Oleh : Muh.Syarifudin
Pagi yang indah pada bulan November dengan suara ayam yang seolah-olah membangunkan seorang pria tampan berambut hitam lurus yang biasa di panggil Ahmad. Pagi itu Ahmad terbangun pada pukul 04.30 WIB dan langsung bergegas untuk melaksanakan sholat subuh berjamaah di masjid dekat tempat tinggalnya. Ahmad berjalan menuju masjid yang tidak jauh dari tempat yang sudah di tinggalinya berpuluh-puluh tahun itu. Mata Ahmad tertuju pada jam dinding yang sudah menunjukkan pukul lima tepat yang artinya dia harus bergegas pulang untik siap-siap bekerja. Di jalan menuju rumahnya ia melewati rumah Pak Sarto, yang biasa di juluki sesepuh di kampung tempat Ahmad tinggal.
“Le cah bagus rene sek lo jagongan karo aku.” Ucap Pak Sarto yang meninginkan Ahmad untuk mampir kerumahnya. Sembari berjalan mendekat ke arah Pak Sarto untuk bersalaman, Ahmad mengatakan bahwa ia akan pergi bekerja pada pagi itu.
“Koe ki ngelindur opo kepie to le, iki dino minggu opo iyo awakmu budal kerjo pas dino prei?.” Ahmad yang tertawa kecil dengan muka kebingungan.
“Loh nopo nggih pak? Nopo kula sing dereng sadar niki dinten minggu.” Jawab Ahmad. Pak Sarto menggelengkan kepala sambil mempersilakan Ahmad untuk duduk di kursi depannya.
“Nduk… Aisyah gawekke kopi di nggo bapak karo Mas Ahmad iki nduk.” Perintah Pak Sarto kepada anak perempuannya yang cantik jelita bernama Aisyah.
“Nggih pak.” Jawab Aisyah dengan suara dan nada yang lembut bagikan putri solo. Pak Sarto menanyakan kabar Ahmad dan keluarganya dengan perasaan khawatir karena sedang maraknya penyakit covid-19 yang masih ada di negri kita tercinta ini.
“Alhamdulillah sae pak kula sak kaluarga sampun vaksin ke-tiga niki insyaallah sampun aman.” Ucap Ahmad menenangkan kekhawatiran Pak Sarto. Tidak lama Aisyah datang membawa dua cangkir kopi yang di minta oleh bapak tercintanya.
“Niki pak kopi kangge bapak kaleh mas Ahmad.” Kata Aisyah sembari menaruh dua cangkir kopi di meja tempat Pak Sarto dan Ahmad berbincang-bincang.
“Maturnuwun nggih mba Aisyah.” Ujar Ahmad kepada Aisyah. Aisyah hanya tersenyum dan kembali kedalam rumah.
Tidak ada angin tidak ada hujan Ahmad tiba-tiba mengatakan hal yang membuat Pak Sarto yang mendengar kebingungan dan heran. “Kula penasaran e pak rekasane para pahlawan kangge merdekake negara niki kepiye nggih pak?.” Cletuk Ahmad dengan muka penasaran.
“Koe wes ora usah mikir le, rekoso banget nek dadi pahlawan. Sak mben dino mung eneke nyekel senjata lan delok delokan e getih e uwong sing kenek tembak para sekutu.” Jawab Pak Sarto.
Ahmad terdiam dan tidak ingin melanjutkan berbicara mengenai hal itu dengan Pak Sarto. Tidak terasa matahari sudah terbit dan bersinar terang mengenai wajah tampan Ahmad ternyata waktu sudah menunjukkan pukul 06.30 WIB, sudah satu setengah jam Ahmad berbinjang-bincang dengan Pak Sarto. Ahmad berpamitan kepada Pak Sarto untuk pulang di karenakan hari yang sudah mulai esok dan Pak Sarto juga mempunyai kesibukan untuk menjaga tokonya. Sesampainya di rumah Ahmad membuka pintu dan mengucapkan salam.
“Assalamualaikum, buk kula sampun mantuk.” Ucap Ahmad kepada ibundanya tersayang itu.
“La kok sholat subuh sue men le, koe bar ko ngendi?.” Tanya ibu Ahmad.
“Griyane Pak Sarto buk, ndek wau di ajak ngopi riyin.” Jawabnya. Ibu Ahmad lalu menyuruh Ahmad untuk sarapan dengan makanan yang sudah di masaknya dari jam lima pagi.
Sesudah sarapan pagi Ahmad berniat untuk mandi dan melanjutkan aktifitasnya di hari minggu. Ahmad masih terpikir akan apa yang ia tanyakan kepada Pak Sarto esok tadi. Dia memikirkannya sambil berbaring di kasur empuknya pukul 07.45 WIB. Ahmad terkejut dan akhirnya terbangun karena suara benturan keras dari luar ruangannya, lalu ia bergegas berlari keluar ruangan dan tidak pernah melihat suasana itu sebelumnya. Hari itu, hari yang awalnya sangat cerah dan bahagia berubah menjadi kebingungan dan menegangkan bagi Ahmad. Dia terbangun dan seakan-akan sudah mengenali orang-orang serta lingkungan dimana tidak pernah dia temui di dunia nyata.
Laskar berdatangan dari arah stasiun Karawang. Ia mendengar orang-orang berbicara mengenai peristiwa besar. Raden Soejono dari Purwakarta, akan memimpin upacara penurunan kekaisaran jepang di Fegas. Dan malam sebelumnya Bung Karno serta Bung Hatta sudah tiba disana. Ahmad seperti sudah tidak asing mengenai hal ini, ia menjadi seorang pejuang pada zaman itu. Pada masa itu Ahmad tertidur di warung nasi di seberang stasiun, dengan memeluk senapan miliknya menunggu tumpangan ke Fegas. Bersama enam orang pejuang lainnya. Sekian lamanya mereka menunggu habis sudah kesabaran para pemuda hebat itu. Mereka memutuskan untuk berjalan kaki kea rah Tanjung Pura. Kemudian menumpang truk pengangkut limbah sayuran untuk pakan ternak ke daerah Sedari., dan berencana turun di Fegas. Meski belum saling mengenal, mereka sadar sedang berjuang untuk Bangsa Indonesia. Bangsa yang tidak memandang agama, ras, dan golongan. Begitulah kata orang-orang yang mendengar pidato Bung Karno di Jakarta.
“Kalian harus tau, Dai Nippon sudah kalah perang lawan sekutu. Tanah air mereka berantakan.” Ucap salah satu pejuang.
“Berarti hari ini kita merdeka?” jawab Ahmad dengan spontan, ia masih sedikit kebingungan dengan semua hal baru di kota yang asing baginya itu.
“Kamu belum melihat? Di sekitaranmu sudah berkibar bendera merah putih!.” Jawab seoarang pejuang yang bercita-cita untuk memerdekakan Indonesia.
Ahmad lansung menorah keluar truk, dan benar saja rumah rumah disitu sudah mengibarkan bendera merah putih kebanggan rakyat Indonesia. Hari itu menjadi sangat berkesan bagi Ahmad dan tidak akan pernah ia lupakan.
“Berarti besok para sekutu sudah pergi kang?.” Tanyaku kepada seorang anggota pejuang kemerdekaan yang berada di depanku sambal tersenyum lebar melihat keluar truk. “belum tentu, pasti orang-orang kulit putih bakan datang lagi.” Jawab salah satu dari keenam pejuang di sampingku.
“Aku sedang membayangkan kehidupan kita sebelum tentara Nippon menyerang. Status sosial di pilih berdasarkan jumlah uang, warna kulit dan bahkan warna darah. Lapisam orang terbawah itu adalah aku. Hanyalah seorang jelata dan pesuruh. Kukira saat Nippon mengusir Belanda, mereka berniat untuk membebasan kita dari penjajahan Eropa. Tapi nyatanya tidak, malah tambah buruk dan lebih menderita.” Ucap salah seorang pejuang bernama Adi yang terlihat begitu sedih menceritakan kisah-kisah itu.
Ya dan akhirnya Ahmad mulai mengenal para orang-orang hebat yang berada di tempat yang sama dimana Ahmad memijakkan kakinya. Ahmad berusaha menghafal nama-nama mereka sembari seorang pejuang lainnya menanyakan nama satu sama lain. Di perjalanan itu mereka bercerita tentang bagaimana mereka hidup di jaman penyerangan sekutu.
“pakaian terbagus yang kumiliki pada zaman jepang menyerang adalah baju yang terbuat dari karung goni dan celana sobek-sobek.”
“jika orang-orang Belanda mengambil paksa lading serta tanah milik kita. Maka Jepang akan menuasainya untuk bekal perang mereka di Pasifik.”
“Aku tidak akan sudi! Kita bakal bisa berdiri sendiri!” Ahmad berteriak mendengar kisah-kisah kelam para teman perjuangannya itu. Sedangkan mereka tertawa melihat tingkah Ahmad yang seperti orang ketakutan.
Detik demi detik berlalu mereka sampai pada tujuan dengan selamat dan perasaan gembira. Mereka menuruni truk dengan semangat. Teriakan “MERDEKA!” menggema di berbagai sudut pelosok kota yang indah. Dan mereka pun berpisah setelah menghadiri upacara penurunan bendera kekaisaran Jepang selesai. Hari itu, sebelum teks proklamasi dibacakan Bung Karno di Jakarta, dengan sukacita menyambut perayaan kemerdekaan Indonesia di Fegas. Seolah-olah kemudian hari akan lebih cerah dari pada hari sebelumnya. Ahmad menghampiri salah seorang lelaki berpikir dia bisa menjual senapan miliknya yang didapat dari salah satu dari keenam pejuang temannya tadi. Uangnya bisa untuk modal pikirnya.
“Simpan senapan itu kang, bergabunglah bersama para tentara. Kita masih akan memperjuangkan Bangsa kita tercinta ini!.” Jawabnya kepada Ahmad.
Ahmad semakin kebingungan mendengar jawaban laki-laki itu. “Apakah kita belum merdeka? Bukankah bendera merah putih sudah berkibar? Mengapa orang-orang masih khawatir? Benarkah Belanda akan kembali menyerang negri ini?.” Gumam Ahmad dalam hati, dengan perasaan bingung.
Malam itu, malam sebelum proklamasi terdengar di radio. Tapi Ahmad sudah duluan menrayakan kemerdekaan Indonesia, meski para sekutu masih berkeliling melakukan patrol. Namun sekarang rakyat lebih berani melakukan perlawanan.
Ahmad berjaga sembari berkeliling mengamankan sudut kota, dan saat itu ia bertemu dengan gadis yang sangat cantik yang tidak asing baginya. Aisyah, gadis yang ia temui di rumah Pak Sarto yang tidak lain adalah anak dari Pak Sarto. Dia mengampirinya di depan rumahnya sambil membawa panci dengan ketakutan. Ahmad bertanya mengapa ia terlihat begitu panik, Aisyah menjawab bahwa ia sedang menjaga rumahnya dari ancaman sekutu.
Ahmad seketika tertawa “Hanya dengan panci apakah seekor ayam akan mati?.” Katanya. Aisyah hanya menahan malu.
“Hanya ini yang ku punya.” Ujarnya.
“Tidak perlu khawatir kami para pejuang akan selalu berkeliling dan mengamankan jika sewaktu-waktu ada sekutu datang menyerang.” Ucap Ahmad mencoba menenangkan Aisyah.
Ahmad kian bertanya nama seorang gadis itu, “Apakah namamu Aisyah ?.”
“Hah bagaimana anda tau! Kamu menguntit ya!.” Jawab Aisyah panik.
Ahmad mencoba menjelaskan bahwasanya ia hanya menebak dan tidak memiliki niat buruk untuk menyakiti Aisyah. Aisyah mencoba percaya dan menanyakan nama pemuda yang tiba-tiba menghampirinya itu. Malam itu Ahmad merasa sangat berbeda. “Apakah aku jatuh cinta dengan Aisyah?.” Ucapnya dalam hati. Setelah berkenalan Ahmad melanjutkan patrolinya hingga mantahari terbit. Jika sudah di rasa aman ia akan pulang ke penginapan dan melanjutkan kegiatannya.
Teman-teman pejuangnya mengajak Ahmad pergi ke Surabaya. Katanya para sekutu sudah sampai disana dan akan membebaskan tawanan orang Belanda. Mererka berangkat menggunakan kereta sampai di Surabaya. Hari itu Ahmad terjebak di tengah peperangan melawan Belanda. Dua tank baja berhenti terkena geranat milik Indonesia. Ternyata bukan hanya orang berkulit putih yang kami serang melainkan ada tentara asing ikut datang menyerang. Mereka akhirnya mundur ke utara, bergabung Bersama lautan pejuang yang siap mati syahid.
Proklamasi yang dibacakan Bung Karno masih tertanam di dalam dada para pejuang. Pidato Bung Tomo masih berdengung di telinga Ahmad. Hingga tahun berganti, tentara-tentara Belanda masih berada di dalam negri ini. Mereka kian kokohnya.
“Kita masih akan berjuang!” kata-kata itu muncul kembali.
Ahmad menolak bergabung dengan tentara republik. Dan memilih bertahan dengan pejuang lokal untuk berjuang melawan sekutu. Malam itu Ahmad pergi ke Bungaran. Menenteng senjata wasiat dari zaman Jepang. Dijelangnya pertempuran di sepanjang jalan tempat dia memijakkan kaki. membuat panik dan memotong jalan tentara sekutu yang mengular menuju Bandung.
Kereta membawa mereka para pejuang melintasi Bandung yang sudah menjadi lautan api. Sorakan penduduk dan pejuang menyanyikan “Halo-halo Bandung” menggema di lubuk hati.
“Dahulu, kami berjuang mengangkat senjata, bukan untuk dikenang sebatas piagam dan tanda jasa. Bukan juga karena adanya hasrat membunuh dan berperang dalam diri kami.” Seorang Tentara Nasional Indonesia berbicara kepada Ahmad yang sedang duduk di dalam kereta api.
“Lebih dari itu. Harga diri dan hak untuk merdeka yang di perjuangkan, bernilai kesetaraan untuk duduk sama rendah, dan berdiri sama tinggi dengan bangsa-bangsa lain di seluruh dunia.”
“Kalian tidak perlu malu lagi karena Bangsa kita sudah tidak di pandang rendah oleh Bangsa lain. Tidak lagi minder karena pakaian hanya dari karung goni.” Tambahnya.
Malam sebelum proklamasi. Ahmad masih diingatkan untuk berjuang. Kembalinya kekampung, mereka menyeduh kopi bersama dengan teman seperjuangannya walaupun salah seorang dari mereka telah terbujur kaku di medam peperangan. Setidaknya pengorbanan mereka tidak sia-sia dalam memerdekakan Indonesia.
Ahmad berteriak kencang “MERDEKA!!!!.” Spontan ibunya kaget mendengar teriakan anak sematawayangnya itu. Ibu Ahmad lantas berlari ke kamar Ahmad dengan ketakutan dan kebingungan. “Opo le?? Enek opo? Tanya ibunya yang ketakutan. Ahnmad terbangun dengan kaget dan langsung berdiri menghadap ibunya. Ahmad memeluk ibunya dengan mengucapkan “Merdeka buk, perjuangan kula mboten sio sio.” Ibu Ahmad tentunya tambah kebingungan mendengar perkataan anaknya itu. Sang ibu yang sudah mengetahui bahwa anaknya sedang bermimpi langsung menyuruhnya duduk dan membuatkannya teh panas.
“Nyoh di ombe disik lagi awakmu cerito perjuangan opo sing mbok maksud.” Ucap ibu Ahmad mulai mengerti keadaan anaknya itu.
“Niki buk kula sampun ngertos pripun rasane tumut berjuang ngge kemerdekaan Indonesia. Kula saget ngrasakke susah e para pahlawan merangi sekutu.” Jawab Ahmad dengan bersemangat menceritakan kisahnya yang tidak nyata tersebut.
Banyak kalimat yang Ahmad ucapkan pada ibunya dengan bersemangat dan kadang teringat teman-temannya yang gugur dalam medan perang lalu ia menangis. Ibunya mencoba menenangkannya dengan perkataan yang lembut bahwa mereka akan mati dengan meninggalkan jasa dan akan di hadiahkan syurga oleh tuhan. Ahmad sedikit tenang mendengar perkataan ibunya tersebut.
“Mimpi itu begitu nyata dan dapat dirasakan. Aku juga bisa merasakan bahwa aku mulai mencintai Aisyah.” Ahmad berkata didalam hati.
Pagi keesokan harinya Ahmad berencana untuk jujur kepada ibunya bahwa ia menemui Aisyah dalam mimpinya dan ia merasa tidak ingin kehilangan Aisyah.
“Buk kula bade matur. Kula seneng Aisyah, kula angsal minang Aisyah mboten buk?. Kula bade nyuwun izin ibuk.” Ucap Ahmad kepada ibunya berharap ibunya menyetujui keinginannya tersebut.
“Le, ibuk kui ora bakal ngelarang opo wae karepmu asal kui niatan becik. Opo meneh koe pengen minang Aisyah, ibuk setuju banget le Aisyah kui wong apik.” Jawab ibu Ahmad dengan bahagia.
Ahmad sangat gembira mendengar jawaban ibunya itu dan bergegas menyiapkan keperluan untuk melamar Aisyah. Di tentukan hari yang cocok untuk melamar belahan jiwanya itu. Tanpa basa-basi Ahmad pergi ke rumah Aisyah dengan hati yang gembira. Pak Sarto mendengar maksud Ahmad datang sangat gembira. Karena dari awal memang Ahmad lah pilihan Pak Sarto untuk putri tercintanya.
Mereka akhirnya menuju pelaminan pada bulan Februari, tiga bulan dari hari itu. Ahmad menceritakan bagaimana mimpinya berjuang melawan penjajan dan di malam dia menemukan Aisyah di dalam mimpinya. Aisyah terharu dan malam itu menjadi malam yang indah bagi mereka berdua.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar