur sepertinya dari dirimu,” ucap Kenthus yang bahkan tak tahu lezat dan kenikmatan sebenarnya dari tangan manis pula magis milik Anne.
“Hahahaha, ada-ada saja dirimu ini Kenthus, dan juga berbicara mengenai permasalahan tadi, aku telah menemukan satu hal yang akan kutuliskan pada Hussein, jika tak segera aku tuliskan, aku takut membuat Uceng menunggu,” ujarku pada Kenthus, “Jadi lebih baik dirimu segera berkemas dan pulang menuju Batavia saja dan jangan mengganggu hidupku lagi, namun tak apalah sekali mampir sebab istriku pula telah mengundangmu agar tak bosan menuju pada gubuk kecil ini.”
“Sial, setelah merasakan kopi pahit milik nyonya rumah ini, sekarang aku diusir oleh tuan pemilik rumah ini, mungkin sebentar lagi aku akan dimaki oleh anak kalian berdua,” Kenthus berkeluh pula menyindir diriku, Anne dan juga Dipa, anakku.
Ia akhirnya bergegas pulang sebab ia sebenarnya juga hampir melewatkan jadwal kereta menuju Batavia yang hampir berangkat beberapa menit lagi. Pula, aku meninggalkan teras rumah dan masuk membawa dua kopi yang masih utuh tak tersentuh sama sekali, entah olehku maupun Kenthus —meski ia telah menyeruputnya sedikit untuk merasakan bagaimana pahit kopi Lebak. Kopi Kenthus tentu tak kubuang, hanya diriku tambahkan gula agar tak terlalu pahit. Kapan lagi, dirimu bisa menikmati duduk depan mesin tik menikmati dua gelas kopi asli Lebak yang pahitnya khas amat khas di bibir pula lidah. Tentu, aku akan sedikit pusing sebab bagaimana juga aku tak terlalu toleran pada kopi, dua gelas pun mampu membuat detak jantungku bekerja amat cepat, dan mungkin tulisanku akan sedikit buruk. Kuharap pula, Uceng segera datang pada rumahku agar bebanku segera menghilang.
Kepada,
Tuan Hussein Iljas dari Bajah yang semoga diberkahi oleh Alam seisinya
Anda tentu telah mengenalku, sebab tak ada Johar Komaruddin lain dalam Distrik Lebak. Jadi, tak perlu saya umengenalkan diri lebih lanjut mengenai siapa diri saya, bukannya ingin menjadi seorang yang misterius seperti anda, Bung Hussein. Namun, kukira anda telah terlalu banyak menggali beberapa hal perihal diri saya sendiri. Saya masih berada dalam sitausi nanar pula panik, bagaimana bisa seorang dari Bajah sampai pada Tuan Sawirjo Prawironegoro, bukankah amat tak mampu diduga langkah yang anda ambil.
Pula, saya sedikit berkomentar mengenai surat dan segala tulisan yang anda kirimkan melalui Tuan Sawirjo kemarin. Saya menjadi sedikit teringat dengan Sjahrir, atau mungkin lebih banyak miripnya dengan Bung Tan, meski saya juga tak terlalu mengaharapkan Tuan Hussein kenal dengan Bung Tan, yang sayangnya telah hilang beberapa tahun silam dari Hindia Belanda.
Amat memungkinkan, anda bisa menjadi “mereka” selanjutnya dengan berbagai peluru dan visi progresif yang coba Bung Hussein bawa di Bajah selama ini. Satu yang saya harapkan, jangan sampai menjadi seorang Tan Malaka palsu seperti banyak orang Nippon dan bawahan partai-partai kiri coba lakukan. Juga, tak perlu jauh-jauh menuju Komintern, sebab anda akan sedikit banyaknya kecewa kala mendengarkan ide-ide kiri menjadi busuk di dalam sana.
Membicarakan mengenai apa yang Bung Hussein coba tawarkan ke saya. Namun, sebelum itu, saya mengucapkan terima kasih terlebih dahulu pada Bung Hussein Iljas dari Bajah, sebab tak banyak yang mengenalku dan anda masih berkeyakinan teguh bahwa saya adalah juru selamat anda. Saya pula benar-benar merasa bangga dan sediki tinggi diri kala mendengar ada seorang dari Bajah tahu akan Johar yang berbahaya kala di Bandoeng dahulu. Namun, saya lebih banyak mendapatkan ketakutan sebab saya tak mau banyak kejadian di Bandoeng terulang lagi kala saya “pensiun” di Lebak di usia selepas muda ini.
Pula, saya lebih khawatir akan keluarga saya dibamdingkan diri saya sendiri. Pula, saya telah punya seorang anak di Lebak, maka saya meminta tolong sebesar-besarnya untuk anda, Bung Hussein, bahwa informasi saya bertempat tinggal di Rangkasbitung hanyalah mandek di anda, tak menyebar lebih jauh lagi, sebab saya hanya ingin hidup tenang di Lebak. Saya hanya ingin menjadi seorang Komar yang merupakan supir lepas, bukan Johar yang tulisannya dicecar oleh banyak akal dan pikiran.
Sebab itu, saya memutuskan bahwa diri saya tak bisa menerima tawaran anda menjadi supir kala perjalanan anda menuju Batavia. Jangan salah memahami bahwa uang yang anda berikan tak cukup atau fasilitas yang anda berikan tak memenuhi syarat minimum saya. Namun, saya kira, saya telah lepas dari kehidupan ini dan tak mau lagi secara langsung hadir si tengah-tengah mereka. Saya tak mau menghambat apa yang akan anda perjuangkan di sana nantinya, sebab bila saya menjadi supir anda, kemungkinan saya akan lebih sering melarikan diri dibandingkan mengantarkan anda.
Alasan utama saya yang lain, saya masih mencintai gubuk kecil milik keluarga saya. Nyonya dan tuan muda saya pula amat bahagia dan telah nyaman hidup dalam situasi tentram tak seperti di metropolis-metropolis padat layaknya Batavia ataupun Bandoeng. Saya juga tak mau lagi berjuang demi nama Hindia Belanda, Nippon, atau bahkan saya telah tak peduli dengan ide-ide berbunyi republik. Sebab hidup saya bukan milik Hindia, Nippon, maupun republik, hidup saya adalah milik saya, istri dan anak saya, tak lebih dari itu. Saya bukanlah Johar yang anda kenal keras, saya sekarang hanyalah seorang ayah yang berusaha menghidupi keluarganya melalui cara-cara tak berbahaya. Bahkan, hingga republik selesai didirikan, saya dan keluarga saya akan tetap diam di rumah menanti kabar untuk datang
Bagi Bung Hussein, doa terbaik mengiringi anda selalu saat anda sampai pada Batavia. Ingatlah satu hal, bahwa menyerah pada idealisme itu diperbolehkan dan seringkali dianjurkan oleh keadaan, tak perlu terlalu keras menghadapi mereka yang telah punya kuasa politis di atas sana. Sebab, tak selamanya anda harus menjadi tonggak pertama perjuangan menuju republik. Saya menjadi teringat diskusi Bung Tan mengenai aktivisme kala aku membaca tulis tangan anda, dan Bung Tan masih menggebu-gebu, mungkin hingga sekarang entah dengan nama samaran apa lagi beliau.
Namun, tak perlu menjadi seorang Bung Tan, Sutan Sjahrir, atau lebih parah seorang Sneevliet yang berjalan di dunia hanya demi menuruti idealisme mereka yang berakhir dengan hidup yang entah apa bahagianya sekarang, mungkin akhir hidupnya, mereka hanya melihat moncong senjata atau hilang entah kemana. Lebih baik menjadi diri saya, Johar Komaruddin sekarang, yang hidup menghirup udara segar pagi hari diselingi satu kopi asli Lebak panas serta bermesraan dengan istri pula anak saya. Namun, terserah anda pula ingin memutuskan apa bagi hidup anda, yang pasti akan ada pilihan berat antara anak, istri dan konstituen yang harus anda perjuangkan. Pula, yang paling berat, akankah seorang manusia memilih rumah atau membangun republik sebagai rumah.
Rangkasbitung, 13 Juli 1945 Tertanda,
Johar Komaruddin, seorang supir dari kota Rangkasbitung
Naskah dibuat oleh:
Ravif Gayuh Wicaksono,
kelas sebelas B,
nomor urut dua puluh sembilan.
Rumah dan Republik
“
Mati, mati, mati kau, londo bajing*n,” satu buah kepala sinyo lagi-lagi terendam dalam genangan merah segar yang menandai masa kelam dalam republik ini belum berakhir.
Hampir berlalu, Jepang yang terus menghunus Hindia-Belanda konon sebentar lagi akan terperangkap layu di tangan Sekutu. Namun, tetap saja, kalimat banal semacam itu jamak lalu lalang dalam telinga cacatku yang sedikit terganggu karena ak u pernah tak sengaja —meski aku masih tak percaya akan hal itu— tertembak oleh satu peluru yang dilontarkan oleh Meusser C96 milik bawahan Koninklijke Nederlandsch-Indische Leger yang salah mengiraku sebagai satu aktor penting yang mendalangi pemberontakan melawan batalion kecil J.J Pesman di sekitaran kota Cimahi. Kejadian yang telah berlalu beberapa belas tahun lalu, dimana namaku masih berpacu dalam serbu kolonial akibat aku yang terlampau dalam terendam pada ide proletariat semu sebab membaca salah satu buku ciptaan Maring yang ternyata adalah salah satu komplotan Komintern yang hidup sekadar menjadi penjilat Lenin. Sekarang, aku jauh dari diriku yang lampau, seorang jurnalis —sejatinya lebih condong pada alat propaganda— yang benar-benar membuang waktu pada ide-ide sayap kiri dan bahkan hampir menjadi seorang simpatisan rendahan ISDV. Sebenarnya, bukan sebab terkena propanganda masif mereka, aku saat itu hanyalah buta pada sirkum pergerakan pemikiran yang berkembang di Belanda. Lagipula, rakyat kecil mana yang tidak tergiur pada penghilangan kelas sosial dan kesenjangan antara aku yang kecil dan para sinyo yang hidup berlimpahkan harta.
Aku telah meninggalkan Bandoeng, pula tak pernah lagi melakukan “kunjungan kerja” palsu menuju Batavia sejak beberapa tahun lalu. Tubuhku yang telah melewati masa sehatnya ini memilih untuk rehat pada satu kota yang tidak terlalu gaduh di ujung selatan Banten, Lebak. Lebak mungkin tak terlampau sepi jika dibandingkan dengan daerah lain di pesisir yang memang terisolir dari Batavia. Sebenarnya, ada sedikit alasan bodoh mengapa aku memilih Lebak sebagai tempat “pensiun” diriku. Aku hanya ingin merasakan sedikit keabsahan dari “Max Havelaar” yang sekali kubaca saat aku dititipkan abahku pada seorang Indo bernama mr. Ernest di Bandoeng. Tetapi pada akhirnya, kukira hanya Lebak tempat yang cocok untuk diri ini tetap bisa hidup sebab aku sama sekali tak mampu mengolah ladang maupun menjadi pengrajin. Meski, abahku adalah seorang buruh tani yang juga menggantungkan sedikit hidup keluargannya dari parang dan bambu, keterampilan tanganku sama sekali berbeda dengan abah. Aku pula tak pernah hidup dekat dengan abah sepanjang masa remajaku. Sedikit besarnya sebab abah tak mau aku menjadi seorang pesakitan kaum jelata yang untuk memberi makan anaknya pun perlu mengemis upahnya dulu pada seorang juragan kulit putih.
Banten, hawanya sedikit berbeda dari metropolitan yang pernah kurasakan pada kehidupanku yang lampau. Batavia telah penuh sesak dengan rupa bermuka dua dan kemunafikan yang berceceran di jalanan. Bandoeng yang dingin mulai dipenuhi pula dengan intrik politik dan berbagai macam pergerakan pemuda yang berdasar pada ego berkuasa, bukan harapan untuk merdeka. Lebak, agaknya berbeda dengan mereka saat aku pertama kali menginjakan kakiku padanya. Meski pergerakan pemuda bawah tanah Banten pun telah dirumorkan ada semenjak sebelum Jepang masuk ke Hindia-Belanda, mereka agaknya belum terlalu mengenal arti dari kekuasaan dan politik yang keruh kala Jepang datang pada awal tahun empat puluh-an. Pula, mereka terbentuk bukan dari satu kelompok pemuda eksklusif yang bersekolah tinggi pada sekolah negeri bentukan Hindia-Belanda, hanya satu dua dari mereka yang pernah mengenyam pendidikan swasta seadanya dari TPA kecil yang sebenarnya adalah akar pergerakan kaum proletariat di Banten.
Aku di Lebak tak se-terkenal diriku yang sempat menjadi incaran Heiho di Bandoeng. Hidupku telah lepas dari pena, kertas dan mesin tik tua yang sedari aku dititpkan Abah pada mr. Ernest menjadi satu-satunya temanku kala aku hidup dalam lingkungan penuh segregasi dimana menjadi Inlander adalah sebuah dosa besar. Di Lebak, aku bukanlah seorang jurnalis lepas yang tak bisa lari dari intel pemerintah kolonial Hindia-Belanda. Aku hanyalah seorang supir panggilan yang melayani para Vreemde Oosterlingen dan juga para Nyai. Uang dari pekerjaanku lebih dari cukup untuk menghidupi keluarga kecil milikku yang juga telah nyaman hidup di Lebak. Meski, orang-orang Lebak kerap bergumam dan berkata buruk tentang diriku sebab rupaku yang memang tak pernah cocok menjadi pelayan dengan raut wajah ramah. Pula, masih banyak rumor yang mengatakan bahwa aku adalah seorang politisi yang dibuang dari Batavia, entah darimana mereka mendapatkan berita-berita bohong semacam itu.
Aku memang menikmati menjadi seorang supir lepas sebab ia penuh kebebasan dan tak pernah punya batasan. Aku bisa mengambil penumpang sesuai dengan suasana hatiku saat itu juga. Kala aku sedang bermimpi mengenai masa lalu kelam milikku, dalam sehari itu, aku memilih untuk menikmati secangkir bubuk biji kopi asli Lebak yang telah istriku buatkan untukku. Namun, bulan Juli memang tak pernah berkawan baik denganku, pemasukanku benar-benar menghilang sebab banyak sekali orang Indo dan Europeaen yang memilih untuk keluar rumah sebab situasi yang amat sensitif di Eropa dan ketakutan mereka pada Heiho yang amat sering bertindak kejam kala menemui manusia berkulit putih yang punya keturunan Nederlands. Para tionghoa juga sibuk menyelamatkan bisnis dan anak-anaknya karena bau-baunya, revolusi semakin dekat pada tubuh Hindia-Belanda.
“Johar, lama tidak berjumpa denganmu,” satu suara berat penuh kharisma memecah hening kala aku sedang menikmati satu batang cerutu dan kopi saat masa sulitku ini, “Hahaha, tak pernah aku menyangka, Johar yang selalu berdikari pada anti kemapanannya akhirnya menyerahkan diri pada pragmatisme dunia yang jauh dari idealismenya,”
Aku amat terkejut mendengar seorang memekik panggilanku di masa lampau yang sekarang tak pernah lagi kudengar. Aku memutar kepalaku hampir seratus delapan puluh derajat, hanya untuk memastikan apakah telinga cacatku ini berhalusinasi pada pagi yang sangat dingin ini. Sialnya, aku tidak berhalusinasi, mungkin satu nasib buruk saja menemukan orang yang mengenalku pada sebuah kubangan oase kecil ini. Aku sedikit mengrenyitkan kedua buah bola mataku yang sejatinya butuh kacamata demi mengingat siapa dirinya. Seorang lelaki muda —agaknya sedikit tua— berkulit coklat sawo matang, berambut lurus, memakai jas tanpa dasi pula dengan sebuah kaca mata bundar berwarna abu-abu. Aish, aku sedikit sulit mengingat, sejak kapan aku punya teman Jawa yang punya rumah dekat Banten. Terakhir kali aku menemui seorang Jawa hanyalah Soeman, kawanku menikmati teater kala di Bandoeng dahulu. Namun, tak mungkin Soeman masih terlihat semuda ini, terakhir kali kulihat, ia hanyalah seorang pakdhe-pakdhe pemabuk yang menghabiskan hidupnya di rumah bordil milik seorang Tionghoa di sekitaran Dago.
“Bung, sebelumnya maafkan jika saya terlampau lancang,” ujarku perlahan sembari berdoa agar aku tak lagi terjebak dalam lingkaran hidup berbahaya milikku yang lampau, “Mungkin, bung ini salah orang, saya bukanlah Johar yang anda cari.”
“Johar, Johar, haruskah kupinjamkan lagi kacamata tuaku ini pada dirimu agar memori mengerikan kita kembali lagi dalam akalmu?” suara kharismatik itu kembali lagi menggetarkan telinga cacat kepunyaanku ini.
Sialan, aku makin bertanya-tanya dalam hatiku perihal siapa dirinya sebenarnya. Aku benar-benar tak memiliki banyak petunjuk atas segala yang dia ujarkan kepada diriku. Satu memori mengerikan, aku bahkan hampir tak mengingat memori mengerikanku di masa aku menjadi jurnalis lepas dahulu. Momen mengerikan yang benar-benar kuingat hanyalah kala aku tertembak Meuser C96 milik pasukan KNIL yang telah aku ceritakan tadi. Selain itu, sialan, aku benar-benar tak mengingat kenanganku kala aku menjadi Johar yang kata dirinya amat anti kemapanan itu.
“Hey, hey, hey, apakah seorang Johar muda yang membara milik kita telah hilang ditelan keadaan untuk menyelamatkan nyonya dan tuan mudanya.”
“Jaga mulut anda, bung,” aku sedikit tersinggung atas ucapannya yang merendahkan istri dan buah hati kecil kepunyaanku, “Saya tak pernah ingin membuat musuh di hidup baru saya, namun jika itu kemauan anda, saya tak akan menghindar.”
Dengan sedikit gentar dan tersenyum getir akhirnya lelaki muda yang belum aku ketahui siapa namanya itu mengakhiri segala basa-basi dan candaannya, “Tidak Johar, maafkan atas candaanku yang buruk, aku benar-benar tak tahu dirimu sedang dalam suasana hati yang buruk.”
“Sejauh yang kuingat, kawanku, Johar adalah seorang anak muda yang punya sedikit banyak humor-humor aneh,” ia mengatakannya dengan sedikit tawa satir, “Namun, zaman pun telah berganti, Jepang pula akhirnya menghantam Semenanjung Cina, masuk juga pada Hindia, dan seorang anak kecil lugu milik kita tentulah berubah.”
“Sudahlah bung, hentikanlah basa-basi kepunyaan anda, tentu anda paham saya sedang dalam situasi yang cukup buruk akhir-akhir ini,” aku lagi-lagi berkata sedikit keras untuk menekan dirinya, “Siapa nama anda bung, dan ada keperluan apa dengan saya?”
“Jadi, sebab saya tak ingin membuat tuan Johar semakin terlarut dalam amarahnya, akan saya kenalkan nama saya, jadi tuan Johar bisa memanggil saya Sawirjo, teman masa kecil anda kala anda tak punya teman di Bandoeng.”
Seorang Jawa bernama Sawirjo, teman masa kecilku kala aku sama sekali tak punya teman di Bandoeng. Siapa Sawirjo, apakah manusia ini membodohiku lagi dengan ucap-ucap sampah miliknya? Pernahkah aku mengenal seseorang dengan nama Sawirjo pada masa lampauku. Aku hanya pernah punya satu kawan dengan mulut semenjijikan dia, dan tak mungkin orang itu sampai datang ke kota ini.
“Sawirjo, Sawirjo, Sawirjo…” tak sengaja aku menggumam kecil hingga terdengar oleh dirinya yang mengaku punya nama Sawirjo itu.
“Astaga, kawanku Johar, masih tak mengingat namaku? Aku Kenthus, Kenthus tetanggamu sialan, hingga kau tak mengenal diriku, sumpah aku akan menarikmu ke jalan raya samping sana, Har.”
“Bajing*n kau Kenthus, bagaimana kamu bisa sampai pada kota kecil ini, bukankah dirimu telah mapan meneruskan usaha yang amat diberkati tuhan milik bapakmu itu?” celotehku dengan penuh candaan pada Kenthus, teman guyon pertamaku pada masa aku tak punya teman kala aku baru saja tiba di rumah mr. Ernest.
“Sampai kapan dirimu akan mencemooh usaha judi milik bapakku, lagipula kau sering juga ikut bermain di rumah judi ayahku, dengan asyiknya minum khamr pula,” si sialan itu kembali membahas aib masa remajaku yang telah kupendam dalam-dalam sekarang, “Lagipula, usaha bapakku sekarang telah gulung tikar, hahaha.”
Tak bisa kusangkal, ketika bertemu dengan Kenthus, aku seakan kembali menjadi Johar masa remaja yang amat suka berceloteh panjang lebar tanpa tujuan dan poin tertentu. Candaan-candaan menyinggung dan penuh kata-kata menyaitkan yang hampir beberapa tahun ini tak bisa diriku tuangkan pada kota kecil yang sebenar-benarnya asing untukku ini akhirnya bisa aku “hadiahkan” lagi pada kondisi reuni bersama kawan remaja inlander miliku. Basa-basi mengenai masa remaja kami berlanjut hingga Kenthus mulai tiba-tiba menjauh dari tempat kita duduk tadi. Aku benar-benar tak berani mendekat padanya sekarang sebab muka Kenthus yang terlalu serius jika dibandingkan kala aku dan dirinya membahas masa remaja kami. Terlihat ia menungu seseorang datang untuk memberikan entah apa yang Kenthus nantikan —sial, mungkin aku akan menyebutnya Sawirjo mulai dari sekarang, sebab rasanya tak pantas menyebut seorang Inlander yang berpakaian rapi seperti seorang sinyo Indo dengan nama “Kenthus”.
Seorang remaja dengan kumis tipis menghampiri Sawirjo, ia membisikan sedikit sesuatu pada kawan remajaku itu. Lagi-lagi aku punya firasat bahwa kehidupan tenang di kota asing ini akan segera berakhir digantikan oleh perasaan was-was yang dahulu pernah aku rasakan. Jujur saja, aku sebenarnya tak terlalu menikmati kehidupan datar seperti kebanyakan Europeanen dan Indo yang hidup sebagai seorang administratur maupun aparatur sipil —bahkan mereka pun terkena dampak zaman kalang-kabut pula disebut para kawan jurnalis intelekku zaman malesie pada tahun tiga puluh-an. Sawirjo menerima satu surat kusam yang telah sedikit koyak dengan penuh gerakan mencurigakan. Entah bagaimana, aku sedikit tertawa kecil sebab posturnya hampir mirip dengan Kenthus masa remaja yang gemar sekali menyelundupkan vodka-vodka berkualitas tinggi yang ia dapat dari seorang dengan perawakan khas etnik Slavia Timur. Sawirjo, selepas menerima surat yang dari sepenglihatanku tanpa diberi tempelan perangko —yang berarti itu bukanlah surat perintah dari pemerintahan untuk menangkap diriku yang malang ini— mengeluarkan beberapa sen dan juga sebuah roti dari dalam jas hitamnya. Remaja berkumis tipis yang berbekal satu tas kumuh yang sobek dan juga sepeda tua yang kurasa bukanlah miliknya itu pergi sekali lagi dengan raut cukup bahagia, dan Sawirjo akhirnya menghampiriku dengan wajah setengah tersenyum.
“Aih, apa lagi tuhan yang akan terjadi pada hidup saya,” aku menggumam sebab aku merasakan satu perasaan yang entah bagaimana mengarahkanku pada mimpi buruk milik diriku sebelumnya. Aku entah mengapa berburuk sangka pada Sawirjo yang mengadukan diriku pada mr. Ernest dan surat itu berasal dari orang Indo aneh itu yang hendak meminta diriku pulang ke Bandoeng untuk membantu pekerjaan-pekerjaan berbahaya yang akan melibatkanku lagi dengan situasi perang yang makin dekat ini.
“Maaf jika membuat kawan hebatku ini menunggu, Johar,” dengan cemas yang penuh doa-doa pada gusti, aku menunggu apa yang akan Sawirjo ucapkan selanjutnya, “Jadi, ada satu surat yang sepertinya ditujukan untuk Johar kita yang baru.”
Brengsek satu ini, sebenarnya aku hampir muak dengan sikap Kenthus satu ini yang sedari dulu amat manipulatif. Entah bagaimana, tiap suara yang keluar dari mulut busuknya sudah tentu diiringi dengan kata-kata mutiara yang penuh dengan ambiguitas. Bagaimana bisa pula, basa-basi bau tengiknya mampu mengulur situasi yang sebenarnya cukup genting. Tak heran pula, bagaimana cara ia bisa mendapatkan koneksi yang cukup luas pada orang-orang besar dari sayap manapun jika tidak menggunakan lidah ajaib miliknya. Bukankah jarang sekali, seorang mampu berteman dengan seorang sosialis agamis sekaligus bermitra dengan seorang kulit putih yang di tiap jengkal otaknya hanya dipenuhi gulden, gulden, dan gulden lagi.
“Bukankah engkau penasaran dengan apa kata yang ada di dalamnya, wahai Johar yang baru? Apakah itu akan berisi permintaan seorang perwira PETA yang memintamu membantu program propaganda busuk mereka? Atau, mungkin surat dari abahmu yang sekarang entah berada dimana sebab anaknya tak pernah peduli padanya lagi?
“Jika kau datang jauh-jauh kemari hanya untuk bergurau dan memutuskan hubungan kita yang telah terjalin amat baik, bukankah itu amat sia-sia wahai tuan Sawirjo yang amat pelayan ini hormati?”
“Yah, yah, yah, sifat sensitifmu muncul lagi, bagaimana dirimu bisa dapat penumpang jika raut dan ucapmu masih tajam seperti Johar yang ku kenal dahulu?”
Ini bukan kali pertama terbesit dalam pikiranku untuk membunuh Kenthus satu ini sebab tingkahnya yang sangat membuat akalku dongkol. Abahku yang memang tak lagi pernah aku tengok pun tak luput dari ciprat ludahnya. Aish, sebenarnya dia ini tumbuh pada lingkungan seperti apa hingga bac*tnya mungkin bisa menandingi manipulasi dagang yang dilakukan para elit-elit serikat “monopoli” Belanda zaman terdahulu. Bukannya, ia tumbuh dalam lingkungan yang hampir sama denganku, kapan dirinya berpisah denganku, bukannya tiap hari aku dan dirinya bersama-sama? Namun, sialnya aku hampir selalu terkesima sekaligus gondok dengan kemampuannya bicaranya yang amat baik hingga mampu menggiring siapapun masuk ke dalam sangkar milik seorang Sawirjo.
Sawirjo mengulurkan surat yang ia terima tadi bersamaan dengan tangan kecilnya pada diriku, “Bacalah sendiri, mungkin sedari sekarang pembicaraan kita akan sedikit serius sebab aku pun tak mau dirimu salah paham pada apa yang diriku bawa padamu.”
Aku menerima surat itu perlahan dan mencoba untuk tak merusak apa yang ada di dalamnya. Sialan, sepertinya seseorang yang menorehkan tinta pada kertas kusam ini amat berhati-hati dalam mengemas segala yang ia tuangkan disini. Kecamuk akalku makin menjadi, batinku sendiri mengharapkan bahwa jangan sampai ini adalah sebuah berita buruk bagi istri dan laki-laki tercintaku. Aku hanya tak meninginkan istriku mengeluhkan dirinya tak bisa terlelap dalam tidur sebab namaku selalu menjadi gunjingan para Inlander kolot yang mengganggap pemerintah Hindia-Belanda tak bersalah pada bangsa Hindia hanya sebab mereka mendapat keringanan hidup dengan ayah seorang pegawai sipil. Sekarang, satu kertas yang dilipat beberapa kali telah ada pada tanganku yang terus gemetar, persis kala aku kalah besar dalam berjudi di rumah Kenthus.
“Buka saja segera, tak ada yang terlalu berbahaya dari surat itu,” Sawirjo terus menggodaku sebab aku amat terlihat tak punya nyali untuk membuka surat itu. Setelah berbagai pertimbangan dan kecamuk dalam diriku, aku memberanikan diri untuk membuka surat itu. Jujur saja, terlintas keinginan untuk mengoyak segala yang ada di dalam sana. Namun, kukira Johar bukanlah seorang pecundang menjijikan yang selalu lari dari apa yang ia hadapi. Namun, amatlah sial, mengapa bait tiap kata dalam surat Sawirjo ini amatlah panjang. Mungkin, aku perlu berhenti sejenak agar dapat jenak membaca mutiara atau malah dinamit yang telah terbungkus rapi ini.
Kepada,
Tuan Johar Komarrudin yang semoga selalu diberkati oleh jiwa-jiwa revolusi,
Untuk sementara, saya tak ingin mengenalkan siapa diri saya sebab tak ada gunanya pula mengenalkan diri saya yang kecil pada seorang pemikir muda menakjubkan seperti anda, Tuan. Sedikit pengantar, kata yang ada dalam surat ini saya tulis dengan penuh rasa hormat dan bukan dengan keterpaksaan untuk menuliskan surat ini. Jadi, saya adalah satu perwakilan pemuda Bajah, negeri kecil di pesisir selatan Banten, tentulah Tuan Johar tahu akan hal tersebut.
“Sialan, pergerakan pemuda lagi dan lagi, kukira masaku berhadapan dengannya telah habis…” aku menggumam lirih dengan mata yang masih terfokus pada seratus atau lebih kata yang ada di surat itu.
Tak banyak yang ingin saya utarakan pada Tuan Johar. Namun, perlu diingat bahwa saya menulis bukan mewakili saya, sedangkan, segala jiwa-jiwa muda yang ada di negeri kecil tempat saya terlelap ini. Mungkin, cukup sudah basa-basi dari saya sebab kami pula masih punya banyak tanggung jawab yang belum saya selesaikan waktu ini.
Tuan Johar yang amat kami hormati,
Sebab situasi yang cukup tidak kondusif pada akhir ini dalam diri Hindia, salah banyak pemuda Bajah ingin mencoba mengutarakan rasa para jiwa muda Bajah pada segala pemangku kepentingan di atas sana, wabil khusus, mereka yang satu rasa dengan kami. Kami telah mencoba menghubungi segala yang ada dari Merak hingga Rangkasbitung, dan tak ada jawaban sama sekali. Saya tahu bahwa Bajah bukanlah pusat pergerakan pemuda semacam kota-kota metro lain. Jadi hanyalah Tuan Johar satu-satunya jalan yang kami amat andalkan sekarang. Tuan Sawirjo Prawironegoro telah mengatakannya pada kami pribadi, bahwa Tuan adalah satu dari sedikit jiwa muda yang menyerah pada impian remaja Tuan.
“Apa yang dirimu katakan pada para muda Bajah, Sawirjo?” tanyaku dengan tatapan tajam pada Sawirjo yang sedari tadi masih saja sibuk dengan cerutu Kuba kepunyaanya.
“Hahaha, jadi kau memanggilku Sawirjo sekarang? Perihal yang kukatakan pada orang-orang tentang dirimu, sebenarnya dikau tak perlu banyak tahu tentang itu, sebab seorang kawan takan pernah mengutarakan suatu yang buruk mengenai kawannya sendiri,” Sawirjo memulai lagi ucapnya pada berbagai retorika yang membuat semua orang yang menjadi lawan bicara Kenthus satu ini akan menjadi amat dongkol. Namun, aku telah tak peduli lagi pada apa yang ia katakan, sebab aku lebih tertarik dengan selebaran dari Bajah ini.
Batavia adalah tujuan kami selanjutnya. Dalam kongres pemuda Bajah yang telah diadakan kecil-kecilan pada beberapa tempo yang lalu, diputuskan bahwa pemuda Bajah akan tampil dalam sirkum pemikiran pergerakan nasional kedepannya. Kami tak mengincar panggung untuk berpolitik sejatinya, kami hanya ingin berperan dari belakang dan menjadi satu bagian dari pendirian sebuah Republik yang akan menggantikan Hindia Belanda.
Sial, aku amatlah yakin para pemuda Bajah ini sedang menemukan momentum yang amat tepat sehingga berani bertindak sejauh ini. Apa yang sebenarnya mereka inginkan pada ide-ide tak konkrit mereka. Pendirian sebuah republik, kurasa satu lagi Tan Malaka palsu bersarang pada tambang di Bajah. Siapa orang selain Tan yang punya fantasi begitu besarnya pada pendirian republik. Namun, kurasa sekarang Tan telah hidup dengan baik bersama dengan kawan-kawannya di Komintern, atau malah sedang berkelana ke Amerika Latin dan Karibia untuk mengunjungi kawan-kawan satu perjuangannya dalam meneruskan ide-ide progresif yang tak realis milik Marx. Tak mungkin Tan Malaka yang agung hidup di Bayan bersama dengan para pekerja tambang yang kotor.
Tuan Johar yang selamanya diberkati oleh semangat juang jiwa muda,
Kami memohon tanpa mengurangi sepeserpun rasa hormat kepada satu pejuang yang sekarang telah menjadi veteran dalam perjuangan menuju kemerdekaan. Kami tahu bahwa Tuan takan mau mendampingi secara politis, para-para kami dari Bajah menuju Batavia untuk menawar segala sesuatu yang telah menjadi diskusi”
Tuan Johar yang dikatakan magis oleh beberapa orang,
Kami meminta tolong mengenai satu pula dua hal pada Tuan. Yang pertama, kami meminta Tuan Johar untuk kembali lagi pada Batavia untuk membantu kami dari Bajah dalam menemukan beberapa orang penting. Yang kedua, kami ingin menyewa Tuan Johar sebagai juru kemudi kami dalam perjalanan menuju Batavia. Perjanjian dan kontrak tertulis mengenai sewa jasa Tuan mungkin akan sampai tempo hari melalui remaja yang sama lagi.
Jika tuan menghendaki, silahkan datang pada alamat dan hari yang nanti akan kami cantumkan pada kontrak perihal Tuan yang menjadi supir pribadi kami. Kami sebagai penerus perjuangan Tuan tentu tahu diri, takan membuat anda memutar jauh ke Bajah, kami menawarkan satu tempat bertemu yang cukup dekat dengan tempat anda tinggal sekarang.
Bajah, 12 Juli 1945,
Tertanda,
Kumpulan Jiwa-Jiwa Revolusi Bajah
“Apa yang baru saja kubaca ini? Mengapa mereka tahu dengan begitu detil kehidupanku yang sekarang, bukankah itu darimu, tuan Sawirjo?” ujar diriku sembari memberi sedikit gestur satir dengan berbagai pertanyaan retoris pada Sawirjo yang terlihat amat mencurigakan semenjak ia datang pada kota kecil ini, “Apa yang coba kamu rencanakan untuk diriku? Kau ingin membawaku kembali terlarut dalam hiruk pikuk pergerakan pemuda lagi atau bagaimana, ha?”
“Dirimu terlalu banyak berprasangka buruk padaku wahai kawanku, pertama, aku tak sampai hati membocorkan segala informasi penting kepunyaan kawan dekatku, kedua, aku bahkan baru saja tahu bahwa ragamu hinggap pada kota kecil ini sedari aku diberi tahu seorang yang menulis surat ini.”
Aku kembali merengkuh kopiku kembali untuk memulai percakapan yang nyaman mengenai surat ini bersama Sawirjo yang sepertinya menyembunyikan banyak hal pada diriku mengenai kedatangannya kemari, “Sebenarnya, siapa gerangan manusia Bajah yang mampu menulis surat dengan kata magis seperti ini, aku merasa ia bukanlah pemuda Bajah biasa.”
“Aku pula tak tahu siapa dirinya, aku hanya berkabar dengannya lewat remaja tadi, Johar,” ia berkata begitu lepas sehingga kata-katanya yang ini seakan adalah hal yang benar bagiku, “Tak ada yang kusembunyikan lagi padamu, bagaimana mereka mampu sampai kepadaku, aku pun tidak terlalu tahu, pradugaku mereka punya sesuatu yang lebih besar dari yang kita kira.”
Percakapan mengenai siapa pemuda Bajah yang mampu menuliskan surat se-matang ini masih berlanjut. Aku merasa, hanya aku yang ditipu oleh pemuda Bajah sebab rasa rendah diri mereka, sebaliknya, mengarahkan diriku menuju rasa rendah yang lebih lagi. Namun, Sawirjo yang selama ini sukar dimanipulasi oleh seorang, bahkan jika itu adalah seorang politisi besar, pun akhirnya tunduk pada “bocah” satu itu. Lingkungan apa yang diciptakan distrik kecil di pesisir selatan ini. Sejauh yang aku tahu, mereka hanya berasal dari kawasan tambang dan lebih sering mogok kerja sebab tak diberikan upah dibanding ikut campur pergerakan politik nasional. Jelas, ada yang terlewat dari mataku semenjak aku tak mengikuti pergerakan kaum-kaum muda di sekitaran sini.
Sawirjo yang telah tak punya urusan lagi memutuskan untuk pulang menuju salah satu rumah bapaknya yang ada di sekitaran Rangkasbitoeng. Sejauh yang aku tahu dirinya hanya ingin aku bertemu dengan para muda Bajah yang membuatnya tercengang pula. Aku masih tak bisa berhenti berburuk sangka mengenai dirinya, jujur saja. Namun, aku tak mengira seorang Kenthus yang amat loyal di masa terdahulu bisa membuatku jatuh dalam bencana besar, kurasa tidak.
***
S
ehari telah berselang, tidurku sama sekali tak nyenyak. Pula, pagi ini, aku masih termenung dalam teras rumahku, memirkan akankah aku mengambil pekerjaan yang ditawarkan oleh mereka —para pemuda Bajah. Juga, istri dan anakku belum sama sekali aku berikan penjelasan dan pengertian mengenai apa kejutan yang aku dapatkan kemarin. Sebenarnya, hari ini banyak sekali Sinyo yang meminta diriku mengantar mereka menuju Tangerang, pula beberapa menuju Merak. Namun, aku benar-benar tidak dalam suasana hati yang baik hari ini. Tak peduli berapa Gulden yang akan aku sia-siakan, aku masih memikirkan kejadian kemarin.
“Lamunanmu sepertinya sebentar lagi akan membuat nyonya dan tuan mudamu geram hari ini,” indah suara perempuan meraih telinga cacatku pada siang hari ini. Tentu itu ialah istriku, mana mungkin pula aku menyimpan germo di dalam pekarangan rumahku.
“Apa yang dirimu larutkan dalam kopi yang kubuatkan pagi ini, hingga dirimu masih saja duduk khusyu’ di tengah ketidakpastian yang kerap membayangi hari-harimu dalam bulan Juli ini?”
“Maaf, sayang, akalku hanya sedikit tak jernih pagi ini, ada sesuatu yang amat mengganggu pikirku sedari kemarin,” aku mengatakan hal itu dengan nada memelas, “Bukannya aku tak ingin menghidupi keluarga kita, hanya saja, aku benar-benar sedang dalam kebimbangan yang mungkin saja bisa menghancurkan hidupku.”
Istriku duduk dan sedikit mengusap pipi pula bibirku dengan tangan mungilnya yang amat halus sembari berucap lembut, “Komar manisku, egomu masih saja tinggi meski dirimu sudah meinggalkan Bandoeng hampir dua tahun, mungkin bukan pilihan tepat jika dirimu melepas citra Johar yang lama kamu bangun di metropolitan dingin itu.”
“Sudahlah Komarku sayang, masihkah kamu merasa istri kesayangan yang kamu kejar bertahun-tahun kala di Bandoeng ini adalah orang asing bagimu. Aku disini bukan sebagai perempuan yang kamu hidupi, aku adalah sahabatmu, tempatmu melempar segala resah dan gelisah yang mengganggu hidupmu,” istriku melanjutkan kata-kata manisnya dengan masih membelai wajahku untuk menenangkan diriku yang mungkin terlihat amat malang di matanya.
“Anne, bukannya tak mau berbagi kisah dengan dirimu, sayangku,” ucapku pada Anne —ya itulah nama nyonyaku, “Aku hanya tak menginginkan seorang wanita cantik sepertimu, Anne, punya banyak beban pada keseharian-keseharianmu.”
Anne menyetil dahiku karena mungkin hampir geram dengan sikap dan ucapanku, “Singirkan ego tinggimu itu, jangan merasa dirimu bisa menahan segala pedih dan perih dari segala yang kau hadapi, dirimu perlu teman, akulah orangnya, Komar, jadikan aku temanmu dalam berbagi sesal.”
Istriku dan aku memanglah punya hubungan yang cukup aneh. Anne, adalah seorang Indo yang bekerja sebagai seorang editor dalam satu surat kabar yang acap membahas perihal wanita dan segala tetek bengeknya. Hubunganku dengannya di awal mungkin tak seindah yang kalian bayangkan pada pikiran kalian. Pertemuan pertama kami muncul dalam sebuah ruang diskusi antar surat kabar, jurnalis lepas dan banyak peneliti mengenai perjuangan kaum puan yang menghasilkan perdebatan panjang antara aku dan dirinya. Kami sempat benar-benar punya hubungan buruk hingga kala aku ingin memasukan tulisanku pada surat kabar Anne, naskahku langsung dikoyaknya —aku mendengar cerita ini dari kawanku dan ketika kutanyakan pada Anne ia hanya tertawa kecil. Hubungan kami sedikit membaik kala aku tahu bahwa mr. Ernest dan Anne punya hubungan darah dan kami sempat bertemu dalam kunjungan Anne ke rumahku.
Anne, memang sedari awal aku terkesima dengan kulit putih bersih lembut, mata coklat dan juga rambut lurus hitam miliknya. Juga entah bagaimana, wewangian yang ia gunakan amatlah membuat diriku nyaman hingga aku selalu ingin berada dalam jarak yang dekat dengannya. Hubunganku dengannya sebagai pasangan berjalan amat datar, entah sebab ia tak punya pilihan lain atau bagaimana, Anne menerima ajakanku untuk menikah. Pernikahan kami telah berjalan selama lima tahun, seingatku. Dalam waktu sepanjang itu, tentulah kami bertingkah seperti seorang pasutri yang sewajarnya ada di Hindia Belanda. Namun, kami belumlah mampu terbuka satu sama lain mengenai batin ataupun masalah-masalah yang meibatkan nurani masing-masing.
“Untuk kali ini, aku menyerah pada kecantikanmu Anne, hatiku yang kacau takan aku tularkan kepadamu lewat perdebatan-perdebatan kecil yang tak berguna ini, aku akan mengalah padamu mungkin hanya untuk siang ini.”
“Aku mendengarkanmu tiap saat, manisku, mulailah bercerita apa yang engkau alami pada masa kemarin,” Anne menatapku sangat tajam, namun hangat sehingga aku sedikit tersipu malu kala itu.
Aku menceritakan segala yang aku alami pada hari kemarin, mulai dari pertemuanku dengan Kenthus hingga surat kusam yang berisi permintaan pemuda Bajan padaku. Anne tak banyak bereaksi, ia hanya terus memandangi wajahku sembari sesekali mengangguk tanda bahwa ia masih memahami suara yang keluar dari mulutku. Wajah Anne yang entah mengapa terasa amat cantik pagi ini selalu menunjukan senyum dan kadang menahan tawanya —kurasa ia hanya sedang ingin mengejek diriku— saat mendengarkan ceritaku pada hari yang lalu.
“Komar, tak buruk menjadi seorang Johar untuk kedua kalinya, pula aku ingin memanggilmu dengan nama Johar lagi,” ucap Anne dengan setengah bercanda kepada diriku, “Jangan pedulikan keselamatanku, sayang, dirimu sendiri tahu bahwa aku amatlah bisa melarikan diri menuju Nederlands ketika situasi keluarga kita mulai berbahaya.”
“Lantas, bagaimana dengan Dipa, anak kita yang bahkan belum genap berumur dua tahun, aku benar-benar tak mau Dipa terkena akibat dari tindakanku yang serampangan seperti kala aku di Bandoeng dahulu.”
Anne yang menatapku penuh dengan keseriusan tiba-tiba memecah suasana hening dengan mengolok diriku, “Dasar bodoh, Dipa bisa dengan mudah ikut denganku, maka hanya akan menyisakan dirimu yang tentu membusuk sendirian pada angan-anganmu mengenai sosialisme.”
“Anne, bisakah jangan terlalu banyak bercanda dahulu dalam jangka waktu dekat ini? Meski suasana hati milik diriku telah membaik sebab dirimu. Namun, aku masih dalam keadaan mental yang cukup buruk sekarang.”
“Sudahlah, maafkan tingkahku yang tadi, sayang. Untuk segala yang ingin dirimu lakukan, aku tentu akan menyetujuinya sebab kukira kamu sudah menahan egomu cukup lama dan mungkin tubuhmu perlu disuapi aksi-aksi berbahaya sekali lagi,” ucap Anne sembari tersenyum dengan mata sedikit sayu.
Aku hanya mengangguk pelan pada kalimat yang diucapkan Anne. Aku tak mampu mengelak dan mendebat segala yang diucapkan Anne sesaat tadi sebab tak ada yang salah dengan apa yang ia utarakan. Namun, bukan berarti kala aku telah mendapat restu Anne, diriku langsung beralih menerima tawaran dari para kawula muda Bajah kemarin. Masih ada banyak hal yang perlu kupertimbangkan pada siang ini, sebelum utusan dari Bajah itu datang kemari.
“MAMAA, TEMANI AKUU…” terdengar satu rengek lelaki yang amat cempreng dari dalam rumah, dan tak lain, ia adalah anak semata wayangku bersama dengan Anne, Dipa. Ia memang tak pernah betah kala Anne pergi sebentar dari pandangannya, entah bagaimana nasibnya besar nanti. Namun, kuharap ia tak menjadi seseorang seburuk aku.
“Tuan mudamu telah memanggil nyonya ini masuk, jadi aku undur terlebih dahulu, suamiku tercinta,” ucap Anne dengan tawa kecil pada diriku yang masih juga memandangi langit mendung siang ini. Anne masuk menuju dalam rumah, tentu untuk menghampiri Dipa dan bermain bersama dirinya. Tak lama setelahnya, aku menyusul Anne masuk sebab sepertinya hujan akan datang mengguyur Lebak sebentar lagi.
***
“
TUAN JOHAR, TUAN JOHAR, PERMISI, SAYA DARI BAJAH,” lantang teriakan datang diirngi hujan yang memecah gendang telinga cacatku. Sial, apakah ia utusan dari Bajah itu, mengapa ia sudah datang hari ini, dan mengapa pula ia bersuara layaknya remaja berusia belasan tahun yang belum aqil baligh.
Aku membuka pintu dan menemukan seorang remaja basah kuyup yang membawa sepeda tua serta tas krem —atau terlihat layaknya coklat tua setelah terguyur hujan— yang hampir putus tali cangklongnya. Kuingat sebentar perihal kejadian kemarin, dan aku punya praduga bahwa ia remaja yang mengantarkan surat pada Sawirjo hari lalu. Kulihat postur dan sepedanya amat identik dengan seorang yang kemarin menemui Sawirjo. Ah, apakah ia akan mengantarkan kertas berisi kontrak yang dikatakan para pemuda Bajah dalam surat kemarin.
“Ada perlu apa dirimu menemuiku, apakah kamu juga yang kemarin mengantarkan surat pada Tuan Sawirjo? Sebelum itu, masuklah dahulu untuk mengeringkan badanmu, tak baik hujan-hujan bagi anak kecil sepertimu”
“Baik Tuan, terima kasih atas segala perhatian Tuan pada saya,” lantas ia masuk pada pintu lebar yang menjadi batas antara keluargaku dan bahaya yang ada pada luaran sana.
Si remaja itu melanjutkan dengan pelan, “Membicarakan yang tadi, iya Tuan, saya adalah remaja yang mengantar surat kemarin, hari ini saya diutus lagi oleh Tuan Hussein untuk mengantarkan satu lembar kertas ini lagi.”
“Siapa Tuan Hussein? Apakah ia utusan dari Bajah yang kemarin menuliskan surat panjang lebar untukku?” aku menembak satu pertanyaan dengan cukup tajam pada remaja lugu yang masih pula basah oleh air hujan.
“Tuan Hussein, d-d-dirinya yang menuliskan surat pada Tuan Johar kemarin, ia adalah seorang utusan pemuda dari Bajah,” ucapnya dengan menunduk seakan telah melakukan satu kesalahan dalam mengantarkan suratnya.
“Sudahlah, tak usah perduli dengan Hussein yang menugaskan dirimu itu, maaf jika membuat dirimu merasa ketakutan pula,” aku berujar sembari menepuk pundaknya yang amat dingin sebab kehujanan pada perjalanan ke sini tadi, “Yang lebih penting, apakah kertas yang dirimu bawa aman dari air hujan yang turun tadi?”
“Aman, Tuan, tak perlu khawatir pada hal itu, saya telah berpengalaman dalam hal-hal semacam ini,” kata remaja itu sambil menunjukan senyum yang menunjukan jelas bahwa ada beberapa giginya yang patah entah sebab apa. Lagipula, apa yang sebenarnya telah dilakukan oleh Nippon beberapa tahun belakangan ini dalam mengurus Hindia hingga anak sekecil dia telah berpengalaman melakukan pekerjaan yang cukup membahayakan. Aku tak habis pikir pada propaganda mereka yang telah berbalik seratus delapan puluh derajat sekarang. Tak ada lagi frasa “Jepang Cahaya Asia”, sebab Jepang hanya menjadi pemantik kegelapan yang lebih hitam dibandingkan apa yang orang-orang Europeanen lakukan pada masa sebelumnya.
“Kerja bagus untuk hari ini,” kataku pada dirinya sembari menerima satu lembar surat kontrak yang masih sangat baik kondisinya meski sedikit terciprat air yang kuduga datang dari tubuh remaja yang dibasahi hujan pula tercampur keringat.
“Ada apa diluar, Komar? Siapakah gerangan yang mengunjungi rumah kita pada masa hujan begini,” tanya Anne sedikit berteriak dari dalam kamar miliknya dan tentu milik diriku pula sebab keingintahuannya pada suara yang mungkin cukup menganggu istirahat sorenya.
“Kemarilah Anne, ini perihal yang telah kita bicarakan pada siang hari tadi, mungkin dirimu bisa membantuku dalam melakukan satu atau dua pertimbangan kecil.”
Anne yang sontak keluar dari kamar dengan rambut lurus yang sedikit berantakan pula dengan muka manisnya yang cukup kumal. Ia meninggalkan Dipa yang tertidur di kamar sendirian sepertinya, sebab tak ada tanda-tanda batang hidung Dipa mengikuti istri kesayanganku dari belakang punggung atau kaki Anne. Anne terlihat memandang satu remaja baru tumbuh itu dengan penuh simpati dan jua kasihan.
“Kemarilah, siapa namamu? Keringkanlah badanmu, tak baik anak seusiamu basah kuyup oleh air hujan pada hari menjelang petang semacam ini,” ujar Anne dengan tatapan penuh kasih pada seorang remaja yang mungkin akan diriku tahu namanya sebentar lagi.
“Baik, Nyonya, terima kasih atas segala perhatian anda. Perihal nama saya, sebenarnya saya tak punya nama pasti, namun banyak dari kawan juga kerabat saya memanggil diri saya Uceng, mungkin Tuan dan Nyonya bisa memanggil saya dengan nama teresebut,” ujar Uceng dengan penuh rasa hormat dan kepala sedikit menunduk pada kami berdua.
Uceng pun masuk pada kamar mandi rumahku dituntun oleh Anne yang tentulah hapal dengan segala penjuru dan sudut rumah ini. Pun, arsitekturnya tak terlampau rumit pula sebab aku hanya mengincar hunian bukanlah karya seni yang berlimpah ruah estetika. Anne kembali padaku selepas ia mengantarkan Uceng menuju pada ruang untuk segala kebutuhan kebersihan satu-satunya dirumahku.
“Apa yang ada didalamnya, betulkah ia adalah lembaran perjanjian yang pernah kau ucapkan tempo jam tadi?” tanya Anne halus pada diriku yang masih bergidik ngeri membuka apa yang dicantumkan dirinya —Uceng menyebutnya Tuan Hussein dari Bajah— pada lembaran ini.
“Dirimu benar manis, tak ada yang salah dari perkataanmu, mungkin hanya nyali dan hatiku yang sedikit berantakan sore ini,” keluhku pada Anne yang makin tajam menatapku dengan kepalanya sedikit miring dan raut wajahnya yang seakan bertanya-tanya ada apa dengan seorang Johar Komaruddin yang ia kenal.
“Mengapa lagi dirimu, sayang? Apakah engkau telah berubah menjadi seorang puan sekarang? Bukankah dirimu adalah seorang maskulin yang amatlah ingin mendominasi wanita di masa dirimu masih bergelut dengan segala tingkah konyolmu dihadapan mesin tik dan belasan surat kabar?” Anne mengucapkan segala pertanyaan dan ucap retorisnya pada diriku hanya untuk sekadar menyindirku agar aku segera kembali menjadi Johar yang memang amatlah teguh pada satu pendirian —meski itu bodoh— pada masa lampau.
Selepas segala yang dilontarkan oleh Anne, mau tak mau, pula dibandingkan malu, aku membuka lembaran itu dan seperti yang aku dan Anne kira, benar bahwa tinta hitam tersebut menjelaskan tentang pekerjaan yang ditawarkan padaku melalui surat Sawirjo kemarin. Tak banyak yang termaktub dalam surat itu, tulisan didalamnya amatlah formal layaknya surat dari satu buah partai maupun organisasi yang memang telah matang strukturalnya. Namun, keempat pasal mengenai penugasan yang diberikan, biaya, pula yang lain-lain dari kacamataku punya banyak sekali titik buram dalam penulisannya. Tak hanya keterangan yang memang tak jelas —mungkin pula sengaja tak diperjelas— juga banyak sekali celah yang bisa dimanfaatkan dari satu lembar ini. Satu lembar yang bisa membawa petaka bagi seluruh umat yang berdikari memperjuangkan ide mereka pada sudut Bajah.
“Coba bacalah sekejap Anne, gunakan keahlian cermat yang pernah dirimu andalkan kala menjadi editor di Poetri Hindia Bandoeng, adakah yang salah dengan lembaran perjanjian ini dari matamu?” ujarku sembari memberikan satu lembar kertas dari Bajah itu pada Anne.
Anne menerima kertas itu dengan tangan kanannya, pula matanya masih memperhatikanku entah mengapa. Perhatian Anne mulai tertuju pada lembaran bersih yang sekarang telah ada pada genggamnya itu, entah bagaimana ia membaca, namun kedua bola mata coklat indah miliknya amatlah tertuju pada tiap diksi pula kata, bahkan tiap ejaan yang mereka gunakan. Aku lebih sibuk memandangi wajah bersih manis Anne yang sepanjang lima tahun aku bersama dirinya tak pernah diriku bosan untuk lihat. Mata dan bibirnya, pula rambutnya yang amatlah cantik tanpa balut rias sama sekali. Aih, beruntung aku mendapat seorang Indo cantik dan penuh kasih seperti Anne.
Anne seakan memperhatikanku dan berkata sembari menggodaku, “Hai, akan sampai kapan matamu hinggap pada wajahku, aku merasa sedikit terganggu dengan hal itu wahai Tuan Komar.”
“Anne, jangan menggoda pasanganmu sendiri, maaf pula bila membuatmu merasa terganggu, aku hanya tak tahan melihat paras indahmu di petang dingin ini,” ujarku sembari tersenyum memegang dahi dan sedikit merapikan rambut kusut indah milik Anne.
“Sudah, sudah, tak baik jika Uceng melihat yang kau lakukan” ujar Anne sembari melepaskan tanganku dari rambutnya dengan sedikit memasang raut wajah malu entah sebab apa, ia pula melanjutkan, “Mengenai selebaran ini, sebenarnya aku tak yakin bahwa mereka yang menuliskan surat dan selebaran perjanjian ini adalah orang yang identik, sebab tulisannya amatlah berbeda, dan yang satu ini amat ceroboh, tak seperti surat yang siang tadi dirimu berikan pada aku.”
Sontak aku berkata dengan cukup lugas, “Persis pada apa yang ada dalam kepalaku, tak lain begitu, aku setuju pada dirimu kali ini, sayang.”
Disamping perihal teknis yang sedari tadi aku dan Anne jadikan inti dari pembicaraan kami. Pasal yang tertulis disini sebenarnya cukuplah bisa aku terima, namun kalimat semacam “Keselamatan Tuan Johar Komaruddin tak akan ditanggung oleh pemuda Bajah” seakan memberikan satu peringatan bahwa situasi yang akan diriku hadapi kedepannya adalah situasi yang cukup membahayakan bagi diriku. Pula, aku belum tahu sepanjang apa para pemuda Bajah ini ingin memberontak melawan mereka yang telah memegang tonggak momentum kemerdekaan diatas sana. Meski aku takan terlibat dalam pertarungan politis mereka, aku hanya takut Anne dan Dipa menjadi incaran mereka selanjutnya, seperti pada masa di Bandoeng dahulu.
“Anne, bagaimana mengenai pasalnya?”
Anne tak langsung menjawab, ia berpikir sebentar dan lalu berkata, “Aku tak mampu berkomentar akan hal itu, namun bayaran seratus limapuluh Gulden rasanya amat besar untuk pekerjaan seremeh ini, aku menjadi sedikit khawatir pada dirimu, pula mengapa para pemuda Bajah menargetkan dirimu menjadi supir mereka, tidakkah mereka punya orang lain dibanding harus meraih koneksi denganmu melalui Kenthus, dan pula menemani menemui para petinggi, permintaan macam apa itu?”
“Sial, aku benar-benar muak memikirkan semua ini Anne, seandainya aku tak pernah terjun pada lingkaran aktivisme di masa aku muda dahulu, aku pasti takan pernah menghadapi fase menyusahkan semacam ini,” sekali lagi aku mengeluh pada kejadian yang aku alami dua hari belakangan ini.
Sontak hingga aku pun terekejut, Anne menyeletuk, “Dan, dirimu takan pernah bertemu denganku, Johar Komaruddin.”
“Maaf Tuan, saya telah usai mengeringkan diri saya? Saya izin pamit pulang dahulu sebab hujan juga hampir reda,” tanpa kami sadari bocah satu itu telah keluar dari kamar mandi, masih dengan bajunya yang memang sudah sedikit kering meski sejatinya masih basah seutuhnya.
“Sebentar, aku masih perlu bantuanmu mengenai jawabanku pada Tuan Hussein yang mempekerjakanmu,” aku sedikit menyela mencegahnya pulang dahulu, “Berbicara perihal pekerjaan, berapa yang ia bayarkan untuk dirimu dalam pekerjaan ini?”
“Lebih dari cukup untuk makanku tuan, kisaran tujupuluh sen lebih sedikt, kadang Tuan Hussein pula memberikan diriku sebuah roti maupun biskuit kala ia memiliki sisa,” ujar Uceng dengan mata penuh binar dan senyum lebar.
Para kawula muda Bajah sejatinya tak salah memberikan upah tujuh puluh sen pada Uceng sebab memang ia lebih dari cukup untuk sebuah upah pengiriman. Namun, bagaimana bisa mereka memberikanku seratus lima puluh Gulden, sedangkan hanya memberikan anak kecil ini tak genap satu Gulden. Sebenar-benarnya aku cukup paham bagaimana mereka hanya memberikan anak ini tak genap satu Gulden sebab aku pula pernah berkutat dalam satu perkumpulan pemuda kala di Bandoeng yang memang tak bisa sama sekali mengatur alur keuangan hingga kami tak mampu merangkak lagi lebih jauh sebab keterbatasan biaya itu.
“Ini upah dariku, nanti malam datanglah kembali untuk menjemput surat yang kutujukan pada Tuan Hussein, jangan dahulu pergi jauh dari rumahku, jikalau dirimu ingin di dalam sini pun tak apa,” ucapku sembari memberikan Uceng upah sebanyak dua Gulden lebih beberapa sen pula tiga potong roti yang sebenarnya kusiapkan untuk sarapan esok hari. Namun, tak apa lah sebab keluargaku masih bisa membeli banyak makan pada pagi hari besok.
“Tidakkah ini terlalu banyak Tuan, apalagi hanya mengantarkan surat yang tak terlalu berbahaya, dan anda memberiku dua lembar uang satu Gulden?” tanya Uceng dengan tangannya yang menggaruk rambutnya sebab ia merasa heran dan juga bertanya-tanya mengapa aku memberikannya upah begitu besar.
“Tak apa, agar dirimu tak perlu bekerja esok hari, istirahatkan badanmu sebab kamu telah kehujanan dari tempat Tuan Hussein hingga sampai pada rumahku, juga aku memintamu menunggu sampai malam hari.”
“Baiklah, Tuan Johar, terimakasih atas segala perhatian dan kebaikn yang anda berikan pada saya, sementara saya akan pergi dahulu padad rumah saudara saya, tak jauh dari sini, masih pula dalam kawasan Rangkasbitung,” ujarnya meminta iin untuk meinggalkan rumahku sbab mungkin ia sungkan dengan diriku dan Anne pula takut mengganggu Dipa, “Mungkin, bada’ isya saya akan kembali lagi pada rumah anda, tak seperti sebelumnya, saya hanya akan mengetuk pintu dengan pelan, Tuan.”
Ia lantas pergi meninggalkan rumahku, aku, Anne dengan pakaian dan tas yang masih basah kuyup. Situasi di luar tidaklah terlalu buruk, hujan sudah reda, namun hari hampir gelap sebab memang petang akan menjelang malam dan mendung masih mengiringi sore hari ini. Kuharap tak ada hujan lagi malam nanti, sebab aku kasihan pada Uceng yang bolak-balik kehujanan hanya demi urusanku dan pemuda Bajah satu itu.
***
“
Assalamualaikum, permisi Johar, atau Anne, biarkan aku masuk,” tak ada satu jam dari kepergian Uceng, satu lagi suara asing datang ke rumahku. Sebenarnya tak terlalu asing sebab aku pernah mendengarkan suara ini entah dimana, pula ia mengenal Anne. Apakah ia yang akhirnya datang mengunjungiku lagi? Atau seseorang entah siapa dari masa lalu milikku kembali lagi. Aih, rasanya beberapa hari ini aku melakukan reuni dengan berbagai kejadian yang identik dengan kenangan masa laluku. Hidup penuh tekanan ini, aku benar-benar tak menikmatinya lagi seperti dahulu. Mungkin sebab umurku yang telah tua juga, aku jadi tak terlalu bisa menikmati kecamuk dan gejolak yang dunia berikan pada diriku.
Aku membuka pintu rumahku sekali lagi, “Ah, Sawirjo, kukira siapa yang datang lagi pada petang ini.”
“Bung, berhentilah memanggilku Sawirjo, aku jadi tak terlalu mengenalmu jika dirimu memanggilku Sawirjo, anggaplah aku Kenthus, Kenthus temanmu dahulu,” ujar Kenthus yang benar-benar tak mau lagi diriku panggil Sawirjo, “Kedatanganku kesini hanya sekadar temu kangen sebelum aku kembali ke Batavia esok hari sebab hari cutiku di Lebak telah habis jika dihitung-hitung.”
Aku menggoda Kenthus mengenai apa yang ia katakan baru saja, “Ah, jadi kawanku ini akan mengakhiri bolos kerja yang lama telah ia lakukan, ada apa, apakah dirimu rindu dengan suasana kerja di Batavia?”
“Jangan bilang aku bolos kerja, dasar Johar brengsek, aku bahkan masih punya surat keterangan cuti milikku, jadi jangan menuduhku dengan tuduhan yang tak berdasar,” Kenthus berujar dengan sedikit keras, mungkin sebab ia sedikit tersinggung akan perkataanku, “Lantas, bagaimana kabarmu dengan utusan dari Bajah itu? Apakah dirimu telah bertemu dengan dirinya?”
“Ah, ternyata inilah alasanmu datang ke rumahku, Tuan Hussein belum sempat bertemu denganku, aku pula tak tahu bagaimana dan dimana ia tinggal dalam kesehariannya, jadi kurasa sulit untuk melacak dirinya,” ucap diriku pada Kenthus, “Satu-satunya yang ia kirimkan hari ini adalah lembaran berisi perjanjian yang memuat beberapa pasal-pasal penuh pertanyaan untuk diriku, pula Anne berpikir demikian.”
“Biarkanlah aku lihat lembar perjanjiannya, dirimu belum mengembalikannya pada Hussein bukan?” tanya Kenthus pada diriku.
“Belum, aku masuk sebentar untuk diriku ambilkan yang kau inginkan, janganlah kembali ke Batavia terlebih dahulu, Thus.”
Aku beranjak dari teras rumahku menuju ruang kerja kepunyaanku, meski sekarang lebih terlihat seperti gudang arsip punyaku dan Anne yang hampir tak lagi terawat. Aku merogoh satu laci di ruang kerjaku yang kuyakini disanalah Anne meletakan lembaran tadi. Tanganku masuk dalam laci itu dan aku menemukan satu lembar kertas tersebut, cukup cepat sebab aku memanglah masih ingat dengan “rasa” tekstur kertas tadi. Aku mengambilnya dan berjalan kembali menuju teras depan.
Anne yang tahu bahwa Kenthus datang bertanya pada diriku, “Butuhkah temanmu dibuatkan satu gelas minum, entah apa yang ia inginkan, teh, kopi atau mungkin hanya butuh air putih hangat saja?”
“Tunggulah sebentar, aku akan menanyakannya pada Kenthus.”
Aku berjalan kedepan membawa lembar kertas itu pula memberikannya pada Kenthus sembari menanyai apa yang ditanyakan Anne pada diriku, “Dirimu mau disuguhi apa, kopi, teh, atau mungkin susu milik Dipa?”
“Bolehkah aku minta Anne, ia terlihat amat lezat kala hari amat dingin seperti ini,” ujarnya amat kurang ajar terhadap diriku sembari tersenyum mesum.
“Bajing*n dirimu, Kenthus, keluar saja dari rumahku, takan kuterima lagi dirimu menjadi temanku, selama-lamanya, tak akan pernah,” ujarku amat keras pada Kenthus yang masih terlihat tertawa terbahak-bahak pada candaannya tadi, “Pulanglah saja ke Batavia untuk menikmati santapan wanita-wanita simpanan milikmu, aku tak sudi punya teman se-brengs*k dirimu.”
“Hahahaha, ayolah kawan, aku hanya bergurau mengenai hal itu, lagipula Anne tak lebih baik dibanding pacarku sekarang,” ujarnya masih dengan tawa kerasnya.
“Candaan itu tak bisa diterima kala dirimu menyinggung nyonya manisku, dan apa yang kau inginkan, kali ini tanpa candaan sama sekali,” aku berujar seakan ingin memutus rantai candaan buruk milik Kenthus, seorang Inlander berpakaian layaknya Indo namun berkelakuan identik dengan seorang simpanse.
“Baiklah, aku ingin kopi buatan istrimu, pula minta ia mengantarkannya ke depan, telah lama diriku tak melihat Anne, apakah ia telah berubah selepas menjadi Ibu, ataukah wajahnya makin indah selepas hidup tentram bersamamu di Lebak?”
“Terserah dirimu, aku masuk untuk mengatakannya pada Anne mengenai candaan burukmu mengenai dirinya.”
“Hei, bung, jangan katakan itu pada dirinya, aku tak mau seorang macan Poetri Hinda menggigitku sekali lagi,” teriak Kenthus dengan cukup lirih kala aku sudah mulai mengambil langkah menuju dalam rumah.
“Kenthus menginginkan kopi, buatkanlah kopi pahit tanpa gula untuknya, dan jangan sekalipun keluar meski dirimu ingin melihat wajah kawan tak tahu diri itu,” ucapku pada Anne dengan muka masih jengkel sebab Kenthus tadi.
“Aku mendengarnya, tenang saja aku akan mengantarkannya dan Kenthus tentu tak akan mendapatkan diriku, sebab aku hanya milikmu seorang, Tuan Johar, meski dirimu perlu berbagi dengan Dipa sekarang,” canda Anne yang sedang mengenakan celemeknya dengan rambut miliknya yang terurai amat indah.
“Baiklah, terserah dirimu,” aku berujar masih dengan raut malas, “Namun, jangan terlalu lama berbincang dengan dirinya, aku hampir muak mendengarkan segala ocehannya, kuharap ia segera mengatakan sesuatu tentang lembar kontrak itu dan tak lagi membahas dirimu, Anne.”
“Baiklah, baiklah, usai sudah waktu untukmu cemburu pada ocehannya yang tak jelas, sekarang kembalilah ke depan menunggu diriku dan temani kawan “sejati” milikmu itu,” perintah Anne sembari mengusirku agar segera menemani Kenthus lagi di depan.
“Telah kusampaikan segala ucapan sampahmu, pula Anne akan datang ke teras untuk menerkam dirimu.”
“Hei bung, sudahlah tak usah kau ungkit lagi hal itu,” ucap Kenthus sembari masih berfokus pada satu lembar yang diberikan Uceng pada diriku tadi.
“Bagaimana yang telah kau baca, apakah dirimu punya satu pendapat atau bagaimana mengenai lembaran kontrak ini?” tanyaku pada Kenthus sedikit serius sebab dirinya terlihat tak mau lagi berucap-ucap candaan ataupun segala hal yang tak ada hubungannya dengan tujuan kedatanganya kemari.
Ia menjawabku sembari masih berfokus pada lembar itu meski sesekali mengalihkan pandang pada diriku, “Sebentar bung, aku perlu waktu sedikit lama untuk membaca hal ini, tunggulah sebentar dan dirimu akan mendapatkan segala yang seorang Johar inginkan.”
Aku menunggu tak sebegitu lama, namun sebab tak ada perihal lain yang diriku lakukan kala itu, aku merasa kosong kala itu. Yang dapat kulakukan hanyalah memandangi langit petang ini dengan lamunan, bukankah ia adalah satu perlakuan pada hidup yang amat membuang waktu. Kurasa pula, dua puluh atau tiga puluh tahun mendatang, semua orang telah sibuk pada pekerjaan mapannya, entah pada Hindia Belanda, pada Manchuria yang lain, atau pada republik yang akupula tak tahu akan diberi nama apa. Esok, pasti tak ada lagi seorang yang amat punya banyak waktu luang untuk memandangi langit senja seperti diriku, hanya melihat angkasa berwarna oranye yang bahkan tak kunjung membiru.
Kenthus mengagetkanku dengan ucapannya, “Aku telah usai, Johar, sudahilah tatapan manjamu pada langit-langit Lebak ini, mengapa dirimu melakukan hal sia-sia semacam itu, terlalu lama dirimu termenung, Anne tentu akan kubawa menuju Batavia meninggalkan dirimu.”
“Apa yang kamu bicarakan, Tuan Sawirjo, akankah dirimu membawaku menuju Bataiva, pada rumah bordil milikmu? Atau akankah aku menjadi pacar keduamu? Tindakanmu amatlah tidak mencerminkan seorang Inlander intelek wahai Tuan, seorang wanita Indo ini amat takut dengan tingkahmu,” ujar Anne yang tiba-tiba datang menuju pada teras depan membawa dau gelas kopi, tentu dengan satu kopi yang tak diberi gula oleh Anne —kuharap Anne tak salah memberikannya pada diriku.
“DIRIMU HANYA SALAH PAHAM, ANNE, MAAFKANLAH DIRIKU, SUMPAH, AKU TAKAN PERNAH MENGULANGINYA LAGI,” teriak Kenthus yang seketika berdiri dan langsung menunduk pada istriku.
“Jadi, dirimu kesini untuk memberikan wejangan untuk suami manisku ini, atau hanya memberikan berbagai olokan untuk diriku,” Anne kembali mengeluarkan berbagai kalimat penuh sindiran miliknya, yang bahkan aku pun tak dapat hadapi —apalagi seorang Kenthus yang tak pernah berhadapan dengan Anne tiap hari. Aku disana sedikit tertawa dalam hati sebab kejadian itu, aku tak berani tertawa lepas sebab situasinya akan cair. Aku tak ingin situasi canggung ini kembali menjadi cair dalam waktu singkat, sebab diriku meninginkan Kenthus malu pada istriku pula pada diriku.
Lagi, Kenthus seakan ingin membenarkan suasana canggung ini membela dirinya, “Maafkan aku, Anne, aku tak pernah bermaksud apapun pada dirimu, lagipula aku menghargai Johar sebagai suamimu, dan candaan itu untuk Johar yang telah menjadi kawanku dan paham dengan candaan kepunyaanku, b-b-bukan untuk dirimu, Anne, benar bukan Johar?”
“Aku tak merasa demikian, bukankah dirimu berkata bahwa semua perkataanmu mengarah pada Anne?” aku berujar retoris demi memojokan Kenthus yang makin tertekan dalam suasana aneh ini.
Kenthus kembali lagi duduk dengan sedikit kesal dan masih merasa canggung, “Ayolah, Bung, dirimu pula Anne, aku menyerah pada situasi ini, aku benar-benar meminta maaf.”
“Baiklah, Tuan Sawirjo, aku menunggu tantanganmu pada hari-hari selanjutnya, semoga dirimu tak pernah kapok datang pada gubuk kecil kami yang tak mampu dibandingkan dengan rumah bordil kelas atas milikmu itu,” ujar Anne mengakhiri segala yang terjadi tadi sembari undur diri kembali ke dalam rumah.
“Sialan, Anne masih pula berbahaya hingga sekarang, dirimu benar-benar beruntung punya nyonya sesempurna dirinya,” Kenthus berkata lirih padaku dengan nafas yang telah agak lega sekarang, “Sudah indah parasnya, akalnya dipenuhi segala hal-hal teoritis berat, ia lulusan AMS pula, kata-kata yang ia ucapkan juga amat membahayakan lawan bicaranya, sial, aku tak tahu kalian akan membesarkan seberbahaya apa pada masa mendatang, seorang ibu seperti Anne dan ayah seperti Johar.
Telah usai Kenthus berkata-kata panjang lebar mengenai keluargaku. Kertas yang masih digenggam Kenthus kulihat sekali lagi, sepertinya ada beberapa coretan yang menghiasi lembaran itu. Sial, apa ia benar-benar serius mengoreksi pasal di dalamnya? Berkembang seberapa jauh brengs*k ini kala aku tak bersamanya lagi, hingga ia menjadi paham dengan segala tetek bengek penulisan sekarang. Coretan yang ia berikan cukup banyak pula, menandakan bahwa memang lembaran ini tak cukup baik untuk diriku tanda tangani. Keputusan tepat, aku tak langsung mengirim balik kiriman dari utusan pemuda Bajah ini.
“Bagaimana, Thus, tentang segala yang dirimu baca dalam lembar itu?” tanyaku mengalihkan topik pembicaraan dari Kenthus yang mulai mirip seperti para aktivis yang akhir-akhir ini kerap sekali menjilat pemerintahan Nippon demi mengemis satu momen kemerdekaan untuk republik yang baru.
“Lembaran ini sangatlah busuk, aku menjadi sedikit kesal dengan diriku sendiri selepas membaca pasal dalam kertas ini,” ujar Kenthus dengan wajah sedikit jengkel pada diriku, “Bagaimana bisa, aku meneruskan pesan dari orang se-tak jelas dirinya pada dirimu, bernasib baik aku sebab diriku tak mendukungnya untuk bertemu denganmu, sebab dirimu pasti akan sedikit tergali oleh pemerintahan Hindia, pula oleh Jepang.”
“Sebenarnya siapa yang menghubungiku selama ini, apakah ia benar-benar seorang pemuda Bajah, atau hanya mengaku sebagai seorang utusan palsu saja?”
“Aku pula tak tahu, dirinya mengaku benar-benar berasal dari Bajah dan kala aku mencoba mencari beberapa kisah mengenai Hussein dari Bajah, yang kutemui hanyalah satu, tak lain adalah Hussein Iljas,” Kenthus menjelaskan pada diriku sangat mendetil hingga aku benar-benar tenggelam dalam penjelasannya, “Latar belakangnya cukup jelas, sebab ia telah bekerja di tambang Bajah semenjak beberapa tahun lalu, sebelum Bajah, banyak yang mengatakan bahwa ia adalah seorang kuli kasar di Batavia, namun, aku sendiri tak pernah melihatnya berkeliaran di pasar, dan kurasa, wajahnya mirip seseorang yang entah siapa.”
“Lantas, sebelum ia datang ke Bajah, apakah para pemuda Bajah telah melakukan banyak pergerakan bawah tanah?”
Kenthus menghela nafas sekali lagi dan melanjutkan penjelasan atas jawabanku, “Aku tak paham sejauh itu, Johar, namun semenjak dirinya datang, pergerakan pemuda Bajah menjadi makin masif dan lebih besar daripada sebelum-sebelumnya, dan menurut beberapa orang yang kerap memberiku berita pada wilayah Banten, pergerakan mereka cukup terorganisir dan penuh perkiraan, tak hanya serampangan layaknya kumppula buruh-buruh kasar lainnya yang mungkin hanya bersekolah di TPA desa mereka.”
“Sial, selama ini aku bukan menghadapi utusan dari Bajah, namun seseorang yang mengutus tiap jiwa di Bajah untuk menjadi lebih visioner dan progresif, betapa berbahayanya Hussein Iljas ini.” ucap diriku pada segala penjelasan yang telah diberikan Kenthus tadi.
“Pada awalnya, aku hanya menginginkan dirimu berkenalan lagi pada kehidupan metropolis agar dirimu tak membusuk bersama keluargamu di Lebak ini, sebab entah bagaimana aku merasa sia-sia bila kalian tinggal pada sudut hampa ini,” jelas Kenthus mengenai mengapa ia di awal mau menjadi penantara antara aku dan Hussein, “Namun, aku pula tak tahu jika yang mereka tawarkan se-berbahaya ini, dan terlihat sekali niat mereka ingin membawamu kembali menjadi bagian dari mereka, kurasa bukan Hussein lah yang menulis lembaran ini, sebab aku dan dirimu, bahkan Anne takan menyadari bahwa dirimu akan menjadi bagian dari mereka jika Hussein yang menulisnya, benar-benar satu kesalahan fatal dari pergerakan dirinya”
Berasal dari mana sebenarnya Hussein ini, mengapa bisa seorang seberbahaya dirinya terjebak dalam kubangan kecil bernama Bajah, bahkan pada pertambangannya. Bagaimana pula bisa, seorang pemuda sepertinya, mampu menggerakan banyak sekali kawula seumurannya yang menderita dan butuh makan untuk membelot dan melakukan banyak aksi aktivisme. Patutlah dia ingin segera kembali menuju Batavia, sebab aku yakin segala akal dan visinya takan pernah maksimal pada daerah se-terpencil Bajah yang bahkan sulit dilewati oleh andong sekalipun. Sial, aku harus berpikir dua kali untuk melangsungkan kontrakku dengan dirinya.
“BWEEHHH… APA INI,” satu teriakan Kenthus mengakhiri segala lamunan dan pikiranku. Sialan itu, apa yang telah ia lakukan hingga berteriak begitu keras. Ah, ternyata ia meminum kopi pahit miliknya, sayang waktunya tak begitu pas hingga aku tak sekalipun tertawa kala itu.
“Sial, selepas tau kopi buatan Anne seburuk ini, aku menjadi tak berharap apaun lagi pada dirinya, sumpah, takan kurebut seorang yang buruk dalam dapur sepertinya dari dirimu,” ucap Kenthus yang bahkan tak tahu lezat dan kenikmatan sebenarnya dari tangan manis pula magis milik Anne.
“Hahahaha, ada-ada saja dirimu ini Kenthus, dan juga berbicara mengenai permasalahan tadi, aku telah menemukan satu hal yang akan kutuliskan pada Hussein, jika tak segera aku tuliskan, aku takut membuat Uceng menunggu,” ujarku pada Kenthus, “Jadi lebih baik dirimu segera berkemas dan pulang menuju Batavia saja dan jangan mengganggu hidupku lagi, namun tak apalah sekali mampir sebab istriku pula telah mengundangmu agar tak bosan menuju pada gubuk kecil ini.”
“Sial, setelah merasakan kopi pahit milik nyonya rumah ini, sekarang aku diusir oleh tuan pemilik rumah ini, mungkin sebentar lagi aku akan dimaki oleh anak kalian berdua,” Kenthus berkeluh pula menyindir diriku, Anne dan juga Dipa, anakku.
Ia akhirnya bergegas pulang sebab ia sebenarnya juga hampir melewatkan jadwal kereta menuju Batavia yang hampir berangkat beberapa menit lagi. Pula, aku meninggalkan teras rumah dan masuk membawa dua kopi yang masih utuh tak tersentuh sama sekali, entah olehku maupun Kenthus —meski ia telah menyeruputnya sedikit untuk merasakan bagaimana pahit kopi Lebak. Kopi Kenthus tentu tak kubuang, hanya diriku tambahkan gula agar tak terlalu pahit. Kapan lagi, dirimu bisa menikmati duduk depan mesin tik menikmati dua gelas kopi asli Lebak yang pahitnya khas amat khas di bibir pula lidah. Tentu, aku akan sedikit pusing sebab bagaimana juga aku tak terlalu toleran pada kopi, dua gelas pun mampu membuat detak jantungku bekerja amat cepat, dan mungkin tulisanku akan sedikit buruk. Kuharap pula, Uceng segera datang pada rumahku agar bebanku segera menghilang.
Kepada,
Tuan Hussein Iljas dari Bajah yang semoga diberkahi oleh Alam seisinya
Anda tentu telah mengenalku, sebab tak ada Johar Komaruddin lain dalam Distrik Lebak. Jadi, tak perlu saya umengenalkan diri lebih lanjut mengenai siapa diri saya, bukannya ingin menjadi seorang yang misterius seperti anda, Bung Hussein. Namun, kukira anda telah terlalu banyak menggali beberapa hal perihal diri saya sendiri. Saya masih berada dalam sitausi nanar pula panik, bagaimana bisa seorang dari Bajah sampai pada Tuan Sawirjo Prawironegoro, bukankah amat tak mampu diduga langkah yang anda ambil.
Pula, saya sedikit berkomentar mengenai surat dan segala tulisan yang anda kirimkan melalui Tuan Sawirjo kemarin. Saya menjadi sedikit teringat dengan Sjahrir, atau mungkin lebih banyak miripnya dengan Bung Tan, meski saya juga tak terlalu mengaharapkan Tuan Hussein kenal dengan Bung Tan, yang sayangnya telah hilang beberapa tahun silam dari Hindia Belanda.
Amat memungkinkan, anda bisa menjadi “mereka” selanjutnya dengan berbagai peluru dan visi progresif yang coba Bung Hussein bawa di Bajah selama ini. Satu yang saya harapkan, jangan sampai menjadi seorang Tan Malaka palsu seperti banyak orang Nippon dan bawahan partai-partai kiri coba lakukan. Juga, tak perlu jauh-jauh menuju Komintern, sebab anda akan sedikit banyaknya kecewa kala mendengarkan ide-ide kiri menjadi busuk di dalam sana.
Membicarakan mengenai apa yang Bung Hussein coba tawarkan ke saya. Namun, sebelum itu, saya mengucapkan terima kasih terlebih dahulu pada Bung Hussein Iljas dari Bajah, sebab tak banyak yang mengenalku dan anda masih berkeyakinan teguh bahwa saya adalah juru selamat anda. Saya pula benar-benar merasa bangga dan sediki tinggi diri kala mendengar ada seorang dari Bajah tahu akan Johar yang berbahaya kala di Bandoeng dahulu. Namun, saya lebih banyak mendapatkan ketakutan sebab saya tak mau banyak kejadian di Bandoeng terulang lagi kala saya “pensiun” di Lebak di usia selepas muda ini.
Pula, saya lebih khawatir akan keluarga saya dibamdingkan diri saya sendiri. Pula, saya telah punya seorang anak di Lebak, maka saya meminta tolong sebesar-besarnya untuk anda, Bung Hussein, bahwa informasi saya bertempat tinggal di Rangkasbitung hanyalah mandek di anda, tak menyebar lebih jauh lagi, sebab saya hanya ingin hidup tenang di Lebak. Saya hanya ingin menjadi seorang Komar yang merupakan supir lepas, bukan Johar yang tulisannya dicecar oleh banyak akal dan pikiran.
Sebab itu, saya memutuskan bahwa diri saya tak bisa menerima tawaran anda menjadi supir kala perjalanan anda menuju Batavia. Jangan salah memahami bahwa uang yang anda berikan tak cukup atau fasilitas yang anda berikan tak memenuhi syarat minimum saya. Namun, saya kira, saya telah lepas dari kehidupan ini dan tak mau lagi secara langsung hadir si tengah-tengah mereka. Saya tak mau menghambat apa yang akan anda perjuangkan di sana nantinya, sebab bila saya menjadi supir anda, kemungkinan saya akan lebih sering melarikan diri dibandingkan mengantarkan anda.
Alasan utama saya yang lain, saya masih mencintai gubuk kecil milik keluarga saya. Nyonya dan tuan muda saya pula amat bahagia dan telah nyaman hidup dalam situasi tentram tak seperti di metropolis-metropolis padat layaknya Batavia ataupun Bandoeng. Saya juga tak mau lagi berjuang demi nama Hindia Belanda, Nippon, atau bahkan saya telah tak peduli dengan ide-ide berbunyi republik. Sebab hidup saya bukan milik Hindia, Nippon, maupun republik, hidup saya adalah milik saya, istri dan anak saya, tak lebih dari itu. Saya bukanlah Johar yang anda kenal keras, saya sekarang hanyalah seorang ayah yang berusaha menghidupi keluarganya melalui cara-cara tak berbahaya. Bahkan, hingga republik selesai didirikan, saya dan keluarga saya akan tetap diam di rumah menanti kabar untuk datang
Bagi Bung Hussein, doa terbaik mengiringi anda selalu saat anda sampai pada Batavia. Ingatlah satu hal, bahwa menyerah pada idealisme itu diperbolehkan dan seringkali dianjurkan oleh keadaan, tak perlu terlalu keras menghadapi mereka yang telah punya kuasa politis di atas sana. Sebab, tak selamanya anda harus menjadi tonggak pertama perjuangan menuju republik. Saya menjadi teringat diskusi Bung Tan mengenai aktivisme kala aku membaca tulis tangan anda, dan Bung Tan masih menggebu-gebu, mungkin hingga sekarang entah dengan nama samaran apa lagi beliau.
Namun, tak perlu menjadi seorang Bung Tan, Sutan Sjahrir, atau lebih parah seorang Sneevliet yang berjalan di dunia hanya demi menuruti idealisme mereka yang berakhir dengan hidup yang entah apa bahagianya sekarang, mungkin akhir hidupnya, mereka hanya melihat moncong senjata atau hilang entah kemana. Lebih baik menjadi diri saya, Johar Komaruddin sekarang, yang hidup menghirup udara segar pagi hari diselingi satu kopi asli Lebak panas serta bermesraan dengan istri pula anak saya. Namun, terserah anda pula ingin memutuskan apa bagi hidup anda, yang pasti akan ada pilihan berat antara anak, istri dan konstituen yang harus anda perjuangkan. Pula, yang paling berat, akankah seorang manusia memilih rumah atau membangun republik sebagai rumah.
Rangkasbitung, 13 Juli 1945 Tertanda,
Johar Komaruddin, seorang supir dari kota Rangkasbitung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar