Oleh : Wahyu Yudhistira
Di hari yang cerah, Tepat pada 9 November 2021 ini aku bermain sebuah game yang terinstal di ponsel modern saya. Tak lama bermain game kemudian notifikasi pemberitahuan muncul dari telepon genggamku, isi dari pesan tersebut ialah sebuah whatsaap yaitu pengumuman akan diadakan upacara bendera. Aku berusaha mengingat ada apakah besok, tak memerlukan waktu lama, Tiba-tiba ibu menghampiri aku dan menanyakan.
“Diann, kamu sudah ada kabar bahwa besok upacara disekolah belum?’’, Akupun diam sejenak memikirkan hal apa yang akan diperingati besok hari, ‘’Hah??, Memang sudah ada kabar buk, Tetapi dian binggung bahwa besok upacara untuk memperingati apa kan besok juga bukan jadwalnya upacara, Bukan hari senin juga kok buk?’’. Ucapku sambil kebinggungan memikirkan hal tersebut. ‘’Besok kan hari Pahlawan dian, Kamu sih main ponsel terus sampe lupa jasa-jasa pahlawan kita yang gugur mendahului kita’’. Kata ibu sambil bejalan ke arah kamar.Hah, ternyata besok adalah hari yang penting bagi negaraku. 10 November, Hari pahlawan. Bagaimana bisa aku tidak menyadari ini padahal banyak sekali jasa yang diperjuangkan untuk negara ini. Huft. Aku Kembali berbaring lagi di atas tempat tidurku. Menatap langit-langit sembari memikirkan apa yang dialami oleh warga rakyat indonesia dalam pembacaan pancasila tersebut. Bagaimana kebahagian mereka sembari campur kecemasan yang terjadi 76 tahun yang lalu di hari yang sama.
Pikiran yang belum plong di kepalaku membuat aku untuk memutuskan membuka telepon genggamku dan mencari tahu dari beberapa artikel tentang sejarah 76 tahun yang lalu. Ternyata, walaupun Indonesia telah menyatakan kemerdekaan dengan pembacaan Proklamasi oleh Soekarno namun bangsa Indonesia belum sepenuhnya merdeka, kemerdekaan itu diraih melalui rakyat dengan sedikit demi sedikit mengorbankan segalanya. Aku membaca sejarahnya mulai dari awal hingga akhir.
Setelah adanya proklamasi kemerdekaan di Indonesia tepatnya pada tanggal 17 Agustus 1945, bukanlah sebuah akhir dari perjuangan rakyat Indonesia. Hal ini dikarenakan walaupun sudah mendeklarasi kemerdekaan tersebut, di beberapa daerah Nusantara yang ada harus tetap berjuang dalam mempertahankan kemerdekaan tersebut.Hal ini ditandai dengan adanya pertempuran pertama antara pejuang rakyat Indonesia dengan pasukan negara asing setelah deklarasi kemerdekaan yang terjadi tepatnya di Surabaya yang lebih dikenal dengan sebutan pertempuran Surabaya.
Pertempuran ini merupakan salah satu kejadian terbesar yang ada dalam sejarah Revolusi Nasional Indonesia serta menjadi lambang atau simbol nasional yang menjadi bukti akan perlawanan Indonesia terhadap adanya kolonialisme. Berdasarkan buku Pertempuran Surabaya (1985) yang merupakan sebuah karya yang dibuat oleh Nugroho Notosusanto menyebutkan bahwa Pertempuran Surabaya yang terjadi merupakan pertempuran paling menegangkan yang menunjukkan semangat patriotisme tinggi para masyarakat Indonesia untuk membela bangsa Indonesia.
Kejadian ini juga dibahas dalam komentar Ricklefs pada bukunya yang berjudul A History of Modern Indonesia Since C.1200 yang menyatakan bahwa Pertempuran Surabaya yang terjadi merupakan pertempuran paling sering sepanjang masa revolusi.
Pihak Inggris sebagai bagian dari pertempuran ini memandang Pertempuran Surabaya tersebut sebagai laksana inferno atau neraka. Hal ini dikarenakan, rencana Inggris yang ingin menguasai Surabaya menjadi terlambat dua hari dari target waktunya yaitu tanggal 26 November yang disebabkan kegigihan para pejuang Bangsa Indonesia yang ada di Surabaya.
Walaupun pada akhirnya Surabaya secara keseluruhan tetap jatuh ke tangan Bangsa Inggris, dengan adanya kejadian Pertempuran Surabaya tersebut mengubah cara pandang atau perspektif Bangsa Inggris dan juga Belanda terhadap Indonesia. Karena ada kejadian ini, Bangsa Inggris menjadi lebih mempertegas posisi serta kedudukannya sebagai pihak yang netral dan tidak perlu untuk mendukung Belanda. Selain itu, Belanda yang pada awalnya meremehkan semangat Indonesia mulai menyadari dan melihat perjuangan para pejuang yang ada dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Adanya hal tersebut, membuat para pejuang Indonesia mendapatkan dukungan luas dari berbagai kalangan masyarakat. Hal ini dilihat Belanda sebagai sesuatu yang berbeda dari gambaran mereka dan apa yang mereka bayangkan sebagai kelompok pengacau sporadis atau ekstrimis.
Berdasarkan sejarah yang ada, awal terjadinya Pertempuran Surabaya dilatarbelakangi dengan adanya kedatangan pasukan sekutu pada tanggal 25 Oktober 1945 yang tergabung dalam AFNEI atau Allied Forces Netherland East Indies. Kedatangan pasukan AFNEI tersebut ke Surabaya tepatnya di Tanjung Perak dipimpin oleh seorang Jenderal yang bernama Brigadir Jenderal Aubertin Walter Sothern Mallaby yang kemudian membuat sebuah pos pertahanan.
Tujuan awal dari kedatangan sekutu tersebut adalah mengamankan tawanan perang, melucuti senjata para tentara Jepang serta menciptakan ketertiban setelah mengumandangkan kemerdekaan tersebut. Hal ini dilakukan oleh pasukan sekutu dengan menyebar selebaran yang memiliki maksud agar masyarakat setempat menyerahkan senjata yang mereka miliki ke pihak mereka.
Adanya perintah pasukan sekutu tersebut membuat masyarakat setempat di Surabaya marah dan menolak untuk menyerahkan senjata yang mereka miliki kepada pihak sekutu tersebut. Hal ini yang pada akhirnya memicu adanya gerakan dari masyarakat Surabaya untuk melakukan penyerangan dengan maksud untuk mengusir pasukan sekutu tersebut. Selain itu, para pasukan sekutu juga pada kenyataannya melakukan tindakan diluar tujuan awal mereka. Dimana pasukan sekutu yang kebanyakan pasukan Inggris tersebut pergi menyerbu penjara di Surabaya dalam upaya membebaskan tawanan pasukan sekutu lain yang ditahan di Indonesia. Para pasukan sekutu juga berusaha untuk mengambil alih serta menduduki berbagai tempat vital yang ada di Surabaya.
Kedatangan sekutu di Indonesia merupakan bagian dari komando SEAC atau South East Asia Command yang berada di bawah pimpinan Laksamana Louis Mountbatten.
Namun, karena wilayah yang menjadi tanggung jawab SEAC masih terlalu luas, dibentuklah
Allied Forces Netherlands East Indies atau AFNEI yang bertanggung jawab dalam wilayah
Indonesia. Tepatnya pada tanggal 29 September 1945, Komandan AFNEI yaitu Letnan Jenderal Philip Christison tiba di Jakarta. Tugas yang diberikan kepada AFNEI di Indonesia adalah melucuti senjata Jepang, memulangkan para tentara Jepang ke tanah air mereka, membebaskan sekutu yang berada di bawah tawanan Jepang, serta mempertahankan keadaan yang ada di Indonesia.
Sebelum hal itu terjadi, pada tanggal 24 Agustus 1945 adanya kesepakatan yang terjadi antara Inggris dan Belanda yang dimuat dalam Civil Affair Agreement, berisikan mengenai kemauan Inggris dalam membantu Belanda kembali berkuasa di Indonesia. Oleh sebab itu, adanya resistensi dari para penduduk Indonesia atas kedatangan pasukan sekutu yang disebabkan perjanjian tersebut. Karena adanya hal tersebut, terjadinya pertempuran di berbagai tempat di Indonesia antara pasukan Indonesia dengan sekutu.
Tim RAPWI atau tim Pemulangan Tawanan Perang Sekutu yang merupakan bagian dari AFNEI tiba di Surabaya pada tanggal 19 September 1945. Namun, kedatangan tim tersebut tidak disambut dengan baik dikarenakan tim tersebut tidak berkoordinasi terlebih dahulu dengan pimpinan Indonesia yang ada di Surabaya. Selain itu, tim Pemulangan Tawanan Perang Sekutu tersebut berisi perwakilan dari pihak Belanda. Hingga pada akhir
September, kedatangan Kapten Huijer yang merupakan seorang perwira Angkatan Laut
Belanda ke Surabaya tanpa adanya izin dari pihak Inggris untuk menerima penyerahan Jepang.Tim RAPWI atau tim Pemulangan Tawanan Perang Sekutu yang merupakan bagian dari AFNEI tiba di Surabaya pada tanggal 19 September 1945. Namun, kedatangan tim tersebut tidak disambut dengan baik dikarenakan tim tersebut tidak berkoordinasi terlebih dahulu dengan pimpinan Indonesia yang ada di Surabaya. Selain itu, tim Pemulangan Tawanan Perang Sekutu tersebut berisi perwakilan dari pihak Belanda.
Hingga pada akhir September, kedatangan Kapten Huijer yang merupakan seorang perwira Angkatan Laut Belanda ke Surabaya tanpa adanya izin dari pihak Inggris untuk menerima penyerahan Jepang.Tim RAPWI atau tim Pemulangan Tawanan Perang Sekutu yang merupakan bagian dari AFNEI tiba di Surabaya pada tanggal 19 September 1945. Namun, kedatangan tim tersebut tidak disambut dengan baik dikarenakan tim tersebut tidak berkoordinasi terlebih dahulu dengan pimpinan Indonesia yang ada di Surabaya. Selain itu, tim Pemulangan Tawanan Perang Sekutu tersebut berisi perwakilan dari pihak Belanda. Jepang menyerahkan berbagai alat transportasi, senjata anti pesawat, tank, dan masih banyak lagi pada tanggal 3 Oktober 1945 yang tak lama kemudian berhasil direbut oleh pasukan TKR dan berhasil menawan Kapten Huijer.
Dalam menjalankan misinya di Surabaya, pihak Inggris pada awalnya hanya mengerahkan Brigade Infanteri India ke-49 yang berada dibawah pimpinan komando Brigadir Mallaby yang memiliki kekuatan antara 4.000 hingga 6.000 pasukan. Para pasukan sekutu yang tiba Surabaya tersebut belum boleh mendarat sebelum mendapatkan izin dari pimpinan Indonesia yang ada di Jakarta. Hal tersebut yang menyebabkan terjadinya perundingan antara pimpinan sekutu dengan pimpinan Indonesia yang ada di Surabaya.
Pimpinan Indonesia yang ada di Surabaya pada saat itu adalah Gubernur Jawa Timur Suryo,
Komandan TKR Karesidenan Surabaya dokter Moestopo, Residen Surabaya Sudirman, Radjamin Nasution, Ketua KNI Doel Arnowo, Ruslan Abdulgani, Djoko Sawondho, Rustam Zain, Djoko Sawondho, Mohammad, Inspektur Soejono Prawibismo, Moh Jassin, dan Mr. Masmuin. Berdasarkan beberapa pertemuan yang dilakukan, pihak Indonesia menyepakati untuk memberikan izin bagi sekutu Inggris untuk memasuki kota Surabaya dan menempati beberapa objek yang sesuai dengan tugas mereka. Pihak Inggris juga mengatakan dan menekankan mengenai mereka yang tidak melibatkan NICA maupun para tentara Belanda dalam kedatangannya tersebut. Pihak Inggris juga meminta agar para masyarakat biasa selain polisi, TKR, serta badan perjuangan untuk dilarang membawa atau menggunakan senjata agar dapat menjalankan tugasnya dengan baik. Oleh sebab itu, antara kedua belah pihak disepakati pula untuk membentuk sarana komunikasi yaitu Kontak Biro.
Sejarah Pertempuran Surabaya (10 November 1945) – Setelah adanya proklamasi kemerdekaan di Indonesia tepatnya pada tanggal 17 Agustus 1945, bukanlah sebuah akhir dari perjuangan rakyat Indonesia. Hal ini dikarenakan walaupun sudah mendeklarasi kemerdekaan tersebut, di beberapa daerah Nusantara yang ada harus tetap berjuang dalam mempertahankan kemerdekaan tersebut. Hal ini ditandai dengan adanya pertempuran pertama antara pejuang rakyat Indonesia dengan pasukan negara asing setelah deklarasi kemerdekaan yang terjadi tepatnya di Surabaya yang lebih dikenal dengan sebutan pertempuran Surabaya.
Pertempuran ini merupakan salah satu kejadian terbesar yang ada dalam sejarah Revolusi Nasional Indonesia serta menjadi lambang atau simbol nasional yang menjadi bukti akan perlawanan Indonesia terhadap adanya kolonialisme. Berdasarkan buku Pertempuran Surabaya (1985) yang merupakan sebuah karya yang dibuat oleh Nugroho Notosusanto menyebutkan bahwa Pertempuran Surabaya yang terjadi merupakan pertempuran paling menegangkan yang menunjukkan semangat patriotisme tinggi para masyarakat Indonesia untuk membela bangsa Indonesia. Kejadian ini juga dibahas dalam komentar Ricklefs pada bukunya yang berjudul A History of Modern Indonesia Since C.1200 yang menyatakan bahwa Pertempuran Surabaya yang terjadi merupakan pertempuran paling sering sepanjang masa revolusi.
Pihak Inggris sebagai bagian dari pertempuran ini memandang Pertempuran Surabaya tersebut sebagai laksana inferno atau neraka. Hal ini dikarenakan, rencana Inggris yang ingin menguasai Surabaya menjadi terlambat dua hari dari target waktunya yaitu tanggal 26 November yang disebabkan kegigihan para pejuang Bangsa Indonesia yang ada di Surabaya. Walaupun pada akhirnya Surabaya secara keseluruhan tetap jatuh ke tangan Bangsa Inggris, dengan adanya kejadian Pertempuran Surabaya tersebut mengubah cara pandang atau perspektif Bangsa Inggris dan juga Belanda terhadap Indonesia.
Karena ada kejadian ini, Bangsa Inggris menjadi lebih mempertegas posisi serta kedudukannya sebagai pihak yang netral dan tidak perlu untuk mendukung Belanda. Selain itu, Belanda yang pada awalnya meremehkan semangat Indonesia mulai menyadari dan melihat perjuangan para pejuang yang ada dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Adanya hal tersebut, membuat para pejuang Indonesia mendapatkan dukungan luas dari berbagai kalangan masyarakat. Hal ini dilihat Belanda sebagai sesuatu yang berbeda dari gambaran mereka dan apa yang mereka bayangkan sebagai kelompok pengacau sporadis atau ekstrimis.
Berdasarkan sejarah yang ada, awal terjadinya Pertempuran Surabaya dilatarbelakangi dengan adanya kedatangan pasukan sekutu pada tanggal 25 Oktober 1945 yang tergabung dalam AFNEI atau Allied Forces Netherland East Indies. Kedatangan pasukan AFNEI tersebut ke Surabaya tepatnya di Tanjung Perak dipimpin oleh seorang Jenderal yang bernama Brigadir Jenderal Aubertin Walter Sothern Mallaby yang kemudian membuat sebuah pos pertahanan. Tujuan awal dari kedatangan sekutu tersebut adalah mengamankan tawanan perang, melucuti senjata para tentara Jepang serta menciptakan ketertiban setelah mengumandangkan kemerdekaan tersebut. Hal ini dilakukan oleh pasukan sekutu dengan menyebar selebaran yang memiliki maksud agar masyarakat setempat menyerahkan senjata yang mereka miliki ke pihak mereka.
Adanya perintah pasukan sekutu tersebut membuat masyarakat setempat di Surabaya marah dan menolak untuk menyerahkan senjata yang mereka miliki kepada pihak sekutu tersebut. Hal ini yang pada akhirnya memicu adanya gerakan dari masyarakat Surabaya untuk melakukan penyerangan dengan maksud untuk mengusir pasukan sekutu tersebut. Selain itu, para pasukan sekutu juga pada kenyataannya melakukan tindakan diluar tujuan awal mereka. Dimana pasukan sekutu yang kebanyakan pasukan Inggris tersebut pergi menyerbu penjara di Surabaya dalam upaya membebaskan tawanan pasukan sekutu lain yang ditahan di Indonesia. Para pasukan sekutu juga berusaha untuk mengambil alih serta menduduki berbagai tempat vital yang ada di Surabaya.
Kedatangan sekutu di Indonesia merupakan bagian dari komando SEAC atau South East Asia Command yang berada di bawah pimpinan Laksamana Louis Mountbatten.
Namun, karena wilayah yang menjadi tanggung jawab SEAC masih terlalu luas, dibentuklah
Allied Forces Netherlands East Indies atau AFNEI yang bertanggung jawab dalam wilayah
Indonesia. Tepatnya pada tanggal 29 September 1945, Komandan AFNEI yaitu Letnan Jenderal Philip Christison tiba di Jakarta. Tugas yang diberikan kepada AFNEI di Indonesia adalah melucuti senjata Jepang, memulangkan para tentara Jepang ke tanah air mereka, membebaskan sekutu yang berada di bawah tawanan Jepang, serta mempertahankan keadaan yang ada di Indonesia. Sebelum hal itu terjadi, pada tanggal 24 Agustus 1945 adanya kesepakatan yang terjadi antara Inggris dan Belanda yang dimuat dalam Civil Affair Agreement, berisikan mengenai kemauan Inggris dalam membantu Belanda kembali berkuasa di Indonesia. Oleh sebab itu, adanya resistensi dari para penduduk Indonesia atas kedatangan pasukan sekutu yang disebabkan perjanjian tersebut. Karena adanya hal tersebut, terjadinya pertempuran di berbagai tempat di Indonesia antara pasukan Indonesia dengan sekutu.
Tim RAPWI atau tim Pemulangan Tawanan Perang Sekutu yang merupakan bagian dari AFNEI tiba di Surabaya pada tanggal 19 September 1945. Namun, kedatangan tim tersebut tidak disambut dengan baik dikarenakan tim tersebut tidak berkoordinasi terlebih dahulu dengan pimpinan Indonesia yang ada di Surabaya. Selain itu, tim Pemulangan Tawanan Perang Sekutu tersebut berisi perwakilan dari pihak Belanda.
Hingga pada akhir September, kedatangan Kapten Huijer yang merupakan seorang perwira Angkatan Laut Belanda ke Surabaya tanpa adanya izin dari pihak Inggris untuk menerima penyerahan Jepang. Jepang menyerahkan berbagai alat transportasi, senjata anti pesawat, tank, dan masih banyak lagi pada tanggal 3 Oktober 1945 yang tak lama kemudian berhasil direbut oleh pasukan TKR dan berhasil menawan Kapten Huijer.
Dalam menjalankan misinya di Surabaya, pihak Inggris pada awalnya hanya mengerahkan Brigade Infanteri India ke-49 yang berada dibawah pimpinan komando Brigadir Mallaby yang memiliki kekuatan antara 4.000 hingga 6.000 pasukan. Para pasukan sekutu yang tiba Surabaya tersebut belum boleh mendarat sebelum mendapatkan izin dari pimpinan Indonesia yang ada di Jakarta. Hal tersebut yang menyebabkan terjadinya perundingan antara pimpinan sekutu dengan pimpinan Indonesia yang ada di Surabaya.
Pimpinan Indonesia yang ada di Surabaya pada saat itu adalah Gubernur Jawa Timur
Suryo, Komandan TKR Karesidenan Surabaya dokter Moestopo, Residen Surabaya Sudirman,
Radjamin Nasution, Ketua KNI Doel Arnowo, Ruslan Abdulgani, Djoko Sawondho, Rustam
Zain, Djoko Sawondho, Mohammad, Inspektur Soejono Prawibismo, Moh Jassin, dan Mr. Masmuin. Berdasarkan beberapa pertemuan yang dilakukan, pihak Indonesia menyepakati untuk memberikan izin bagi sekutu Inggris untuk memasuki kota Surabaya dan menempati beberapa objek yang sesuai dengan tugas mereka. Pihak Inggris juga mengatakan dan menekankan mengenai mereka yang tidak melibatkan NICA maupun para tentara Belanda dalam kedatangannya tersebut. Pihak Inggris juga meminta agar para masyarakat biasa selain polisi, TKR, serta badan perjuangan untuk dilarang membawa atau menggunakan senjata agar dapat menjalankan tugasnya dengan baik. Oleh sebab itu, antara kedua belah pihak disepakati pula untuk membentuk sarana komunikasi yaitu Kontak Biro.
Setelah terjadinya kesepakatan antara kedua belah pihak mengenai penguasaan di
beberapa objek, pihak Inggris juga menduduki berbagai objek penting di Surabaya, seperti Kantor Pos Besar, Gedung BPM, pusat otomobil, pusat kereta api, hingga Gedung Internatio. Selain itu, pihak Inggris juga menangkap beberapa tokoh pemuda yang ada di Surabaya.
Selain itu, salah satu peleton dari Field Security Section yang berada di bawah pimpinan Kapten Shaw menyerbu Penjara Kalisosok dalam upaya membebaskan Kapten Huiyer dan membebaskan para tawanan Belanda yang berada di kompleks Wonokitri pada tanggal 26 Oktober di malam hari.
Keadaan di Surabaya pun semakin memanas akibat adanya selebaran yang tersebar pada tanggal 27 Oktober melalui pesawat Dakota yang bertolak dari Jakarta. Selebaran tersebut juga disebarkan di berbagai wilayah Indonesia seperti Jawa Barat dan Jawa Tengah yang telah ditandatangani oleh Mayor Jenderal Hawthorn. Isi dari selebaran tersebut adalah ultimatum bagi para pasukan Indonesia untuk menyerah kepada pihak sekutu dalam waktu 48 jam atau menghadapi konsekuensi ditembak. Kejadian tersebut semakin menimbulkan rasa kebencian di Surabaya, yang membuat munculnya seruan di radio untuk mengusir pihak Inggris dari wilayah tersebut.
Melihat adanya berbagai tindakan yang dilakukan oleh pihak Inggris tersebut, semakin meyakinkan pihak Indonesia bahwa peperangan yang akan terjadi tidak lagi bisa dihindari. Oleh sebab itu pada tanggal 27 Oktober tepatnya pada pukul 2 di siang hari, terjadi kontak senjata pertama antara pasukan pemuda PRISAI dan pasukan Gurka yang merupakan berasal dari pihak sekutu. Selanjutnya, Mallaby juga mengikuti arahan yang ada pada selebaran untuk menguasai kendaraan berat yang dimiliki oleh pasukan Indonesia pada tanggal 28 Oktober 1945. Pihak Inggris juga melakukan evakuasi terhadap wanita dan juga anak-anak dari kamp Gubeng dipindahkan ke barak Darmo.
Setelah terjadinya kejadian tersebut, berbagai pertempuran pun terjadi. Gabungan antara TKR, polisi, dan juga badan perjuangan yang mengadakan serangan serentak ke pihak Inggris yang ada di kota Surabaya. Karena penyerangan tersebut, pihak Indonesia berusaha untuk mengambil kembali hak atas tempat vital yang berada di bawah kedudukan pihak Inggris. Serangan pihak Indonesia ini terjadi hingga 29 Oktober 1945 yang dikepalai oleh Komando Jenderal Mayor Yonosewoyo yang merupakan Komandan Divisi TKR berhasil mendesak pihak Inggris.
Kronologi awal dari insiden ini, dimana sekelompok orang Belanda yang dipimpin oleh Mr.W.V.Ch. Ploegman mengibarkan bendera negara Belanda yang berwarna merah, putih, dan biru tanpa adanya persetujuan dari Pemerintah Republik Indonesia di kota Surabaya.
Para masyarakat Surabaya yang melihat hal tersebut menjadi kesal dan marah. Hal ini yang membuat seorang perwakilan Indonesia yaitu Residen Soedirman mendatangi Hotel Yamato tempat mereka mengibarkan bendera tersebut untuk berdiskusi dengan pimpinan sekutu yaitu Ploegman agar bendera tersebut dapat diturunkan dan tidak terjadinya keributan. Namun, diskusi yang ada tidak berjalan lancar dan pimpinan mereka yaitu Ploegman menolak untuk menurunkan benderanya.
Hingga yang menjadi puncak kejadiannya, Ploegman mengeluarkan sebuah pistol yang membuat perkelahian antara kedua belah pihak tidak dapat dihindari. Di tengah keributan tersebut, Ploegman meninggal dunia karena dicekik oleh pengawal Soedirman yaitu Sidik. Namun, Sidik juga tewas yang disebabkan oleh tentara Belanda yang sedang bertugas saat itu. Soedirman beserta pengawalnya yang lain berhasil menghindari insiden tersebut dan segera keluar dari Hotel Yamato untuk mengamankan situasi yang ada. Namun, beberapa pemuda di Surabaya terlihat langsung menaiki Hotel Yamato dan segera merobek bendera Belanda yang berwarna merah, putih, biru tersebut dan menyisakan bagian merah dan putih saja.
Tak sadar lamanya dalam membaca dari beberapa artikel di internet, Keluarlah tetesan air mata kesedihanku mengingat betapa susahnya, Betapa menderitanya bangsa Indonesia ini dalam kekuasaan bangsa asing, Perang terjadi terus-menerus hingga setelah proklamasi pun bangsa ini tetap dalam penjajahan bangsa asing, Maka dari itu kita harus menghargai jasa-jasa pahlawan kita dalam Membela, Berkorban, Menjunjung persatuan demi bangsa Indonesia ini. Kita bangsa besar, Kita bukan bangsa tempe. Kita tidak akan mengemis, Kita tidak akan minta-minta, Apalagi jika bantuan-bantuan itu diembel-embeli dengan syarat ini syarat itu, Lebih baik makan gaplek tetapi merdeka, Daripada makan bestik tapi budak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar