Cintanya untuk Tanah Air - PenaSella.com

Welcome To PenaSella.com

Selamat datang di PenaSella.com, Mari Membangun Literasi dan Memperkuat Nasionalisme bersama PenasSella.com

Kamis, 31 Oktober 2024

Cintanya untuk Tanah Air

 Oleh : Marsya Aurelia Putri




Suatu ketika, setelah pertempuran besar di sisi lain benua, musuh kembali ke kota dengan kekuatan penuh. Lebih besar, lebih menakutkan. Seorang jenderal militer musuh dengan arogan memerintahkan penyerahan semua senjata di tangan penduduk. Warga tentu saja keberatan dengan kesewenang-wenangan itu, sehingga terjadi perlawanan. Apakah kekuatan musuh lebih kuat. Mereka memiliki senjata berat, pembom, tank, mortir, mereka bukan tandingan penduduk kota yang hanya memiliki senapan ringan atau senjata tangan.

Namaku adalah Aina, aku lahir di Kota Bandung. Kampung halamanku adalah kota yang menurutku indah, namun sekarang tidak lagi indah. semenjak penjajah datang, keindahan kampung halaman ku sirna. Aku tidak ingin banyak hal terjadi setelah mereka ada di sini. Aku hanyalah seorang remaja berusia 17 tahun. Rambut lurus, kulit putih. Selama ini belum ada sekolah, hanya orang kaya dan bangsawan Jepang yang bisa menikmati indahnya bersekolah. Aku hanya memiliki 1 kakak laki-laki yaitu kak Toha. Kak toha, dia baik kepada ku. Aku sebenarnya hanyalah orang asing, lebih tepat nya adik tiri kak toha. walau begitu kakakku sangat menyayangiku seperti saudara kandungnya sendiri. Setelah dilahirkan, aku ditinggalkan dan dibedong di bawah semak berduri di sebuah taman. Tangisan bayi yang baru lahir menarik perhatian kakek yang saat itu sedang lewat taman tersebut. kakek mendengar tangisannya yang pelan, awalnya kakek mengira suara itu berasal dari seekor anak ayam. Namun, karena kebisingan terus datang, kakek memutuskan untuk menyelidikinya. Saat kakek mendekati suara itu, kakek menemukan bayi di semak-semak, masih membiru dan hampir mati. Kakek kemudian bertindak cepat, memotong tali pusar dengan pisau dan membungkusnya dengan baju agar aku tetap hangat. Kakek membawa aku ke rumah sakit terdekat. Aku dirawat di rumah sakit, tetapi dokter ragu bahwa aku akan selamat karena kedinginan. Tapi ternyata aku selamat dari krisis dan diadopsi oleh nenek dan kakek. Mereka menamaiku Aina dan membawanya kembali ke rumah. Berkat kakek aku jadi memiliki kesempatan untuk hidup, aku sangat berterimakasih kepadanya.

Kakakku Mohammad Toha lahir pada tahun 1927 di Jalan Banceuy, Desa Suniaraja, Bandung. Dia adalah anak dari Sugando dan Nariah yang berasal dari Kedunghalang, Bogor Utara, Bogor. Ayahnya meninggal ketika kakak baru berusia dua tahun. Ibunya kemudian menikah dengan adik ayah, Sugarndi. Namun, tidak lama kemudian keduanya cerai. Sejak bercerai, kakak kemudian diasuh oleh nenek dan kakek, yaitu Jahiri dan Oneng. Tetapi kini kami hanya tinggal berdua saja karena nenek dan kakek telah tiada pada saat kak Toha masih berusia 10 tahun. Pada usia tujuh tahun, kak Toha mulai bersekolah di sekolah Volk (sekolah rakyat). Dia bersekolah dari usia 7 tahun sampai kelas 4 SD. Meski saat pecahnya Perang Dunia Kedua, sekolahnya harus ditinggalkan. Selain menjadi montir sepeda motor, ia juga belajar sebagai montir mobil dan kemudian bekerja di bengkel kendaraan militer Jepang. Berkat ini, dia menjadi fasih berbahasa Jepang. Setelah Indonesia merdeka, kak Toha menjadi anggota Barisan Rakyat Indonesia (BRI), kelompok militan yang dipimpin oleh pamanku, Ben Alamsyah. Badan perjuangan ini kemudian bergabung dengan badan perjuangan lain, yang membentuk Barisan Banteng Rakyat Indonesia (BBRI). Di BBRI, kak Toha menjabat sebagai Panglima Divisi I Divisi Tempur. Selama pendudukan Jepang di Indonesia, Kak Toha adalah seorang yang sangat aktif. 

Pagi hari yang cerah dan berawan, aku duduk di teras rumahku, menatap langit langit sembari menikmati hawa sejuk di pagi hari itu membuat ku terjatuh dalam lamunan. Entah suatu apa yang terbayang di pikiranku, mataku terpaku pada wujud yang tak asing lagi dalam hidupku. Ia adalah kakakku, raut wajahnya mengingatkanku akan perhatian dan kasih sayang sosok ayah. Dengan pandangan yang hangat ia tersenyum padaku.

“Sedang apa disini dik?” kakakku bertanya dengan suara yang telah berat.

“Oh..., Aku hanya melihat lihat saja kak, Kakak kenapa kesini?” tanyaku. Dengan suara yang lembut kakakku menjawab, “Tidak apa apa dik, hanya mencarimu"

Aku dan Kak Toha sendirian di rumah kami yang sederhana dan terlihat sepi dan membosankan tanpa ada orang yang kami sayangi. Nenek dan kakek meninggal saat kami masih kecil. Saat itu, Kak Toha berjanji pada dirinya sendiri bahwa dia akan menjaga dan melindungiku, seperti apa yang diyakininya. Meskipun aku kesepian tanpa ibu dan ayah, kakak berusaha menjadi ibu dan ayah yang baik untukku. Pikiranku terhenti saat Kak Toha mengajakku ke meja makan. Akhir-akhir ini aku banyak bermimpi, mengenang kejadian masa lalu yang seharusnya telah berlalu.

Hidangan panas disajikan di meja makan. Kak Toha dan aku menikmati makanannya meski seadanya. Di tengah keheningan, kakakku berbicara "Dik, kakak diberi surat tentang perebutan senjata jepang.” Sambil menyodorkan surat kepadaku.

Mendengar apa yang baru saja dikatakan Kak Toha, aku tidak bisa menahan air mata yang mengalir di kelopak mataku. Angin sepertinya berhenti bertiup, mulutku tertutup rapat dan aku tidak bisa berkata apa-apa. Entah kenapa aku menangis, ada apa dengan kata-kata Kak Toha, aku tahu dia adalah seorang pejuang sekaligus komandan Barisan Rakyat Indonesia. Namun, hatiku melarang Kak Toha untuk pergi. Aku merasa jika kakakku akan pergi jauh meninggalkanku.

“Aina, Kenapa dik, kamu baik baik saja?”, tanya Kak Toha

“Kakak tidak perlu berperang, lebih baik kita tinggalkan kota Bandung.” Jelasku kepada kakakku. “Kenapa dik, kamu tidak biasanya seperti itu,” tanya Kak Toha lagi. Dia sepertinya tidak percaya dengan apa yang baru saja aku katakan. Sungguh, ini pertama kalinya aku menyangkal kakakku. Biasanya aku selalu mendukung kakakku dari belakang, tidak peduli apa yang dia katakan.

Dengan wajah khawatir, aku menjawab “Aina khawatir kakak tidak akan kembali ke rumah ini. Cukup bagiku untuk kehilangan ibu dan ayah saja kak, aku tidak ingin kehilangan kakak juga.”

Setelah lama terdiam, Kak Toha mulai berbicara “Aina, Kakak tahu kamu khawatir, tapi ini adalah tugas yang dipercayakan kepada kakak. Kak Toha harus melakukan ini untuk negara kita, kota kita Bandung ini,” kata kakakku tegas. Aku tidak bisa berkata apa-apa lagi, keputusan kakak sudah bulat, hanya air mata yang mengalir di pipiku. Aku hanya berharap Kak Toha dapat kembali dengan selamat, Aku berdoa semoga dia berhasil menyelesaikan misinya.

Pada sore hari tanggal 17 Oktober 1945, pasukan sekutu mendarat di kota Bandung. Kakakku sudah pergi dari pagi hari untuk melaksanakan tugasnya. Sebulan telah berlalu sejak sekutu tiba di kota Bandung. Kakakku telah melaksanakan tugasnya selama sebulan hingga sekarang. Aku merasa kesepian dan hampa tinggal dirumah sendirian. 

Pada tanggal 21 November 1945, sekutu memberikan ultimatum kepada penduduk untuk meninggalkan kota Bandung dengan alasan keamanan selambat-lambatnya tanggal 29 November 1945. Setelah mendengar hal tersebut dari kakakku, aku bertanya, “Kak Toha, apakah kita akan pergi dari kota Bandung?” Aku bertanya. “Tidak, Aina, Kakak dan pejuang lainnya sepakat untuk tidak meninggalkan kota Bandung, kami akan berjuang.” jawab kakakku “Kalau itu keputusan kakak, tidak masalah. Aina hanya ingin kakak selamat dan pulang,” pintaku pada Kak Toha. 

Sekutu sangat marah karena ultimatum mereka tidak diindahkan. Pertempuran antara sekutu dan pejuang Bandung pun tak terelakkan. Itu terjadi selama beberapa bulan. Sejak itu terjadi bentrokan senjata berulang kali dengan pasukan Sekutu. Kota Bandung terbagi menjadi dua bagian, Bandung Utara dan Bandung Selatan. Karena kekurangan senjata, pasukan TKR dan pejuang lainnya tidak mampu mempertahankan Bandung Utara. Akhirnya sekutu menduduki Bandung Utara. Aku menantikan kembalinya kakakku disertai dengan rasa khawatir dan cemas. Mengetahui hal ini, Aku akan dengan tegas melarang kakakku untuk ikut serta dalam pertempuran ini. Tapi apa daya, aku hanya bisa menangis dan menangis tanpa tahu harus berbuat apa.

Anehnya kota Bandung sepi sampai tanggal 23 Maret 1946, ketika aku keluar di pagi hari untuk membeli sayur. Saya menengok ke kiri dan ke kanan dan terlihat kosong, pagi ini para warga sedang sibuk di rumah masing-masing. Aku melihat seorang tentara Indonesia berbicara dengan seorang lelaki tua yang tampaknya bertanya apa yang terjadi hari ini, aku pun tidak tahu apa yang terjadi hari ini. Hari ini tentara Indonesia dalam jumlah yang luar biasa berjaga-jaga sementara tidak ada tentara Jepang yang terlihat. Aku pikir sepertinya mereka sudah pergi, tetapi entah bagaimana aku tidak yakin. Aku berjalan mengelilingi rumah, melihat orang tua dan anak-anak sibuk sekali dengan sesuatu yang aku tidak mengerti, dan aku pun mendekati tentara Indonesia yang aku lihat tadi sedang berbicara dengan lelaki tua.

“Pak, kenapa kota ini sepi sekali?” tanyaku heran dan menatap tentara Indonesia yang kekar itu.

“7 jam ke depan hari ini orang tua sibuk mempersiapkan bumi hangus,” kata tentara Indonesia yang masih berjaga itu.

"Apa itu bumi hangus?” tanyaku. Tentara itu tidak menjawab pertanyaan terakhirku, aku pulang ke rumah bertanya-tanya bahwa aku akan melindungi diriku sendiri dari apa itu Bumi Hangus.

Pada 23 Maret 1946, Sekutu mengeluarkan ultimatum kedua. Mereka menuntut agar seluruh penduduk dan pejuang Tentara Keamanan Rakyat (TKR) segera meninggalkan Kota Bandung Selatan. Namun ultimatum ini sekali lagi diabaikan oleh para pejuang. Akibatnya, masyarakat dievakuasi ke luar Kota Bandung. Untuk menghormati politik dan keamanan publik, pemerintah memerintahkan TRI dan ekstremis lainnya untuk mundur dan mengevakuasi Bandung selatan. Setelah negosiasi, para pejuang setuju untuk mengikuti instruksi pemerintah. Namun mereka tidak mau menyerahkan sepenuhnya kota Bandung selatan. Di tengah pertempuran melawan tentara NICA dan sekutunya, kak Toha pernah bertemu dengan Pak Machdar. Namun, Pak Machdar tidak dapat mengingat lokasi persis tempat pertemuannya dengan kak Toha. Ketika itu Pak Machdar tengah berada di daerah tersembunyi di wilayah barat, tetapi tidak sengaja bertemu kakak. Dalam pertemuan singkat tersebut, mereka menanyakan tentang status bangsal masing-masing. Baik Pak Machdar dan kakak adalah pemimpin pasukan. Pak Machdar berada di bagian barat Bandung sedangkan kak Toha berada di bagian selatan Bandung.

Dalam pertemuan tersebut, kak Toha menyampaikan pesan ke Pak Machdar. "Tetap bekerja. Berhati-hatilah di dekat Bandung Barat. Lakukan yang terbaik,” Pak Machdar juga mengatakan hal yang sama. Dia mengatakan hal yang sama kepada kak Toha. “Kamu juga jaga wilayah Bandung Selatan dengan baik,” kata Pak Machdar kepada kak Toha. Namun ternyata pertemuan tersebut merupakan pertemuan terakhir antara Pak Machdar dan kak Toha.

Sejak tanggal 24 Januari 1946, TKR telah berganti nama menjadi TRI. Pertempuran berlanjut hingga 24 Maret 1946. Aku keluar dari rumah dan melihat suasana semakin ricuh. Kemudian aku kembali ke rumah dan melihat pintu rumah terbuka, seingatku aku tidak lupa mengunci rumah, ketika aku masuk, ternyata pintu rumah dibuka oleh kakakku yang baru kembali setelah tidak berada dirumah selama berbulan-bulan. Aku langsung memeluknya dan betapa bahagianya aku melihat kakakku kembali, semua ketakutanku langsung sirna. "Kakak, Aina sangat merindukanmu kak, apakah kamu baik-baik saja selama ini?" Aku bertanya. "kakak juga sangat merindukan Aina, kakak baik-baik saja, buktinya kakak pulang dengan selamat" kata kakakku sambil duduk di kursi.

Aku mendengarkan radio tua, radio peninggalan kakek, suaranya tidak jelas, tiba-tiba aku mendengar "Ultimatum Tentara Indonesia, tinggalkan kota dan bumi hanguskan rumah rumah serta harta benda mereka sendiri serta markas tentara Jepang", aku teringat kata-kata tentara itu. "Apa? Bumi hangus?" kataku kaget mendengar radio tadi. Aku pikir negara akan terbakar karena Jepang, tapi tiba-tiba kakakku berkata “Aina… adikku, kita akan membumihanguskan kota Bandung hari ini. Kamu harus pergi sebelum hal itu terjadi” pintanya sambil memelukku erat. “Bagaimana dengan kakak?” aku bertanya sambal memeluknya. Dia menjawab dengan lembut, “Pergi duluan ya Aina, kakak tidak bisa ikut kamu.” Aku tidak terlalu memikirkan kata-kata kak Toha dan segera menjawab, "Oke, tapi kakak harus menyusul nanti ya," pintaku. "Iya, Aina" jawabnya. Bandung yang sengaja ditinggalkan dan dibumihanguskan habis oleh tentara dan rakyat setelah berkali-kali mengabaikan ultimatum Belanda karena ini dilakukan agar pasukan Sekutu dan NICA (Belanda) tidak mengambil alih wilayah Bandung.

Setelah memelukku, dia pamit dan mengucapkan selamat tinggal kepadaku. Aku bersiap untuk pergi, aku meninggalkan semua kenanganku di rumah ini. Setelah aku membakar rumah kami, aku segera meninggalkan kota Bandung. Hanya beberapa langkah lagi, hatiku belum tenang untuk meninggalkan kota ini, aku merasa ada yang tidak beres dalam pikiranku. Tapi aku tidak peduli, dan terus melangkah maju.

Semuanya dimuat ke truk dan rumah kosong tanpa ada yang tinggal di dalamnya. Aku melihat tentara membakar semua rumah kami. Aku mendengar ledakan dan jeritan bayi. Truk tersebut bersama dengan pejuang kemerdekaan lainnya melakukan perjalanan ke selatan dan melarikan diri dari kota Bandung. Di setiap jalan aku melihat api besar menyala nyala yang menghanguskan kota ini.

Aku di beritahu pada 11 Juli 1946, kak Toha, bersama dengan pejuang kelompok Hizbullah, berpartisipasi dalam serangan terhadap tempat pembuangan mesiu Sekutu di Dayeuhkolot. Selama operasi, kak Toha tertembak, dan agar tidak menyalahkan rekan-rekannya, dia meledakkan dirinya dengan granat beserta persediaan mesiu. Yang mengejutkanku, orang yang mengorbankan nyawanya untuk membumihanguskan kota Bandung adalah kakakku dan temannya Ramdan. Kak Toha meledakkan depot amunisi yang berisi 1.100 ton mesiu dan senjata menyebabkan ledakan besar, mereka tidak dapat melarikan diri karena dengan kondisi yang terkluka parah oleh tembakan musuh kemudian merenggut nyawanya. Aku mendengarnya hanya beberapa jam setelah kehancuran kota Bandung. Hatiku langsung hancur seperti ditusuk ribuan jarum. Aku tidak bisa menahan air mataku saat dan memanggil manggil nama kakakku. Aku tidak menyangka bahwa hari ini akan menjadi pertemuan terakhirku dengan kakakku. Tapi apa, nasi sudah menjadi bubur. 

Apa yang ia lakukan merupakan pengorbanan besar yang tidak dapat dilakukan oleh orang lain, maka dibuatlah Monumen Mohammad Toha di Kecamatan Dayeuh Kolot Kabupaten Bandung untuk merayakan pengabdiannya. Bahkan, namanya dijadikan nama salah satu jalan terpanjang di Bandung. Satu hal yang aku ketahui adalah bahwa kakakku ingin memberikan hidupnya untuk kota dan tanah yang dicintainya. Aku bangga karena apa yang diinginkannya terpenuhi. Aku akan mengingat peristiwa ini selama sisa hidup ku. Peristiwa Maret 1946, saat itu tercatat dalam sejarah yang mengharukan. 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar