Oleh : apriliano akbar
Aku berlutut
sambil mencoba mengatur
napasku saat bersembunyi di balik pohon
Jati dekat pintu Gua Selarong. Bapak menggenggam tanganku
begitu erat hingga
membekas merah.
Ingatan
itu kembali lagi. Bagaimana kakakku selalu mewanti-wanti untuk segera
bersembunyi di dalam rumah apabila Ki Lurah mulai datang menariki pajak.
“Cepat
lari ke Gua Putri. Pergi dulu dengan rombongan ibu-ibu dan anak-anak yang lain,
nanti Bapak menyusul.”
Kalimat
Bapak tak terdengar begitu jelas. Suasana sudah cukup ricuh saat ini. Pasukan
kompeni itu memporak-porandakan gua yang telah kami tempati selama beberapa
waktu. Terdengar suara tembakan di berbagai arah dan juga teriakan takbir.
“Allahu Akbar!!
Allahu Akbar!!”
Bapak
benar-benar meninggalkanku di sana. Beliau kemudian ikut menyerang menggunakan
tombak sambil tak henti-hentinya menyorakkan bacaan takbir.
Tak
memiliki pilihan lain, aku segera berlari ke Gua Putri dan menemukan ibu-ibu
sudah bersiap dengan beberapa bahan makanan di tangan kanan dan juga anak yang
mereka gendong dengan tangan kiri.
Aku benci suasana ini. Suasana yang sama persis dengan bagaimana aku menderita sekitar satu tahun lalu. Saat di mana memori-memori di otakku dipaksa merekam berbagai kejadian tragis yang tak pernah ingin kuingat.
“Semuanya sudah tidak terkendali, sepertinya mereka
memang sengaja menaruh
patok itu untuk menyulut
amarah Pangeran.”
Saat malam hari mulai
datang, sayup-sayup kudengar
suara Bapak dari ruang tengah.
Aku yang sudah lama tak bertemu beliau tetap enggan keluar dari kamar.
Bapak begitu asing, aku tak pernah betul-betul mengenalnya.
Bapak
adalah seorang anggota pasukan Pangeran Diponegoro. Bapak berkeliling desa
entah melakukan apa selama berminggu-minggu. Jarang sekali untuknya
bertemu aku dan Mas Bagus, atau memang beliau
menghindar untuk bertemu kami.
“Jatah makanan
bulan ini simpanlah, Nak. Pisahkan dari yang untuk membayar pajak
sialan itu. Bapak titip adikmu ya, jaga diri baik-baik.”
Dan begitulah setiap Bapak hendak
pergi lagi meninggalkan rumah kami, setelah
membawa sekarung bahan makanan berupa jagung, singkong, dan ubi yang tak
seberapa.
Mas
Bagus kemudian mengunci pintu rumah, membuka sedikit jendela untuk melihat
rumah-rumah penduduk yang beberapa di antaranya disinari temaram lampu minyak.
Suasana kampung ini sepi, tapi tak benar-benar sesepi itu. Lelaki dewasa banyak
yang memilih berjaga untuk segala kemungkinan terburuk yang dapat terjadi kapan
saja.
Desa
Tegalrejo tempat kami tinggal adalah puri kediaman Pangeran Diponegoro yang
memilih meninggalkan istana dan segala kekacauannya. Para penggede-penggede itu
sudah teracuni Belanda.
Mereka tau, mereka
sadar rakyatnya menderita, tapi mereka hanya menuli. Para penguasa hidup
bermewah-mewahan dalam kesengsaraan rakyat yang makan sehari pun tak tentu.
“Pajak!! Pajak!!
Ayo bayar pajak,
hei kamu orang, jangan lari!!”
Matahari belum genap menyingsing di timur. Desa Tegalrejo yang semula aman dan damai mendadak jadi ricuh saat Ki Lurah
dan antek-anteknya berkeliling rumah warga. Menggertak satu per satu sehingga membuat
warga panik kocar-kacir. Kambing-kambing ditarik paksa dari kandang,
berkarung beras mereka
rampas hingga perabotan rumah
juga tak luput dari serbuan mereka.
Aku
yang sedang bermain kelereng dengan teman-temanku segera berlari ke rumah
masing-masing. Begitu masuk ke dalam rumah, pintu segera kututup. Aku
menghitung jumlah kelereng yang kusimpan di saku celanaku. Satu, dua, lima,
sudah pas. Kelereng- kelereng ini begitu berharga untukku.
Mas
Bagus nampak sedikit kewalahan mengambil setidaknya lima buah jagung berukuran
sedang untuk dimasukkan dalam karung,
juga beberapa buah ubi ungu yang aku yakin jika direbus pasti lezat sekali.
Dengan
segera bahan makanan lain yang masih tersisa ia sembunyikan di dalam peti di
bagian belakang dapur. Para pejabat desa ini sangat serakah, setelah menariki
pajak biasanya mereka mulai merampas hasil bumi apapun itu untuk keluarga
mereka sendiri.
“Yak, cukup.
Besok-besok begini terus ya, jangan
seperti yang lain, terlalu banyak
alasan!” pintu depan rumah ditutup dengan kencang oleh salah satu
petugas penarik pajak setelah ia selesai membuka isi karung yang diserahkan Mas
Bagus.
Kami
beruntung. Kami hanya tinggal berdua, jatah pajak yang harus disetorkan tidak
sebanyak tetangga kami yang memiliki 7 bahkan 8 anak. Belum lagi mereka yang
tinggal serumah dengan cucu-cucu yang masih kecil, tanggungan pajak pasti
berkali lipat lebih berat.
Aku dan Mas Bagus menghela napas panjang. Mas Bagus berlutut di depanku kemudian membersihkan peluh keringat di dahiku. Ki Lurah yang menariki pajak secara tiba-tiba dengan puluhan bandit kampung selalu menjadi ketakutan terbesar kami. Aku membatin dalam hati, aku tau Mas Bagus juga sama-sama takut, tapi ia selalu ingin terlihat baik-baik saja di depanku
Hari yang sungguh melelahkan. Setelah seharian bekerja di kebun milik
Belanda yang upahnya tak seberapa, akhirnya aku pulang
ke rumah. Jangan
bicara perihal upah, jika tidak terpaksa untuk menghidupi adikku
aku tidak akan pernah sudi menginjakkan kaki di sini. Para pejabat laknatullah
penguasa kebun itu tidak segan menginjak kepala kami apabila pekerjaan yang
kami lakukan mereka rasa kurang maksimal. Lebih dari itu, menyambuk punggung kami dengan rotan seperti sudah menjadi hobi yang memberi
kepuasan bagi
mereka.
Ini adalah bagian terberat dari penjajahan itu sendiri, di mana rakyat ditindas
dan diperalat sehari-hari.
Aku
tak sengaja mendengar, beberapa waktu lalu Belanda dan Patih Danureja berencana
membangun jalan yang melewati makam leluhur Pangeran Diponegoro kami. Abdi
dalem Patih Danureja memasang patok jalan yang letak susunannya sudah terlihat
jelas untuk menyulut emosi Pangeran Diponegoro.
Melihat
itu abdi Pangeran Diponegoro tak tinggal diam, mereka dengan sigap menyabut
patok itu satu per satu. Hingga saat ketiga kalinya pasukan Patih Danureja
memasang patok, Pangeran Diponegoro geram lalu memerintahkan abdinya mencabut
patok-patok sialan tersebut dan menggantinya dengan tombak sebagai tanda
mulainya peperangan.
Kami
sebagai pribumi hanya bisa berharap-harap cemas. Kekuatan kami baik dari
kelengkapan senjata maupun yang lain tidak ada apa-apanya dengan kompeni. Namun
dalam hati, kami tidak akan rela jika Pangeran Diponegoro yang begitu kami
hormati berjuang sendiri memperjuangkan tanah leluhurnya. Kami juga tidak rela
terusmenerus diperalat Belanda seperti ini.
Aku
yang sudah selesai membersihkan diri kemudian masuk ke kamar. Kulihat adik
lelaki kesayanganku yang baru berusia 10 tahun sedang meringkuk di kasur. Aku
betul-betul kasihan dengannya. Masa kanak-kanak yang seharusnya ia habiskan
dengan bermain malah direnggut oleh nestapa peperangan seperti ini.
“Mas Bagus..” panggilnya perlahan setelah mendengar suaraku membuka pintu
kamar. “Mas Bagus takut tidak kalau nanti tiba-tiba perang?”
Aku yang sedang merapikan beberapa pakaian di
lemari berhenti sejenak, lalu tersenyum simpul. “Memang kenapa?”
Aku kemudian ikut merebahkan diri di kasur yang sama dengan adikku.
Adikku hanya menggeleng kecil.
Kulihat perlahan
sekujur tanganku yang penuh luka akibat pekerjaan
kasar yang kulakukan. Tiba-tiba terlintas dalam
benakku, ibuku yang sangat kami cintai pergi meninggalkan kami belum genap 30
hari yang lalu. Ibuku menderita penyakit menular yang belum ditemukan
penawarnya. Kondisinya terus melemah, hingga pada Jumat pagi ia menghembuskan
napas terakhirnya.
“Mas
Bagus juga sebenarnya belum tau nanti seperti apa, tapi Mas Bagus yakin. Selama
kita terus berdoa dan bersungguh-sungguh memohon pertolongan kepada Allah, maka
Allah akan menjaga kita”
Nampak sekali wajah adikku menunjukkan kecemasan.
Ia masih trauma kehilangan orang yang sangat ia cintai, apalagi orang itu
adalah ibu yang telah merawatnya sedari kecil.
Anak laki-laki dengan rambut ikal dan kulit
kuning langsat itu selanjutnya memandangku penuh
selidik, “Mas Bagus takut ya?” ucapnya meledekku.
“Sudah besar kok
penakut!”
Aku yang mendengar itu kemudian tertawa dan
mematikan lampu minyak sebelum kami berdua
akhirnya tertidur lelap.
Hari berjalan seperti
biasa. Aku pergi
ke rumah Pian,
tetangga sebelah rumahku,
untuk bermain kelereng.
“Kalau yang ini kena, kelerengmu jadi punyaku ya.”
Tak!! Sentilan Pian tepat mengenai
satu dari lima kelereng
kesayanganku. “Eh.. Jangan dong, ini kan hadiah dari Mas Bagus.”
Aku berusaha mengambil kelerengku yang Pian
sembunyikan di balik punggungnya, Si Pian
malah keasikan menggodaku sambil tertawa cekikikan.
Kelereng-kelereng
berharga ini adalah hadiah dari Mas Bagus saat aku masuk umur 10. Sudah lupa
tepatnya kapan, tapi aku ingat sekali, sore itu aku begitu senang membuka
bungkusan kecil berisi 5 buah kelereng dan beberapa
biji permen.
Walaupun
usia kami terpaut cukup jauh, tetapi aku merasa Mas Bagus menyayangiku dengan begitu baik. Dia dapat menjadi kakak yang selalu aku jadikan
teladan dalam setiap hal. Dia dapat menjadi
ibu yang merawatku
dengan penuh kasih sayang. Dia dapat menjadi ayah yang memberiku rasa aman.
Selain itu, dia adalah teman yang cukup asik. Walau sering kalah saat bermain
petak umpet denganku, hehe.
Hmm.. harum
wangi semerbak menyeruak. Sepertinya masakan Bude Lasmi,
ibunya Pian, sudah matang.
Walau dengan bahan seadanya, dengan keahlian memasak super Bude Lasmi, semuanya
jadi terasa lezat.
“Ayo, Nak, makan dulu. Nanti selak dingin.”
Kami
berdua dengan sumringah masuk ke dalam rumah, sebelum sayur nangka lezat itu
kami nikmati, tiba-tiba
“Bu, Ibu!!! Bahaya,
Bu!!” Bude Lasmi
tergopoh-gopoh berlari dari dapur mendengar
teriakan suaminya. “Mereka sudah datang, Bu… Wis cepet beres-beres bawa secukupnya.”
Aku
tidak pernah melihat Pakde Sadir dengan wajah yang begitu panik dan kacau.
Selanjutnya hari itu kuingat sebagai
hari paling menyesakkan dalam hidup. Saat kentongan
kampung tanda darurat berbunyi, Mas Bagus datang tergesa dan menjemputku pulang
ke rumah. Ia memasukkan beberapa pakaian dari lemari ke dalam tas, kemudian
menggandengku ke depan rumah sebelum bertemu dengan Bude Lasmi dan berbicara sebentar.
“Kamu ikut Bude Lasmi dulu ya. Nanti Mas Bagus nyusul.”
Aku
hanya mematung dan berusaha mengartikan situasi yang terjadi. Mas Bagus
memelukku erat dengan tatapan yang sukar kuartikan, tak lama segorombolan
laki-laki dewasa melewati jalan
di depan rumah
dan Mas Bagus segera bergabung dengan mereka.
Kepalaku
penuh sesak. Bencana apa lagi yang akan aku alami. Tidak cukupkah Belanda itu
memeras kami dengan pajak? Tidak cukupkah penderitaan kami selama ini?
Sebenarnya apa yang mereka inginkan?
Terbayang
di benakku wajah pucat Ibu saat aku memeluknya tepat sebelum ia dimakamkan.
Juga bayang-bayang Bapak yang selama ini tidak pernah kurasakan kehadirannya.
Lalu seperti penderitaanku belum cukup, kali ini aku juga harus kehilangan Mas
Bagus?
Dunia yang sangat adil.
Kami,
anak-anak dan kaum wanita, diungsikan ke tempat yang lebih aman. Perjalanan
diawali pada siang hari yang terik hingga kami berhenti di Desa Dekso,
Kabupaten Kulonprogo.
Tak!!
Pian
melempar dengan keras kerikil di tangannya yang sukses membuatku tersadar dari
lamunan. Aku memberinya tatapan tajam sementara ia malah meringis cekikikan.
“Wih.. Sentot! Sekarang
kamu wis berani naik kuda?”
Pian nampak terkejut
melihat teman main kami sewaktu
kecil itu sudah
mahir menaiki kuda.
“Yoo
gimana lagi. Siapa yang mau bawa nek nggak aku?” ucap
Sentot ringan. Benar juga, banyak
teman-teman sebayaku yang menunggangi kuda hari ini, padahal tubuh kuda jauh lebih besar dari mereka. Namun jika
bukan anak laki-laki yang menunggangi peliharaan, siapa lagi? Ibu-ibu tidak
mungkin, apalagi anak perempuan.
Ada
banyak hal di luar nalar yang terjadi hari ini. Ibu-ibu di sana kuat membawa
beberapa bakul bahan makanan
di tangan kanan,
sementara tangan kirinya
menggendong anak yang baru berusia berapa bulan. Selain
itu, aku juga takjub dengan puluhan anak laki-laki yang dituntut dewasa sebelum
umurnya. Menjaga ibu mereka, menunggangi kuda peliharaan yang tingginya jauh
dari mereka, semua dilakukan dalam kondisi genting seperti ini.
Sepanjang
perjalanan aku hanya terdiam. Kulihat Bude Lasmi kerepotan menggendong anak kambingnya dengan tangan kiri sambil membawa
barang bawaan yang terlihat begitu berat di tangan kanan.
Wajahnya terlihat lelah dan penuh
kecemasan. Tidak ada yang bisa menebak apa yang akan terjadi besok.
Hela napas kelelahan mulai terdengar.
![]() |
Suasana sangat kacau.
Para penduduk desa berusaha mempertahankan lahan sementara abdi
Patih Danureja dan pasukan kolonial terus menyerang. Negosiasi yang dilakukan
tak membuahkan hasil. Kami, para pribumi dengan peralatan seadanya berusaha
melawan penjajah kesetanan tersebut. Walau beberapa dari pasukannya adalah
golongan pribumi juga, mereka yang memilih berkhianat entah karena niat atau
paksaan Belanda.
Aku
merasakan suasana begitu carut-marut.
Semua orang berlari kocar-kacir seperti rombongan hama yang diberi pembasmi.
Para pasukan kompeni dibekali kuda gagah dan senjata berpeluru di tangannya. Sementara kami, warga biasa dengan alat seadanya
berusaha
memperjuangkan daerah yang merupakan hak kami, semurni-murninya demi kehormatan
pangeran kami.
Allahu Akbar!! Allahu
Akbar!!
Sorakan
takbir terdengar dari penjuru arah. Aku merasa pusing dan semuanya terlihat
buram. Ini pertama kalinya bagiku mengikuti pertempuran seperti ini. Sebelumnya
aku hanya pernah dibekali Bapak dengan pengetahuan umum tentang kesenjataan.
Umurku baru 17 tahun,
seharusnya tahun ini aku baru bisa bergabung
dengan pria dewasa lain untuk pelatihan persiapan
tempur, namun nasib berkata lain. Aku berharap-harap cemas, semoga saja aku
bertemu Bapak di jalan.
Duar!! Duar!!
Aku
terkejut bukan kepalang. Pak Soleh, muazin masjid di desa kami yang selalu
mengumandangkan adzan tepat waktu, tewas ditangan Belanda. Pria dengan baju
putih yang ia kenakan itu tergeletak lemas di tanah.
“Semoga engkau terima
ia mati syahid,
Ya Allah…”
Pakde
Sadir berucap lirih di sampingku. Semenjak tadi, kami berdua bersembunyi di
balik semak-semak. Menunggu waktu yang tepat bagi tombak milik kami untuk
membunuh pasukan kolonial itu.
Sssakk!!
Meleset.
Tombak yang dilemparkan seseorang dengan membabi buta itu tak berhasil mengenai
sasaran.
Duar!! Duar!!
Sesuai dengan risiko
yang diambil, dia gugur bersama
tenggelamnya matahari sore ini.
Aku melihat
Pakde Sadir berdiri
di sampingku, sepertinya beliau sudah menemukan
sasaran yang dituju. Jangan kira seberapa kacau suasana saat ini. Desir
peluru saling sahut, bau hujan turun bercampur dengan anyir darah, disela-selanya terdengar kencang suara Allahu Akbar!! Allahu Akbar!!
Di
riuhnya suasana perang ditambah dengan teriakan orang-orang meminta tolong, aku
samar-samar melihat siluet Bapak. Fokusku terpecah, manik mataku terus
mengikuti figur gagah idolaku itu.
“Allahu Akbar!!”
Aku terkejut.
Secara tiba-tiba Pakde Sadir melesatkan tombaknya pada salah satu pasukan lawan yang kemudian langsung
dibalas dengan rentetan peluru ke arah kami. Aku tak sempat menghindar.
“Bagus, awas!!”
![]() |
Kakiku terasa pegal. Matahari telah sepenuhnya tenggelam. Sudah berapa
lama waktu, namun kami belum juga
sampai di tempat tujuan.
Jangan
kira perjalanan ini tidak menguras energi. Pasokan air dan makanan yang
sedikit, belum lagi barang bawaan yang berat sangat menguras fisik kami.
“Allahu Akbar!! Allahu
Akbar!!”
Kulihat
dari jauh datang gerombolan berkuda sambil meneriakkan takbir dengan keras.
Tangan mereka terlihat membawa obor dari kejauhan.
Helaan
napas lega langsung terdengar dari para istri yang sejak siang tadi cemas
menunggu kabar suaminya. Banyak yang kemudian menangis, memeluk anak mereka
sembari berterimakasih pada Tuhan telah membawa kepala keluarga mereka pulang.
Senyuman
yang terukir di bibirku tidak dapat menyembunyikan
kegembiraanku. Pian yang berada di sampingku mengusap pundakku, “Nggak usah
nangis!!” ucapnya meledek.
Aku kemudian memukulnya pelan. Bisa tidak
Pian berhenti jadi menyebalkan satu hari saja.
Dalam hati aku berteriak
lega bukan main. Akhirnya Mas Bagus dapat
selamat. Ingin segera kupeluk dia dan kutanyakan apa dia
baik-baik saja.
Dengan siasat
yang telah disusun
rapi oleh Pangeran
Diponegoro, pasukan pribumi
berhasil mengelabui musuh dan meloloskan diri keluar dari Tegalrejo.
Tubuh mereka penuh luka, pakaian mereka kusut
bahkan robek di beberapa tempat. Namun
semua itu terbayar lunas ketika
mereka dapat memeluk kembali anak dan istri tercinta.
“Bapak!!”
“Pian anakku..”
Nampak
dari jauh Pakde Sadir berjalan dengan kaki yang sedikit pincang. Pian dengan
wajah sumringah segera berlari ke arahnya dan memeluk bapak yang sangat
dicintainya itu. Pelukan itu menjadi semakin haru ketika Bude Lasmi ikut
bergabung bersama mereka dengan air mata yang sudah tak terbendung.
“Alhamdulillah, Pak… Alhamdulillahirabbilalamin. Gusti Allah sudah menjaga Bapak.”
Tangis
Bude Lasmi semakin deras ketika Pakde Sadir mengeratkan pelukan di antara
keluarga kecilnya. Luka sobek yang berada di betisnya kini sudah tidak terasa lagi,
berganti dengan rasa bahagia luar biasa.
“Bapak
mboten kenapa-kenapa, Pak?” Pian kemudian mulai memeriksa kondisi ayahnya
dengan khawatir, “Ya Allah, Buk. Bapak berdarah, Buk.”
Bude Lasmi nampak terkejut kemudian
Bude
Lasmi nampak terkejut kemudian mulai ikut meneliti kondisi kaki kiri suaminya.
Nampak ada bekas lubang peluru Belanda ditembakkan di sana. Tak menunggu waktu
lama, Bude Lasmi segera mencari bala bantuan untuk membantu menyembuhkan luka
di kaki Pakde Sadir.
“Bapak yang sabar ya, Pak.” Pian duduk di samping bapaknya
yang saat ini sudah terduduk di tanah. Aku yang sejak tadi
hanya memerhatikan kemudian ikut berlutut di samping mereka.
“Le…
Astaghfirullah, Le…” Pakde Sadir kemudian terisak, seperti tak mampu lagi
melanjutkan ucapannya. Kemudian ia mulai mengusap-usap punggungku dengan
tatapan yang sulit kuartikan.
Aku
hanya diam termenung. Hal menyedihkan apa yang sampai membuat Pakde Sadir
menangis? Apa hubungannya denganku?
Belum
sempat aku mendengar sendiri penjelasan dari mulut Pakde Sadir, tiba-tiba Bude
Lasmi datang bersama segerombolan lelaki yang membawa tandu dan beberapa alat
penyembuh luka. Bersama-sama mereka menggotong Pakde Sadir di atas tandu dan
membawanya ke tempat yang lebih aman untuk diberikan pengobatan.
Aku
dan Pian hanya mengamati dari jauh. Kami berdua duduk di antara bebatuan terjal
yang ada di atas bukit. Penerangan yang kami dapatkan hanya dari beberapa obor
yang sengaja dipasang serta cahaya rembulan yang malam ini sedang purnama. Dari
sini aku dapat melihat dengan jelas, bagaimana Desa Tegalrejo -tempat tinggal
kami- luluh lantah habis dilahap api.
Tempat
aku dan Mas Bagus dirawat sejak kecil oleh Ibu. Tempat aku dan Pian
menghabiskan waktu bermain
seharian. Tempat aku biasa mengaji
di masjid saat sore hari. Semuanya rata menjadi tanah dan
puing-puing yang tak ada artinya.
Situasi
ini betul-betul gila untuk anak laki-laki berumur 10 tahun seperti kami. Desa
yang awalnya aman-aman saja dan penuh hiruk pikuk kehidupan manusia, tiba-tiba
hangus sekejap di tangan Belanda.
“Pian,
ingat tidak saat kita bermain kelereng dengan anak-anak lain di bawah pohon
mangganya Bu Sinta?”
Aku
menengok ke arah Pian yang saat ini tatapannya menghadap lurus ke depan. Ia
mengangguk, tandanya Pian masih mendengarkan ceritaku.
“Sewaktu
Ki Lurah datang, kita semua langsung buru-buru sembunyi di rumah. Waktu sampai
rumah, kuhitung kelerengku tinggal empat. Aku panik sekali sampai menangis.”
Pian
kemudian membuang wajah sambil menutup mulutnya yang sedikit tertawa. Aku
memberinya tatapan tajam dan ia pun kembali duduk tenang.
“Aku
sedih sekali kelerengku hilang satu, tapi
Mas Bagus bilang tidak apa-apa. Nanti
akan dia belikan yang lebih banyak lagi,” ucapku dengan semangat. “Yahh..tapi
sayangnya sekarang, semua kelereng itu hilang. Aku lupa membawanya tadi.”
Aku
mengakhiri ceritaku dengan helaan napas panjang. Mata kami hanya menerawang
kosong ke depan. Mengira-ngira, kejutan apa lagi ya yang akan kami dapatkan
besok?
“Eh.. Kamu dari tadi sudah bertemu
Mas Bagus?”
Mulutku
sedikit terbuka menandakan aku benar-benar terkejut. Iya benar, aku belum
bertemu Mas Bagus sejak tadi.
Kedatangan Pakde Sadir dalam keadaan
terluka dan kondisi tempat tinggal kami yang habis
dilahap api berhasil mengalihkan fokusku.
“Perhatian!! Segera
berkumpul!!”
Teriak
salah satu pengikut setia Pangeran Diponegoro. Kami kemudian bergegas berkumpul
di tengah lapangan.
“Allahu Akbar!!
Allahu Akbar!!”
Sorak sorai mulai terdengar
saat Pangeran Diponegoro berdiri di depan kami semua.
Beliau adalah sosok yang begitu dihormati seperti pejabat dengan takhta
tinggi, juga disayangi oleh masyarakat sebagai seorang teman yang selalu
peduli.
“Wahai
rakyatku semua… Atas rahmat Allah Yang Mahakuasa, maka dengan izin-Nya Belanda
berhasil terjebak dalam siasat kami. Kami telah berhasil meloloskan diri dan
kembali dengan selamat.”
Riuh
ricuh para pendengar saling bersautan di lapangan malam itu. Keringat serta
jerih payah mereka terbayar penuh dengan kekalahan Belanda.
“Jangan
bersedih sebab Desa Tegalrejo milik kita telah habis dibakar Belanda. Tanah air
kita bukan hanya Tegalrejo. Besok kita bangun
desa yang lebih
makmur lagi, lebih
sejahtera lagi. Semoga di manapun kita berada, kita selalu berada dalam
lindungan Allah Ta’ala.”
Beberapa wajah yang sebelumnya tertunduk lesu kemudian
menegakkan diri. Seluruh
harta benda yang ada di Tegalrejo seluruhnya milik Allah, sudah
sewajarnya bagi kita sebagai manusia ingat bahwa itu semua dapat diambil kapan
saja.
“Kalian beristirahatlah, kita lanjutkan perjalanan menuju Gunung Selarong
besok hari,” tutup Pangeran Diponegoro di akhir
pidatonya.
Suasana
sudah gelap. Banyak yang memilih tidur dengan alas seadanya. Udara dingin di
atas bukit membuat para ibu mengeratkan pelukan kepada anak-anak mereka,
berusaha menghalau angin malam yang berhembus kencang.
Dalam kondisi seperti ini, tidak mungkin bagiku untuk mencari keberadaan Mas Bagus. Aku kemudian memutuskan tidur di sebelah Pian. Menunggu esok hari, berharap aku bisa segera bertemu dengan kakakku yang sangat kucintai.
![]() |
“Aku semakin tidak tega melihat
wajahnya yang kelelahan
seperti itu.”
Pakde Sadir menatap lesu anak laki-laki
yang tertidur di sebelah anaknya.
Bude Lasmi yang ada di sampingnya kemudian memijat
punggung pria berusia hampir setengah abad itu pelan.
“Bapak sejak tadi sama sekali
belum bertemu bapaknya
dia?”
Yang
ditanya hanya menggeleng lemah. Sungguh malang nasib anak berambut ikal yang
baru berusia 10 tahun itu. Belum genap 3 bulan ia ditinggalkan oleh ibunda
tercinta, kini kakak yang selalu
ia sayangi ikut pergi meninggalkanya. Bapaknya juga tak pernah terlihat sekalipun mengurus anak itu.
Jadilah nanti ia hidup sebatang kara.
“Besok, aku coba bicara dengannya.”
Malam
semakin larut. Pakde Sadir memejamkan mata dengan perasaan mengganjal di hatinya.
![]() |
Keesokan
paginya perjalanan dilanjutkan menuju Gua Selarong. Tempat itu digadang- gadang
sebagai tempat yang strategis untuk memperluas pasukan dan juga menyusun strategi.
Sesampainya
di sana, Pangeran Diponegoro membagi gua ini menjadi dua bagian. Gua Kakung
digunakan kaum laki-laki untuk mempersiapkan strategi. Sementara Gua Putri
untuk kaum wanita mengurus urusan dapur dan lain-lain.
Saat suasana
sudah mulai tenang,
Pakde Sadir memanggilku dan memintaku untuk duduk
di sebelahnya.
“Nak, Pakde mau bicara. Tapi kamu janji ya, harus
ikhlas.”
Benar.
Apa yang berkecamuk semalaman di pikiranku benar. Aku sudah memikirkannya
semalam suntuk. Pakde Sadir yang menangis di hadapanku kemarin tidak siap
menyampaikan kabar ini. Kakakku pasti ikut gugur saat berperang kemarin.
“Mas Bagus sudah
meninggal.”
Tepat
saat Pakde Sadir menyelesaikan kalimatnya, air mata turun dengan deras
membasahi pipi lelaki itu. Penderitaan banyak tergambar dalam gurat wajahnya,
seperti penderitaan yang kurasakan saat ini.
Aku
kemudian duduk dengan lutut tertekuk dan mulai terisak. Sungguh, kejam sekali
alur cerita kehidupanku ini. Aku benar-benar sebatang kara sekarang. Aku merasa
seluruh bagian jiwaku hilang seutuhnya.
Pian
ikut bersimpuh duduk di sebelahku. Ia mengusap pundakku pelan. Sebelum tiba-tiba, kulihat sosok yang
sangat familier berlari dari timur menuju ke arahku.
Bapak
memelukku dengan erat. Ia menghapus kasar air mata yang mengalir di pipiku.
Tangisku semakin kencang. Rasanya aku seperti mengadu tentang seberapa banyak
kesulitan yang kualami selama ini.
“Maaf, saya belum bisa jaga Bagus,”
terdengar penyesalan yang begitu dalam
di setiap kata yang diucapkan Pakde Sadir kepada
Bapak. Bapak hanya menggeleng lemah.
Sejak
awal belum kuceritakan, kakakku ini dulunya sakit-sakitan sewaktu kecil.
Tubuhnya lemah sekali. Jika sekali terluka,
maka darah akan terus mengucur
dari kulitnya dan sangat sulit berhenti.
Hari itu kami berempat
banyak merenungi hal-hal
yang terjadi pada beberapa hari terakhir.
Kami terlalu lelah untuk berpura-pura tidak apa-apa dengan segala hal yang
terjadi.
Secara
tiba-tiba Bapak memegang kedua lenganku dan menatap kedua mataku dengan penuh
kesungguhan, “Mulai saat ini Bapak yang akan jaga kamu. Bapak janji akan selalu
ada kapan pun.”
Janji yang sudah
dua kali dipatahkan oleh orang-orang terdekatku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar