Karya : Marsella Wahyu Muntia
Perkembangan teknologi informasi telah mengubah cara manusia dalam mengakses dan menyebarkan informasi. Salah satu bentuk perubahan paling signifikan adalah maraknya penggunaan media sosial. Di Indonesia, media sosial telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari masyarakat lintas usia. Platform seperti Facebook, Instagram, Twitter (X), TikTok, YouTube, dan WhatsApp kini tidak hanya menjadi sarana komunikasi, tetapi juga sumber informasi, hiburan, dan bahkan pendidikan informal.
Berdasarkan laporan We Are Social dan Hootsuite tahun 2024, terdapat lebih dari 176 juta pengguna media sosial aktif di Indonesia, yang mencakup lebih dari 60% dari total populasi. Rata-rata waktu yang dihabiskan masyarakat Indonesia di media sosial mencapai lebih dari 3 jam per hari. Tingginya intensitas penggunaan ini menunjukkan bahwa media sosial telah menjadi saluran utama interaksi digital yang potensial untuk mendukung peningkatan kemampuan literasi, sekaligus menyimpan tantangan tersendiri.
Kemampuan literasi, khususnya literasi informasi dan literasi digital, sangat berkaitan erat dengan bagaimana masyarakat memanfaatkan media sosial. Menurut UNESCO (2017), literasi informasi adalah kemampuan seseorang untuk mengidentifikasi, menilai, dan menggunakan informasi secara efektif. Sementara itu, literasi digital mencakup kemampuan mengakses, mengevaluasi, dan berkomunikasi melalui teknologi digital secara etis dan aman. Media sosial dapat menjadi sarana pendukung dalam meningkatkan kedua jenis literasi tersebut, apabila digunakan secara bijak.
Pendapat senada disampaikan oleh Paul Gilster, pelopor konsep literasi digital, yang menyatakan bahwa media digital—termasuk media sosial—memungkinkan individu untuk terlibat aktif dalam pencarian informasi dan membentuk pengetahuan secara mandiri. Dalam konteks Indonesia, media sosial telah dimanfaatkan oleh berbagai kalangan, termasuk pendidik, jurnalis, dan aktivis, untuk membagikan konten edukatif, memperluas wawasan publik, serta membangun budaya membaca yang lebih adaptif terhadap zaman.
Dampak positif penggunaan media sosial terhadap kemampuan literasi masyarakat terlihat dari banyaknya konten edukatif yang viral dan mudah diakses. Misalnya, kanal YouTube yang menyediakan penjelasan materi pelajaran sekolah, akun Instagram yang menyebarkan infografik tentang isu-isu sosial dan sains, atau thread Twitter (X) yang mengupas fenomena sejarah dan budaya secara ringan namun mendalam. TikTok pun tidak luput dari peran ini, dengan munculnya tren edutainment yang memadukan pendidikan dan hiburan.
Selain itu, media sosial juga mendorong masyarakat untuk lebih kritis terhadap informasi yang beredar. Literasi kritis ini muncul dari kebutuhan untuk memilah informasi yang benar di tengah banjir berita hoaks dan disinformasi. Menurut Dr. Elizabeth Staksrud dari University of Oslo, eksistensi media sosial dapat menjadi stimulus yang kuat bagi masyarakat untuk mengembangkan keterampilan evaluatif terhadap pesan digital, apabila didukung oleh pemahaman literasi yang memadai.
Namun demikian, penggunaan media sosial juga menyimpan tantangan terhadap kemampuan literasi masyarakat. Konten yang bersifat dangkal, misinformasi, serta kecenderungan konsumsi informasi secara instan dapat menurunkan kualitas pemahaman dan refleksi kritis pengguna. Oleh karena itu, literasi media menjadi kunci utama agar masyarakat tidak hanya menjadi konsumen informasi, tetapi juga produsen informasi yang bertanggung jawab.
Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) telah menggagas program literasi digital yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap penggunaan media sosial yang sehat dan produktif. Kolaborasi dengan berbagai komunitas, akademisi, dan platform digital dilakukan guna memperluas jangkauan edukasi literasi digital di seluruh penjuru negeri.
Salah satu strategi utama yang dapat dilakukan adalah penguatan program literasi digital berbasis komunitas. Program ini dapat melibatkan tokoh masyarakat, guru, relawan, serta generasi muda sebagai agen literasi di wilayah masing-masing. Melalui pelatihan, workshop, dan kampanye daring, masyarakat dapat diberikan pemahaman yang komprehensif mengenai cara memverifikasi informasi, mengenali hoaks, dan menggunakan media sosial sebagai sarana pengembangan diri. Pemerintah dan lembaga pendidikan juga perlu mengintegrasikan kurikulum literasi digital dalam sistem pendidikan formal agar siswa dibekali keterampilan berpikir kritis sejak dini.
Strategi lainnya adalah mendorong kolaborasi antara platform media sosial dan lembaga pendidikan atau organisasi non-pemerintah untuk menciptakan ekosistem digital yang positif. Platform seperti TikTok, YouTube, dan Instagram dapat menyediakan fitur edukatif, mendukung kampanye literasi, serta mempromosikan konten yang bermanfaat secara algoritmik. Di sisi lain, para kreator konten perlu didorong untuk menghasilkan materi yang inspiratif, informatif, dan faktual. Dengan kolaborasi multi-sektor ini, media sosial dapat menjadi katalisator bagi tumbuhnya masyarakat yang melek literasi, tangguh terhadap disinformasi, dan produktif dalam dunia digital.
Dengan demikian, media sosial di Indonesia memiliki potensi besar dalam mendorong peningkatan kemampuan literasi masyarakat. Namun, potensi tersebut harus diiringi dengan peningkatan kesadaran, pengembangan keterampilan literasi digital, serta dukungan kebijakan yang mendorong budaya digital yang bertanggung jawab. Ketika dimanfaatkan dengan bijak, media sosial bukan sekadar hiburan, tetapi menjadi jembatan menuju masyarakat yang lebih cerdas dan berdaya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar