Bagaimana Tegalrejoku Habis Dibakar Kompeni - PenaSella.com

Welcome To PenaSella.com

Selamat datang di PenaSella.com, Mari Membangun Literasi dan Memperkuat Nasionalisme bersama PenasSella.com

Rabu, 30 Oktober 2024

Bagaimana Tegalrejoku Habis Dibakar Kompeni


Oleh : apriliano akbar

 


Aku berlutut sambil mencoba mengatur napasku saat bersembunyi di balik pohon Jati dekat pintu Gua Selarong. Bapak menggenggam tanganku begitu erat hingga membekas merah.

Ingatan itu kembali lagi. Bagaimana kakakku selalu mewanti-wanti untuk segera bersembunyi di dalam rumah apabila Ki Lurah mulai datang menariki pajak.

“Cepat lari ke Gua Putri. Pergi dulu dengan rombongan ibu-ibu dan anak-anak yang lain, nanti Bapak menyusul.”

Kalimat Bapak tak terdengar begitu jelas. Suasana sudah cukup ricuh saat ini. Pasukan kompeni itu memporak-porandakan gua yang telah kami tempati selama beberapa waktu. Terdengar suara tembakan di berbagai arah dan juga teriakan takbir.

“Allahu Akbar!! Allahu Akbar!!”

Bapak benar-benar meninggalkanku di sana. Beliau kemudian ikut menyerang menggunakan tombak sambil tak henti-hentinya menyorakkan bacaan takbir.

Tak memiliki pilihan lain, aku segera berlari ke Gua Putri dan menemukan ibu-ibu sudah bersiap dengan beberapa bahan makanan di tangan kanan dan juga anak yang mereka gendong dengan tangan kiri.

Aku benci suasana ini. Suasana yang sama persis dengan bagaimana aku menderita sekitar satu tahun lalu. Saat di mana memori-memori di otakku dipaksa merekam berbagai kejadian tragis yang tak pernah ingin kuingat.


“Semuanya sudah tidak terkendali, sepertinya mereka memang sengaja menaruh patok itu untuk menyulut amarah Pangeran.”

Saat malam hari mulai datang, sayup-sayup kudengar suara Bapak dari ruang tengah. Aku yang sudah lama tak bertemu beliau tetap enggan keluar dari kamar. Bapak begitu asing, aku tak pernah betul-betul mengenalnya.

Bapak adalah seorang anggota pasukan Pangeran Diponegoro. Bapak berkeliling desa entah melakukan apa selama berminggu-minggu. Jarang sekali untuknya bertemu aku dan Mas Bagus, atau memang beliau menghindar untuk bertemu kami.

“Jatah makanan bulan ini simpanlah, Nak. Pisahkan dari yang untuk membayar pajak sialan itu. Bapak titip adikmu ya, jaga diri baik-baik.”

Dan begitulah setiap Bapak hendak pergi lagi meninggalkan rumah kami, setelah membawa sekarung bahan makanan berupa jagung, singkong, dan ubi yang tak seberapa.

Mas Bagus kemudian mengunci pintu rumah, membuka sedikit jendela untuk melihat rumah-rumah penduduk yang beberapa di antaranya disinari temaram lampu minyak. Suasana kampung ini sepi, tapi tak benar-benar sesepi itu. Lelaki dewasa banyak yang memilih berjaga untuk segala kemungkinan terburuk yang dapat terjadi kapan saja.


Desa Tegalrejo tempat kami tinggal adalah puri kediaman Pangeran Diponegoro yang memilih meninggalkan istana dan segala kekacauannya. Para penggede-penggede itu sudah teracuni Belanda. Mereka tau, mereka sadar rakyatnya menderita, tapi mereka hanya menuli. Para penguasa hidup bermewah-mewahan dalam kesengsaraan rakyat yang makan sehari pun tak tentu.

“Pajak!! Pajak!! Ayo bayar pajak, hei kamu orang, jangan lari!!”

Matahari belum genap menyingsing di timur. Desa Tegalrejo yang semula aman dan damai mendadak jadi ricuh saat Ki Lurah dan antek-anteknya berkeliling rumah warga. Menggertak satu per satu sehingga membuat warga panik kocar-kacir. Kambing-kambing ditarik paksa dari kandang, berkarung beras mereka rampas hingga perabotan rumah juga tak luput dari serbuan mereka.

Aku yang sedang bermain kelereng dengan teman-temanku segera berlari ke rumah masing-masing. Begitu masuk ke dalam rumah, pintu segera kututup. Aku menghitung jumlah kelereng yang kusimpan di saku celanaku. Satu, dua, lima, sudah pas. Kelereng- kelereng ini begitu berharga untukku.

Mas Bagus nampak sedikit kewalahan mengambil setidaknya lima buah jagung berukuran sedang untuk dimasukkan dalam karung, juga beberapa buah ubi ungu yang aku yakin jika direbus pasti lezat sekali.

Dengan segera bahan makanan lain yang masih tersisa ia sembunyikan di dalam peti di bagian belakang dapur. Para pejabat desa ini sangat serakah, setelah menariki pajak biasanya mereka mulai merampas hasil bumi apapun itu untuk keluarga mereka sendiri.

“Yak, cukup. Besok-besok begini terus ya, jangan seperti yang lain, terlalu banyak alasan!” pintu depan rumah ditutup dengan kencang oleh salah satu petugas penarik pajak setelah ia selesai membuka isi karung yang diserahkan Mas Bagus.

Kami beruntung. Kami hanya tinggal berdua, jatah pajak yang harus disetorkan tidak sebanyak tetangga kami yang memiliki 7 bahkan 8 anak. Belum lagi mereka yang tinggal serumah dengan cucu-cucu yang masih kecil, tanggungan pajak pasti berkali lipat lebih berat.

Aku dan Mas Bagus menghela napas panjang. Mas Bagus berlutut di depanku kemudian membersihkan peluh keringat di dahiku. Ki Lurah yang menariki pajak secara tiba-tiba dengan puluhan bandit kampung selalu menjadi ketakutan terbesar kami. Aku membatin dalam hati, aku tau Mas Bagus juga sama-sama takut, tapi ia selalu ingin terlihat baik-baik saja di depanku

Hari yang sungguh melelahkan. Setelah seharian bekerja di kebun milik Belanda yang upahnya tak seberapa, akhirnya aku pulang ke rumah. Jangan bicara perihal upah, jika tidak terpaksa untuk menghidupi adikku aku tidak akan pernah sudi menginjakkan kaki di sini. Para pejabat laknatullah penguasa kebun itu tidak segan menginjak kepala kami apabila pekerjaan yang kami lakukan mereka rasa kurang maksimal. Lebih dari itu, menyambuk punggung kami dengan rotan seperti sudah menjadi hobi yang memberi kepuasan bagi


mereka. Ini adalah bagian terberat dari penjajahan itu sendiri, di mana rakyat ditindas dan diperalat sehari-hari.

Aku tak sengaja mendengar, beberapa waktu lalu Belanda dan Patih Danureja berencana membangun jalan yang melewati makam leluhur Pangeran Diponegoro kami. Abdi dalem Patih Danureja memasang patok jalan yang letak susunannya sudah terlihat jelas untuk menyulut emosi Pangeran Diponegoro.

Melihat itu abdi Pangeran Diponegoro tak tinggal diam, mereka dengan sigap menyabut patok itu satu per satu. Hingga saat ketiga kalinya pasukan Patih Danureja memasang patok, Pangeran Diponegoro geram lalu memerintahkan abdinya mencabut patok-patok sialan tersebut dan menggantinya dengan tombak sebagai tanda mulainya peperangan.

Kami sebagai pribumi hanya bisa berharap-harap cemas. Kekuatan kami baik dari kelengkapan senjata maupun yang lain tidak ada apa-apanya dengan kompeni. Namun dalam hati, kami tidak akan rela jika Pangeran Diponegoro yang begitu kami hormati berjuang sendiri memperjuangkan tanah leluhurnya. Kami juga tidak rela terusmenerus diperalat Belanda seperti ini.

Aku yang sudah selesai membersihkan diri kemudian masuk ke kamar. Kulihat adik lelaki kesayanganku yang baru berusia 10 tahun sedang meringkuk di kasur. Aku betul-betul kasihan dengannya. Masa kanak-kanak yang seharusnya ia habiskan dengan bermain malah direnggut oleh nestapa peperangan seperti ini.

“Mas Bagus..” panggilnya perlahan setelah mendengar suaraku membuka pintu kamar. “Mas Bagus takut tidak kalau nanti tiba-tiba perang?”

Aku yang sedang merapikan beberapa pakaian di lemari berhenti sejenak, lalu tersenyum simpul. “Memang kenapa?”

Aku kemudian ikut merebahkan diri di kasur yang sama dengan adikku. Adikku hanya menggeleng kecil.

Kulihat perlahan sekujur tanganku yang penuh luka akibat pekerjaan kasar yang kulakukan. Tiba-tiba terlintas dalam benakku, ibuku yang sangat kami cintai pergi meninggalkan kami belum genap 30 hari yang lalu. Ibuku menderita penyakit menular yang belum ditemukan penawarnya. Kondisinya terus melemah, hingga pada Jumat pagi ia menghembuskan napas terakhirnya.

“Mas Bagus juga sebenarnya belum tau nanti seperti apa, tapi Mas Bagus yakin. Selama kita terus berdoa dan bersungguh-sungguh memohon pertolongan kepada Allah, maka Allah akan menjaga kita”

Nampak sekali wajah adikku menunjukkan kecemasan. Ia masih trauma kehilangan orang yang sangat ia cintai, apalagi orang itu adalah ibu yang telah merawatnya sedari kecil.

Anak laki-laki dengan rambut ikal dan kulit kuning langsat itu selanjutnya memandangku penuh selidik, “Mas Bagus takut ya?” ucapnya meledekku.

“Sudah besar kok penakut!”

Aku yang mendengar itu kemudian tertawa dan mematikan lampu minyak sebelum kami berdua akhirnya tertidur lelap.


 

 

Hari berjalan seperti biasa. Aku pergi ke rumah Pian, tetangga sebelah rumahku, untuk bermain kelereng.

“Kalau yang ini kena, kelerengmu jadi punyaku ya.”

Tak!! Sentilan Pian tepat mengenai satu dari lima kelereng kesayanganku. “Eh.. Jangan dong, ini kan hadiah dari Mas Bagus.”

Aku berusaha mengambil kelerengku yang Pian sembunyikan di balik punggungnya, Si Pian malah keasikan menggodaku sambil tertawa cekikikan.

Kelereng-kelereng berharga ini adalah hadiah dari Mas Bagus saat aku masuk umur 10. Sudah lupa tepatnya kapan, tapi aku ingat sekali, sore itu aku begitu senang membuka bungkusan kecil berisi 5 buah kelereng dan beberapa biji permen.

Walaupun usia kami terpaut cukup jauh, tetapi aku merasa Mas Bagus menyayangiku dengan begitu baik. Dia dapat menjadi kakak yang selalu aku jadikan teladan dalam setiap hal. Dia dapat menjadi ibu yang merawatku dengan penuh kasih sayang. Dia dapat menjadi ayah yang memberiku rasa aman. Selain itu, dia adalah teman yang cukup asik. Walau sering kalah saat bermain petak umpet denganku, hehe.

Hmm.. harum wangi semerbak menyeruak. Sepertinya masakan Bude Lasmi, ibunya Pian, sudah matang. Walau dengan bahan seadanya, dengan keahlian memasak super Bude Lasmi, semuanya jadi terasa lezat.

“Ayo, Nak, makan dulu. Nanti selak dingin.”

Kami berdua dengan sumringah masuk ke dalam rumah, sebelum sayur nangka lezat itu kami nikmati, tiba-tiba

“Bu, Ibu!!! Bahaya, Bu!!” Bude Lasmi tergopoh-gopoh berlari dari dapur mendengar teriakan suaminya. “Mereka sudah datang, Bu… Wis cepet beres-beres bawa secukupnya.”

Aku tidak pernah melihat Pakde Sadir dengan wajah yang begitu panik dan kacau. Selanjutnya hari itu kuingat sebagai hari paling menyesakkan dalam hidup. Saat kentongan kampung tanda darurat berbunyi, Mas Bagus datang tergesa dan menjemputku pulang ke rumah. Ia memasukkan beberapa pakaian dari lemari ke dalam tas, kemudian menggandengku ke depan rumah sebelum bertemu dengan Bude Lasmi dan berbicara sebentar.

“Kamu ikut Bude Lasmi dulu ya. Nanti Mas Bagus nyusul.”

Aku hanya mematung dan berusaha mengartikan situasi yang terjadi. Mas Bagus memelukku erat dengan tatapan yang sukar kuartikan, tak lama segorombolan laki-laki dewasa melewati jalan di depan rumah dan Mas Bagus segera bergabung dengan mereka.

Kepalaku penuh sesak. Bencana apa lagi yang akan aku alami. Tidak cukupkah Belanda itu memeras kami dengan pajak? Tidak cukupkah penderitaan kami selama ini? Sebenarnya apa yang mereka inginkan?


Terbayang di benakku wajah pucat Ibu saat aku memeluknya tepat sebelum ia dimakamkan. Juga bayang-bayang Bapak yang selama ini tidak pernah kurasakan kehadirannya. Lalu seperti penderitaanku belum cukup, kali ini aku juga harus kehilangan Mas Bagus?

Dunia yang sangat adil.

Kami, anak-anak dan kaum wanita, diungsikan ke tempat yang lebih aman. Perjalanan diawali pada siang hari yang terik hingga kami berhenti di Desa Dekso, Kabupaten Kulonprogo.

Tak!!

Pian melempar dengan keras kerikil di tangannya yang sukses membuatku tersadar dari lamunan. Aku memberinya tatapan tajam sementara ia malah meringis cekikikan.

“Wih.. Sentot! Sekarang kamu wis berani naik kuda?”

Pian nampak terkejut melihat teman main kami sewaktu kecil itu sudah mahir menaiki kuda.

“Yoo gimana lagi. Siapa yang mau bawa nek nggak aku?” ucap Sentot ringan. Benar juga, banyak teman-teman sebayaku yang menunggangi kuda hari ini, padahal tubuh kuda jauh lebih besar dari mereka. Namun jika bukan anak laki-laki yang menunggangi peliharaan, siapa lagi? Ibu-ibu tidak mungkin, apalagi anak perempuan.

Ada banyak hal di luar nalar yang terjadi hari ini. Ibu-ibu di sana kuat membawa beberapa bakul bahan makanan di tangan kanan, sementara tangan kirinya menggendong anak yang baru berusia berapa bulan. Selain itu, aku juga takjub dengan puluhan anak laki-laki yang dituntut dewasa sebelum umurnya. Menjaga ibu mereka, menunggangi kuda peliharaan yang tingginya jauh dari mereka, semua dilakukan dalam kondisi genting seperti ini.

Sepanjang perjalanan aku hanya terdiam. Kulihat Bude Lasmi kerepotan menggendong anak kambingnya dengan tangan kiri sambil membawa barang bawaan yang terlihat begitu berat di tangan kanan. Wajahnya terlihat lelah dan penuh kecemasan. Tidak ada yang bisa menebak apa yang akan terjadi besok. Hela napas kelelahan mulai terdengar.

 


 

 

Suasana sangat kacau. Para penduduk desa berusaha mempertahankan lahan sementara abdi Patih Danureja dan pasukan kolonial terus menyerang. Negosiasi yang dilakukan tak membuahkan hasil. Kami, para pribumi dengan peralatan seadanya berusaha melawan penjajah kesetanan tersebut. Walau beberapa dari pasukannya adalah golongan pribumi juga, mereka yang memilih berkhianat entah karena niat atau paksaan Belanda.

Aku merasakan suasana begitu carut-marut. Semua orang berlari kocar-kacir seperti rombongan hama yang diberi pembasmi. Para pasukan kompeni dibekali kuda gagah dan senjata berpeluru di tangannya. Sementara kami, warga biasa dengan alat seadanya


berusaha memperjuangkan daerah yang merupakan hak kami, semurni-murninya demi kehormatan pangeran kami.

Allahu Akbar!! Allahu Akbar!!

Sorakan takbir terdengar dari penjuru arah. Aku merasa pusing dan semuanya terlihat buram. Ini pertama kalinya bagiku mengikuti pertempuran seperti ini. Sebelumnya aku hanya pernah dibekali Bapak dengan pengetahuan umum tentang kesenjataan.

Umurku baru 17 tahun, seharusnya tahun ini aku baru bisa bergabung dengan pria dewasa lain untuk pelatihan persiapan tempur, namun nasib berkata lain. Aku berharap-harap cemas, semoga saja aku bertemu Bapak di jalan.

Duar!! Duar!!

Aku terkejut bukan kepalang. Pak Soleh, muazin masjid di desa kami yang selalu mengumandangkan adzan tepat waktu, tewas ditangan Belanda. Pria dengan baju putih yang ia kenakan itu tergeletak lemas di tanah.

“Semoga engkau terima ia mati syahid, Ya Allah…”

Pakde Sadir berucap lirih di sampingku. Semenjak tadi, kami berdua bersembunyi di balik semak-semak. Menunggu waktu yang tepat bagi tombak milik kami untuk membunuh pasukan kolonial itu.

Sssakk!!

Meleset. Tombak yang dilemparkan seseorang dengan membabi buta itu tak berhasil mengenai sasaran.

Duar!! Duar!!

Sesuai dengan risiko yang diambil, dia gugur bersama tenggelamnya matahari sore ini.

Aku melihat Pakde Sadir berdiri di sampingku, sepertinya beliau sudah menemukan sasaran yang dituju. Jangan kira seberapa kacau suasana saat ini. Desir peluru saling sahut, bau hujan turun bercampur dengan anyir darah, disela-selanya terdengar kencang suara Allahu Akbar!! Allahu Akbar!!

Di riuhnya suasana perang ditambah dengan teriakan orang-orang meminta tolong, aku samar-samar melihat siluet Bapak. Fokusku terpecah, manik mataku terus mengikuti figur gagah idolaku itu.

“Allahu Akbar!!”

Aku terkejut. Secara tiba-tiba Pakde Sadir melesatkan tombaknya pada salah satu pasukan lawan yang kemudian langsung dibalas dengan rentetan peluru ke arah kami. Aku tak sempat menghindar.

“Bagus, awas!!”

 


 

 

Kakiku terasa pegal. Matahari telah sepenuhnya tenggelam. Sudah berapa lama waktu, namun kami belum juga sampai di tempat tujuan.


Jangan kira perjalanan ini tidak menguras energi. Pasokan air dan makanan yang sedikit, belum lagi barang bawaan yang berat sangat menguras fisik kami.

“Allahu Akbar!! Allahu Akbar!!”

Kulihat dari jauh datang gerombolan berkuda sambil meneriakkan takbir dengan keras. Tangan mereka terlihat membawa obor dari kejauhan.

Helaan napas lega langsung terdengar dari para istri yang sejak siang tadi cemas menunggu kabar suaminya. Banyak yang kemudian menangis, memeluk anak mereka sembari berterimakasih pada Tuhan telah membawa kepala keluarga mereka pulang.

Senyuman yang terukir di bibirku tidak dapat menyembunyikan kegembiraanku. Pian yang berada di sampingku mengusap pundakku, “Nggak usah nangis!!” ucapnya meledek.

Aku kemudian memukulnya pelan. Bisa tidak Pian berhenti jadi menyebalkan satu hari saja.

Dalam hati aku berteriak lega bukan main. Akhirnya Mas Bagus dapat selamat. Ingin segera kupeluk dia dan kutanyakan apa dia baik-baik saja.

Dengan siasat yang telah disusun rapi oleh Pangeran Diponegoro, pasukan pribumi berhasil mengelabui musuh dan meloloskan diri keluar dari Tegalrejo. Tubuh mereka penuh luka, pakaian mereka kusut bahkan robek di beberapa tempat. Namun semua itu terbayar lunas ketika mereka dapat memeluk kembali anak dan istri tercinta.

“Bapak!!”

“Pian anakku..”

Nampak dari jauh Pakde Sadir berjalan dengan kaki yang sedikit pincang. Pian dengan wajah sumringah segera berlari ke arahnya dan memeluk bapak yang sangat dicintainya itu. Pelukan itu menjadi semakin haru ketika Bude Lasmi ikut bergabung bersama mereka dengan air mata yang sudah tak terbendung.

“Alhamdulillah, Pak… Alhamdulillahirabbilalamin. Gusti Allah sudah menjaga Bapak.”

Tangis Bude Lasmi semakin deras ketika Pakde Sadir mengeratkan pelukan di antara keluarga kecilnya. Luka sobek yang berada di betisnya kini sudah tidak terasa lagi, berganti dengan rasa bahagia luar biasa.

“Bapak mboten kenapa-kenapa, Pak?” Pian kemudian mulai memeriksa kondisi ayahnya dengan khawatir, “Ya Allah, Buk. Bapak berdarah, Buk.”

Bude Lasmi nampak terkejut kemudian

Bude Lasmi nampak terkejut kemudian mulai ikut meneliti kondisi kaki kiri suaminya. Nampak ada bekas lubang peluru Belanda ditembakkan di sana. Tak menunggu waktu lama, Bude Lasmi segera mencari bala bantuan untuk membantu menyembuhkan luka di kaki Pakde Sadir.

“Bapak yang sabar ya, Pak.” Pian duduk di samping bapaknya yang saat ini sudah terduduk di tanah. Aku yang sejak tadi hanya memerhatikan kemudian ikut berlutut di samping mereka.


“Le… Astaghfirullah, Le…” Pakde Sadir kemudian terisak, seperti tak mampu lagi melanjutkan ucapannya. Kemudian ia mulai mengusap-usap punggungku dengan tatapan yang sulit kuartikan.

Aku hanya diam termenung. Hal menyedihkan apa yang sampai membuat Pakde Sadir menangis? Apa hubungannya denganku?

Belum sempat aku mendengar sendiri penjelasan dari mulut Pakde Sadir, tiba-tiba Bude Lasmi datang bersama segerombolan lelaki yang membawa tandu dan beberapa alat penyembuh luka. Bersama-sama mereka menggotong Pakde Sadir di atas tandu dan membawanya ke tempat yang lebih aman untuk diberikan pengobatan.

Aku dan Pian hanya mengamati dari jauh. Kami berdua duduk di antara bebatuan terjal yang ada di atas bukit. Penerangan yang kami dapatkan hanya dari beberapa obor yang sengaja dipasang serta cahaya rembulan yang malam ini sedang purnama. Dari sini aku dapat melihat dengan jelas, bagaimana Desa Tegalrejo -tempat tinggal kami- luluh lantah habis dilahap api.

Tempat aku dan Mas Bagus dirawat sejak kecil oleh Ibu. Tempat aku dan Pian menghabiskan waktu bermain seharian. Tempat aku biasa mengaji di masjid saat sore hari. Semuanya rata menjadi tanah dan puing-puing yang tak ada artinya.

Situasi ini betul-betul gila untuk anak laki-laki berumur 10 tahun seperti kami. Desa yang awalnya aman-aman saja dan penuh hiruk pikuk kehidupan manusia, tiba-tiba hangus sekejap di tangan Belanda.

“Pian, ingat tidak saat kita bermain kelereng dengan anak-anak lain di bawah pohon mangganya Bu Sinta?”

Aku menengok ke arah Pian yang saat ini tatapannya menghadap lurus ke depan. Ia mengangguk, tandanya Pian masih mendengarkan ceritaku.

“Sewaktu Ki Lurah datang, kita semua langsung buru-buru sembunyi di rumah. Waktu sampai rumah, kuhitung kelerengku tinggal empat. Aku panik sekali sampai menangis.”

Pian kemudian membuang wajah sambil menutup mulutnya yang sedikit tertawa. Aku memberinya tatapan tajam dan ia pun kembali duduk tenang.

“Aku sedih sekali kelerengku hilang satu, tapi Mas Bagus bilang tidak apa-apa. Nanti akan dia belikan yang lebih banyak lagi,” ucapku dengan semangat. “Yahh..tapi sayangnya sekarang, semua kelereng itu hilang. Aku lupa membawanya tadi.”

Aku mengakhiri ceritaku dengan helaan napas panjang. Mata kami hanya menerawang kosong ke depan. Mengira-ngira, kejutan apa lagi ya yang akan kami dapatkan besok?

“Eh.. Kamu dari tadi sudah bertemu Mas Bagus?”

Mulutku sedikit terbuka menandakan aku benar-benar terkejut. Iya benar, aku belum bertemu Mas Bagus sejak tadi. Kedatangan Pakde Sadir dalam keadaan terluka dan kondisi tempat tinggal kami yang habis dilahap api berhasil mengalihkan fokusku.

“Perhatian!! Segera berkumpul!!”

Teriak salah satu pengikut setia Pangeran Diponegoro. Kami kemudian bergegas berkumpul di tengah lapangan.


“Allahu Akbar!! Allahu Akbar!!”

Sorak sorai mulai terdengar saat Pangeran Diponegoro berdiri di depan kami semua. Beliau adalah sosok yang begitu dihormati seperti pejabat dengan takhta tinggi, juga disayangi oleh masyarakat sebagai seorang teman yang selalu peduli.

“Wahai rakyatku semua… Atas rahmat Allah Yang Mahakuasa, maka dengan izin-Nya Belanda berhasil terjebak dalam siasat kami. Kami telah berhasil meloloskan diri dan kembali dengan selamat.”

Riuh ricuh para pendengar saling bersautan di lapangan malam itu. Keringat serta jerih payah mereka terbayar penuh dengan kekalahan Belanda.

“Jangan bersedih sebab Desa Tegalrejo milik kita telah habis dibakar Belanda. Tanah air kita bukan hanya Tegalrejo. Besok kita bangun desa yang lebih makmur lagi, lebih sejahtera lagi. Semoga di manapun kita berada, kita selalu berada dalam lindungan Allah Ta’ala.”

Beberapa wajah yang sebelumnya tertunduk lesu kemudian menegakkan diri. Seluruh harta benda yang ada di Tegalrejo seluruhnya milik Allah, sudah sewajarnya bagi kita sebagai manusia ingat bahwa itu semua dapat diambil kapan saja.

“Kalian beristirahatlah, kita lanjutkan perjalanan menuju Gunung Selarong besok hari,” tutup Pangeran Diponegoro di akhir pidatonya.

Suasana sudah gelap. Banyak yang memilih tidur dengan alas seadanya. Udara dingin di atas bukit membuat para ibu mengeratkan pelukan kepada anak-anak mereka, berusaha menghalau angin malam yang berhembus kencang.

Dalam kondisi seperti ini, tidak mungkin bagiku untuk mencari keberadaan Mas Bagus. Aku kemudian memutuskan tidur di sebelah Pian. Menunggu esok hari, berharap aku bisa segera bertemu dengan kakakku yang sangat kucintai.

“Aku semakin tidak tega melihat wajahnya yang kelelahan seperti itu.”

Pakde Sadir menatap lesu anak laki-laki yang tertidur di sebelah anaknya. Bude Lasmi yang ada di sampingnya kemudian memijat punggung pria berusia hampir setengah abad itu pelan.

“Bapak sejak tadi sama sekali belum bertemu bapaknya dia?”

Yang ditanya hanya menggeleng lemah. Sungguh malang nasib anak berambut ikal yang baru berusia 10 tahun itu. Belum genap 3 bulan ia ditinggalkan oleh ibunda tercinta, kini kakak yang selalu ia sayangi ikut pergi meninggalkanya. Bapaknya juga tak pernah terlihat sekalipun mengurus anak itu. Jadilah nanti ia hidup sebatang kara.

“Besok, aku coba bicara dengannya.”

Malam semakin larut. Pakde Sadir memejamkan mata dengan perasaan mengganjal di hatinya.

 



Keesokan paginya perjalanan dilanjutkan menuju Gua Selarong. Tempat itu digadang- gadang sebagai tempat yang strategis untuk memperluas pasukan dan juga menyusun strategi.

Sesampainya di sana, Pangeran Diponegoro membagi gua ini menjadi dua bagian. Gua Kakung digunakan kaum laki-laki untuk mempersiapkan strategi. Sementara Gua Putri untuk kaum wanita mengurus urusan dapur dan lain-lain.

Saat suasana sudah mulai tenang, Pakde Sadir memanggilku dan memintaku untuk duduk di sebelahnya.

“Nak, Pakde mau bicara. Tapi kamu janji ya, harus ikhlas.”

Benar. Apa yang berkecamuk semalaman di pikiranku benar. Aku sudah memikirkannya semalam suntuk. Pakde Sadir yang menangis di hadapanku kemarin tidak siap menyampaikan kabar ini. Kakakku pasti ikut gugur saat berperang kemarin.

“Mas Bagus sudah meninggal.”

Tepat saat Pakde Sadir menyelesaikan kalimatnya, air mata turun dengan deras membasahi pipi lelaki itu. Penderitaan banyak tergambar dalam gurat wajahnya, seperti penderitaan yang kurasakan saat ini.

Aku kemudian duduk dengan lutut tertekuk dan mulai terisak. Sungguh, kejam sekali alur cerita kehidupanku ini. Aku benar-benar sebatang kara sekarang. Aku merasa seluruh bagian jiwaku hilang seutuhnya.

Pian ikut bersimpuh duduk di sebelahku. Ia mengusap pundakku pelan. Sebelum tiba-tiba, kulihat sosok yang sangat familier berlari dari timur menuju ke arahku.

Bapak memelukku dengan erat. Ia menghapus kasar air mata yang mengalir di pipiku. Tangisku semakin kencang. Rasanya aku seperti mengadu tentang seberapa banyak kesulitan yang kualami selama ini.

“Maaf, saya belum bisa jaga Bagus,” terdengar penyesalan yang begitu dalam di setiap kata yang diucapkan Pakde Sadir kepada Bapak. Bapak hanya menggeleng lemah.

Sejak awal belum kuceritakan, kakakku ini dulunya sakit-sakitan sewaktu kecil. Tubuhnya lemah sekali. Jika sekali terluka, maka darah akan terus mengucur dari kulitnya dan sangat sulit berhenti.

Hari itu kami berempat banyak merenungi hal-hal yang terjadi pada beberapa hari terakhir. Kami terlalu lelah untuk berpura-pura tidak apa-apa dengan segala hal yang terjadi.

Secara tiba-tiba Bapak memegang kedua lenganku dan menatap kedua mataku dengan penuh kesungguhan, “Mulai saat ini Bapak yang akan jaga kamu. Bapak janji akan selalu ada kapan pun.”

Janji yang sudah dua kali dipatahkan oleh orang-orang terdekatku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar